#3
Sudah seminggu Mama Nada tinggal bersama kami. Seminggu yang rasanya panjang sekali. Rumah kecil yang biasanya tenang jadi penuh suara: entah musik senamnya yang keras, telepon dari teman-teman arisannya, sampai komentar-komentar tajam yang sering menyindirku.
Malam itu, setelah aku menjemput Tata pulang kerja, aku sudah mantap dalam hati. Harus ada pembicaraan serius. Tidak bisa dibiarkan Mama Nada seenaknya berlama-lama di sini tanpa kepastian.
“Ta, kita ngomong sama Mama malam ini,” kataku di motor saat perjalanan pulang.
“Ngomong apa, Mas?” Tata menoleh khawatir.
“Ngomongin soal tinggalnya Mama di sini. Kita harus bikin jelas, Ta. Aku gak mau rumah tangga kita terus diganggu.” Suaraku tegas.
Tata diam, menggigit bibir. Aku tahu dia serba salah. Di satu sisi dia anak yang berbakti, di sisi lain aku adalah suaminya yang butuh dihargai.
Sampai di rumah, Mama Nada sudah duduk santai di sofa, menonton sinetron dengan volume keras. Tanktop tipisnya membuatku risih. Begitu kami masuk, dia langsung tersenyum.
“Nah, akhirnya pulang juga. Capek kerja, Ta?” Nada menepuk tempat kosong di sebelahnya.
Tata duduk. Aku ikut duduk di kursi berhadapan. Jantungku berdebar, tapi aku tahan. Malam ini harus tuntas.
“Ma, kita perlu ngobrol bertiga,” ucapku pelan tapi tegas.
Nada menoleh, alisnya terangkat. “Ngobrol apa, Surya?”
Aku menatap lurus. “Soal Mama. Soal status Mama sama Pak Jarwo. Dan soal Mama yang masih tinggal di rumah ini.”
Tata langsung menunduk. Tangannya meremas roknya. Nada tersenyum miring, lalu mematikan televisi.
“Silakan,” katanya. “Mama dengerin.”
Aku menarik napas panjang. “Begini, Ma. Jujur aja, aku sama Tata udah nggak nyaman kalau Mama terlalu lama di sini. Bukan karena kami nggak sayang, tapi rumah tangga Mama itu urusan Mama. Kalau memang cerai, ya cerai baik-baik. Kalau masih bisa diperbaiki, ya bicarakan lagi. Tapi Mama harus selesaikan, jangan lari ke sini terus.”
Nada langsung menyandarkan tubuh ke sofa, tangannya bersedekap. “Oh… jadi Surya merasa keberatan Mama ada di sini?” suaranya dingin.
“Bukan begitu, Ma,” Tata buru-buru menyela. “Mas Surya cuma khawatir. Kita juga kan masih baru menikah, masih butuh ruang sendiri.”
Aku mengangguk. “Betul, Ma. Aku nggak mau rumah ini jadi ajang kabur dari masalah. Mama punya rumah sendiri, kan? Pulanglah ke sana sementara. Kami akan tetap dukung Mama, tapi jangan di sini.”
Nada menatapku tajam. “Surya… kamu tau nggak, kamu ini menantu. Harusnya kamu ikut seneng kalau Mama ada di dekat kalian. Bukannya malah ngusir Mama. Kamu lupa ya, Tata ini masih anak Mama? Dia juga butuh Mama.”
Aku balas tatapannya. “Aku tahu, Ma. Tapi Tata sekarang sudah jadi istriku. Kami harus punya batas. Aku nggak bisa kalau setiap hari suasana rumah diatur Mama. Aku masih ingat, dulu Mama sering bilang aku menantu miskin. Aku tahan, demi Tata. Tapi sekarang… aku nggak bisa terus-menerus dianggap remeh di rumahku sendiri.”
Suasana hening sejenak. Tata menggenggam tanganku, suaranya lirih, “Mas… jangan keras-keras.”
Nada terkekeh, lalu mencondongkan tubuh. “Surya… kamu pikir Mama betah di sini? Mama ini butuh ketenangan. Setelah semua yang Jarwo lakukan… kamu tau kan dia kasar? Mama trauma. Kalau pulang ke rumah sendiri, Mama takut dia datang cari masalah. Itu sebabnya Mama ke sini. Bukan karena mau ngerepotin kalian.”
Aku menghela nafas. “Kalau begitu, Mama lapor polisi. Atau minta perlindungan hukum. Jangan sembunyi di rumah kecil kami ini. Aku nggak mau Tata jadi ikut tertekan.”
Nada menepuk paha Tata, seakan mencari pembelaan. “Ta, kamu denger suamimu? Dia tega, kan? Padahal Mama ini cuma punya kamu.”
Tata menatapku, wajahnya cemas. “Mas… kalau Mama beneran takut sama Papa Jarwo, gimana?”
Aku menatap istriku lama, lalu Nada. “Aku nggak peduli apa alasannya, Ma. Kalau cerai, selesaikan di pengadilan. Jangan tarik kami ke dalam masalah Mama. Aku masih sabar sejauh ini, tapi jangan paksa aku kehilangan hormat.”
Nada berdiri perlahan. “Kamu berani ngomong begitu di depan Mama?” suaranya rendah, tapi menusuk.
Aku ikut berdiri. “Aku bukan anak kecil, Ma. Aku kepala rumah tangga. Di rumah ini, aku yang bertanggung jawab. Jadi tolong hormati itu.”
Nada memandangku lama, matanya berkilat. Lalu tiba-tiba dia tertawa kecil. “Keras juga ternyata kamu, Surya. Mama jadi makin penasaran.”
Aku terdiam, bingung dengan kalimatnya. Nada menepuk bahuku sebelum berjalan ke kamarnya. “Baiklah, kita lihat nanti. Mama nggak janji apa-apa. Tapi Mama dengar, Surya. Kadang… lebih gampang lari ke tempat yang bikin hati tenang daripada hadapi kenyataan.”
Pintu kamarnya menutup pelan.
Aku duduk kembali, menghela napas panjang. Tata masih menunduk, matanya berkaca-kaca.
“Mas… jangan marah sama Mama. Dia cuma lagi bingung,” katanya pelan.
Aku memegang tangannya. “Aku nggak marah, Ta. Aku cuma nggak mau rumah kita hancur gara-gara Mama belum bisa putuskan hidupnya sendiri. Aku mohon, kamu jangan salah paham.”
Tata mengangguk lemah. “Aku ngerti, Mas. Tapi… Mama tetap ibuku. Aku nggak bisa ninggalin dia sendirian.”
Aku menatap istriku lama. Dalam hati aku sadar, masalah ini belum selesai. Bahkan baru saja dimulai.
*
Huhuhu... Huhuhu.
Belum lama Mama Nada menutup pintu kamar, suara isak tangis terdengar samar. Awalnya pelan, lalu makin jelas. Suara itu menusuk telinga. Aku menoleh ke arah Tata.
Istriku menatapku dengan mata kecewa. “Mas… lihat kan? Mama sampai nangis begitu. Kamu terlalu keras.”
Aku menghela napas. “Ta, aku cuma bicara jujur. Aku nggak sanggup kalau Mama terus di sini tanpa kepastian.”
Tata berdiri, melepas genggamanku. “Aku harus masuk, Mas. Aku nggak tega Mama sendirian nangis.”
Aku hanya bisa menatapnya, dada terasa berat. “Terserah. Tapi hati-hati, Ta. Jangan sampai Mama memanfaatkan perasaanmu.”
Tata menatapku sekilas, lalu berjalan ke kamar ibunya. Suara pintu diketuk pelan.
“Ma… ini Tata. Boleh aku masuk?”
Tangis masih terdengar, tapi perlahan mereda. “Masuk aja, Nak.”
Tata membuka pintu, menutupnya perlahan dari dalam. Aku tetap duduk di ruang tamu, tapi dinding tipis rumah kecil ini membuat percakapan di dalam kamar terdengar cukup jelas.
“Ma… jangan nangis gitu. Aku jadi sedih lihat Mama,” suara Tata lembut.
Nada terisak lagi. “Ta… Mama ini udah capek sama hidup. Semua lelaki sama aja. Dari dulu sampai sekarang… cuma bisa nyakitin Mama. Suka pakai kekerasan, suka menghukum perasaan.”
“Jangan gitu, Ma. Gak semua laki-laki kayak gitu. Mas Surya bukan orang kasar,” Tata mencoba membela.
Nada menggeleng, suaranya parau. “Kamu terlalu percaya sama dia. Mama udah lihat tadi, Surya itu keras kepala. Baru sebentar aja Mama di sini, dia udah ngomongin pengusiran. Itu kan sama aja dengan kekerasan, Ta. Kekerasan bukan cuma pukul, tapi juga sikap, kata-kata, tatapan dingin. Semua sama. Semua laki-laki memang begitu.”
Tata terdiam. Aku bisa membayangkan wajahnya menunduk, bingung.
“Ta… kamu tega liat Mama diusir? Mama ini nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Rumah Mama itu sekarang bukan tempat aman. Jarwo bisa datang kapan aja. Sementara di sini… Mama merasa tenang. Tapi… kalian tega kalau suruh Mama pergi?” Nada mendesah panjang, lalu menangis lagi.
“Ma, bukan gitu maksud Mas Surya. Dia cuma… dia cuma khawatir rumah tangga kami nanti terganggu,” Tata berusaha menjelaskan.
Nada mendadak meninggi. “Terganggu? Jadi Mama ini pengganggu? Begitu anggapan kalian? Padahal Mama yang merawat kamu sejak kecil. Mama yang selalu jaga kamu. Mama juga yang mengizinkan Surya menikahi kamu, Ta! Kalau Mama nggak kasih restu, kalian nggak akan pernah bersatu. Sekarang… setelah Mama hancur, kalian mau buang Mama begitu aja?”
Aku mendengar suara Tata tercekat. “Jangan bilang gitu, Ma. Aku nggak pernah mau buang Mama. Aku cuma bingung…”
Nada menarik napas berat, suaranya lirih tapi menusuk. “Kamu tau kan, Ta? Satu-satunya alasan Mama masih kuat bertahan selama ini ya kamu. Kalau kamu juga tega ninggalin Mama… mungkin lebih baik Mama mati aja.”
“Ma!” Tata langsung panik. “Jangan ngomong begitu. Aku nggak akan pernah ninggalin Mama.”
Nada terisak lagi, makin keras. “Semua lelaki sama. Dari ayahmu dulu, dari Jarwo, dari semua yang pernah Mama kenal. Mereka nggak ada yang bisa ngerti perasaan Mama. Dan sekarang, Surya pun sama. Dia nggak pernah anggap Mama keluarga. Dia cuma pikirin dirinya sendiri.”
Tata berusaha memeluk ibunya. “Mama… tolong jangan ngomong gitu. Mas Surya sebenarnya baik. Dia cuma… kadang keras.”
“Lihat? Kamu pun udah akui. Surya keras. Sama aja dengan yang lain,” Nada mengusap matanya dengan tisu. “Ta, Mama cuma mau tinggal sama kamu. Itu salah ya? Kalau kamu izinkan, berarti kamu anak yang berbakti. Kalau kamu ikut Surya ngusir Mama, kamu tau apa orang bilang? Kamu anak durhaka.”
Tata terdiam lama. Aku mendengar helaan napasnya yang berat.
“Aku nggak mau disebut anak durhaka, Ma. Aku nggak akan biarkan Mama sendirian. Tapi aku juga bingung harus gimana.”
Nada mengelus rambut anaknya. “Dengerin Mama. Kamu nggak usah pusing sama Surya. Dia itu laki-laki, selalu merasa paling benar. Kamu jangan gampang terpengaruh. Ingat, Ta, siapa yang lebih dulu ada buat kamu. Surya bisa pergi kapan aja kalau bosan. Tapi Mama? Mama nggak akan pernah ninggalin kamu.”
Suara Tata terdengar serak. “Aku ngerti, Ma. Aku janji nggak akan ninggalin Mama.”
Nada tersenyum samar, bisa kudengar dari nada suaranya. “Itu baru anak Mama. Jangan biarin Surya atur kamu. Kamu yang tentukan. Kalau Surya bener-bener cinta sama kamu, dia harus terima Mama di sini. Kalau nggak… berarti dia sama aja dengan laki-laki lain yang cuma bikin luka.”
Aku di ruang tamu mengepalkan tangan. Setiap kata Nada terasa seperti racun yang diteteskan ke telinga istriku. Aku tahu persis, ini bukan tangisan tulus. Ini strategi. Nada sedang memainkan perasaan Tata, memelintir rasa bersalahnya jadi senjata.
Suara Tata kembali terdengar, kali ini pelan, penuh kebimbangan. “Aku akan coba ngomong lagi sama Mas Surya, Ma. Biar dia ngerti keadaan Mama.”
Nada menghela napas, terdengar puas. “Bagus, Nak. Mama percaya sama kamu. Jangan biarin siapapun, bahkan suamimu sendiri yang memutuskan untuk Mama. Kamu anak Mama, Sayang... dan Mama cuma punya kamu.”
Hening sejenak. Hanya suara isakan sisa yang masih terdengar.
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dadaku terasa sesak. Aku tahu, pertempuran sebenarnya baru dimulai.