Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#2

Jam tujuh pagi aku sampai rumah, motor sudah hampir mogok. Mata rasanya berat sekali setelah semalaman jaga di pos. Begitu masuk, aku langsung melihat Tata sedang tergesa-gesa merapikan tas kerjanya.

“Mas, kamu baru pulang?” tanyanya sambil memasang sepatu.

“Iya, Ta. Lelah banget.” Aku duduk di sofa, melepas sepatu dengan malas.

“Maaf ya, aku gak bisa nungguin kamu. Hari ini ada meeting pagi. Mas istirahat aja, jangan lupa makan.” Ia mendekat, mencium pipiku sebentar, lalu berlari keluar. Suara mesin motor kami menghilang di jalan.

Tinggal aku. Dan… Mama Nada.

Aku baru hendak masuk kamar ketika terdengar suara tumit sandal beradu dengan lantai. “Pagi, Surya.”

Nada Anara muncul dari arah dapur. Rambutnya baru selesai disisir, terurai wangi. Dia hanya mengenakan kimono tipis warna krem dengan ikat pinggang longgar. Begitu dia berjalan, bagian dadanya berguncang bebas, membuatku buru-buru menunduk.

“Pagi, Ma.” Aku cepat-cepat menuju kamar, ingin tidur.

“Eh, jangan tidur dulu. Mama sudah bikinin sarapan,” panggilnya.

Aku menahan langkah. Perut memang lapar, tapi… “Aku kenyang, Ma. Mau tidur dulu.”

Nada mendekat, menahan lenganku dengan lembut. “Masa kenyang? Baru pulang dinas malam, kan pasti belum makan. Mama masak nasi goreng spesial. Ada telur mata sapi, ada sosis juga. Mama tahu kamu suka pedas.”

Aku menoleh. Senyumnya lebar, matanya tajam menatapku. Ada sesuatu di balik tatapan itu, sesuatu yang membuatku salah tingkah.

“Ya udah, sebentar aja,” kataku akhirnya.

*

Meja makan sudah tertata rapi. Nasi goreng harum mengepul, ada potongan tomat segar, timun, bahkan teh manis hangat di gelas kaca. Nada duduk berseberangan denganku. Ia menyandarkan dagu di tangan, terus memperhatikan setiap sendok yang kumasukkan ke mulut.

“Enak, kan?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk. “Iya, Ma. Makasih.”

Dia tersenyum tipis. “Mama senang kalau kamu suka. Dari dulu, laki-laki yang pernah sama Mama bilang masakan Mama bikin mereka betah.” Nada terkekeh lirih, lalu meneguk tehnya dengan bibir merahnya.

Aku berhenti mengunyah. Kalimatnya terasa ganda: ada arti lain yang sengaja ditaruh di sana.

“Surya…” Dia menyodorkan tisu, menyentuh ujung bibirku. “Tuh, ada butiran nasi. Kamu gak rapi kalau makan. Kalau Tata lihat, bisa diketawain.”

Aku kaku, menahan diri. Sentuhan singkat dari tangannya itu bikin bulu kuduk merinding. “Aku bisa sendiri, Ma.”

Nada tertawa kecil. “Kamu terlalu serius. Santai aja. Mama cuma perhatian. Menantu macam kamu harus dijaga, biar gak lepas.”

Aku meletakkan sendok. “Ma, jangan ngomong begitu. Tata bisa salah paham.”

“Tenang, Tata gak di sini.” Dia bersandar lebih dekat, tangannya bermain-main di meja, jarinya hampir menyentuh tanganku. “Sekarang cuma ada kita berdua. Bukankah enak kalau saling terbuka?”

Aku bangkit cepat, kursi bergeser keras. “Aku ngantuk, Ma. Mau tidur.”

“Tunggu.” Nada ikut berdiri, mendekat. Kimono tipisnya terbuka sedikit, memperlihatkan kulit putih di bagian dada. Nafasku tercekat.

“Surya…” suaranya pelan, hampir berbisik. “Kamu gak usah pura-pura. Mama bisa lihat dari cara kamu menunduk, dari tatapanmu semalam. Kamu tergoda, kan?”

Aku mundur selangkah. “Ma, jangan teruskan. Aku suami Tata. Gak pantas kita begini.”

Dia tersenyum miring, menahan lenganku. “Kamu terlalu jujur. Justru itu yang Mama suka. Laki-laki lain selalu sok kuat, padahal sama saja. Bedanya, Mama pengen kamu. Hanya kamu.”

Aku menepis tangannya. “Cukup, Ma.”

Sesaat keheningan. Nada menatapku dalam, lalu perlahan tersenyum lagi. “Baiklah. Mama gak maksa. Tapi ingat, pintu kamar Mama selalu terbuka kalau kamu berubah pikiran.”

Aku menelan ludah, dadaku bergemuruh.

Aku kembali ke kamar, membanting tubuh ke kasur. Keringat dingin membasahi pelipis. Aku memejamkan mata, tapi pikiran kacau: wajah Tata yang polos, senyum Nada yang menggoda, aroma parfum yang menempel di bajuku.

Pagi itu, rumah kecilku terasa seperti jebakan. Dan aku, sang menantu, entah bisa bertahan sampai kapan.

*

Jam tiga sore aku terbangun. Kepala masih berat, tapi tubuh lumayan segar setelah tidur beberapa jam. Baru saja hendak bangun dari kasur, ponselku berdering. Nama Tata terpampang di layar.

“Mas, kamu udah bangun?” suaranya terdengar agak sibuk di seberang.

“Udah, Ta. Kenapa?”

“Aku mau kasih kabar, rapat kantor molor. Kayaknya aku pulang agak malam. Jangan nungguin makan, ya. Kamu makan dulu aja di rumah.”

Aku menghela nafas. “Iya, Ta. Hati-hati di jalan.”

“Mas jangan lupa istirahat. Jangan mikirin yang aneh-aneh.” Dia tertawa kecil, lalu menutup sambungan.

Aku menatap layar ponsel lama. “Aneh-aneh…” gumamku. Kata itu justru membuat bayangan Mama Nada muncul lagi di kepala. Senyumnya, tubuhnya, dan tatapan matanya yang tadi pagi sudah bikin aku gelisah.

Tiba-tiba...

Jedug jedug jedug!

Musik keras meledak dari ruang depan. Irama dangdut campur DJ, bassnya menghentak. Aku kaget, buru-buru keluar kamar.

Di ruang tamu, kulihat Mama Nada sedang senam. Ia mengenakan tanktop neon super ketat, belahan dadanya jelas terlihat dari jauh. Legging hitam menempel rapat pada paha dan pantatnya yang sintal, setiap goyangan bikin kain itu seperti hampir robek. Rambutnya diikat kuda, keringat menetes di pelipis. Tubuhnya bergerak luwes mengikuti irama, pinggulnya berayun liar.

“Maaf ya, Surya. Mama kira kamu masih tidur,” katanya sambil terus bergoyang, senyumnya genit.

Aku berdiri terpaku, tenggorokan kering. “Ma… musiknya kenceng banget.”

“Senam kan harus semangat. Kalau pelan, gak enak.” Dia menunduk, lalu bangkit dengan gerakan pinggul berputar. Buah dadanya ikut berguncang. “Kamu gak ikut gerak? Sayang banget badan kamu kaku begitu.”

Aku menelan ludah. “Aku… bukan tipe orang yang suka senam.”

Nada mendekat sambil tetap menggoyang tubuh. “Coba sekali aja. Mama ajarin. Biar ototmu gak tegang.” Tangannya tiba-tiba meraih tanganku, menarik ke tengah ruangan.

“Ma, aku—”

“Udah, ikutin Mama.” Dia menempel di depanku, menggoyangkan pinggul kanan-kiri. “Begini. Satu, dua, tiga, empat…”

Aku kikuk, tubuh kaku. Musik menghentak, tapi aku tak bisa mengikuti.

Nada tertawa kecil. “Aduh, menantu Mama ini gemes banget. Badan bagus tapi kaku.” Ia tiba-tiba mundur sedikit, lalu menempelkan punggungnya ke dadaku. Bokong bulatnya langsung menekan selangkanganku.

Aku terkejut, tapi tubuhku otomatis bereaksi. “Ma… jangan.”

“Ah, udah ketahuan tuh,” bisiknya pelan. Pantatnya sengaja digesekkan lebih keras. Aku merem mendesah, darahku naik.

Tangannya meraih pergelangan tanganku, menaruhnya di pinggangnya. “Pegang aja. Gak usah takut.”

“Aku gak enak. Tata—”

“Tata gak ada. Cuma ada kita berdua.” Dia menoleh ke belakang, senyumnya panas. “Mama butuh temen buat olahraga. Masa kamu tega biarin Mama sendiri?”

Aku bingung, tapi bokongnya yang terus menggesek itu bikin pikiranku kacau. Kontolku menegang penuh, terhimpit di balik celana pendek tipis.

Nada pura-pura nggak sadar, lalu bergerak lebih liar. Tanktopnya basah, belahan dadanya makin terbuka. Aku bisa melihat putingnya yang menonjol jelas.

“Anjir…” aku mundur selangkah, tapi dia balik badan cepat, menghadangku.

“Kamu tau gak, Sur?” suaranya menurun, sensual. “Dari semua laki-laki yang pernah Mama temui, gak ada yang bikin Mama penasaran kayak kamu.”

Aku tercekat. Nafasku ngos-ngosan, jantung berdebar gila. “Ma… jangan ngomong gitu.”

Dia melangkah maju, tubuhnya nempel ke dadaku. Tangannya naik ke pundakku, turun ke dada. “Kamu panas banget. Mama suka.”

Aku menahan tangannya. “Cukup, Ma. Aku gak mau—”

Dia menyelipkan jarinya ke bibirku. “Ssst… jangan nolak. Mama cuma pengen ngerasain deket sama kamu.”

Detik itu, musik masih menghentak, tapi rasanya dunia hening. Bibirnya semakin dekat. Aku menoleh cepat, berusaha lepas, tapi dia sudah menempelkan payudaranya ke dadaku. Lembut, padat, bikin aku gemetar.

“Surya…” bisiknya, “sekali aja. Mama janji gak bakal bilang ke Tata.”

Aku panik, langsung mendorong pelan. “Ma! Aku masuk kamar dulu.”

Aku kabur menuju pintu kamar, hendak menutupnya. Tapi tangannya cepat menahan engsel pintu. Wajahnya merah, keringat bercampur make-up yang agak luntur. Tatapannya liar, penuh birahi.

“Surya,” suaranya serak, “jangan bikin Mama tambah penasaran. Kalau kamu terus kabur… Mama bakal cari cara lain buat dapetin kamu.”

Aku terdiam, jantung berdegup gila. Tangannya masih di pintu, dadanya naik turun. Aroma tubuhnya bercampur keringat memenuhi hidungku. Rasanya tinggal satu inci saja, aku bisa hancur.

“Ma…” suaraku bergetar, “…tolong jangan gini.”

Dia tersenyum miring. “Kamu bisa kunci pintunya sekarang. Tapi Mama janji, Surya, gak bakal berhenti.”

Aku menelan ludah. Pintu di tanganku bergetar, sama seperti tubuhku.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel