Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Binal - 3

Malam sudah larut. Di kamar yang remang, Ustadz Ibnu tidur pulas, sementara Bu Lely terbaring gelisah. Pikirannya masih dipenuhi kejadian siang tadi—tatapan para lelaki, terutama Adnan. Pujian di warung, lirikan para pemuda di jembatan, dan sentuhan tangan Adnan yang terlalu lama… semuanya terputar seperti film yang enggan berhenti.

Debaran aneh itu membangkitkan kembali kerinduan yang selama ini ia kubur: ingin diperhatikan, dipuji, disentuh, dan diinginkan sebagai perempuan—sesuatu yang tak pernah ia dapatkan dari suaminya. Rasa bersalah menyelip, tetapi semakin ia mencoba menepisnya, semakin kuat bayangan itu menjerat. Ia terombang-ambing antara keinginan untuk setia dan hasrat untuk kembali merasakan kebebasan yang pernah ia nikmati.

Ia mencoba berdoa memohon ketenangan, namun jantungnya justru berdebar makin keras. Kenangan masa lalu yang menggoda terus memenuhi benak dan nalurinya, membuat malam itu terasa semakin panjang.

Pagi datang, cahaya matahari menyelinap melalui celah jendela. Ustadz Ibnu sudah bersiap ke sekolah, sementara Bu Lely masih terbaring dengan mata berat dan pikiran kacau. Semalaman ia tak tidur, terus dihantui tatapan Adnan, pujian para lelaki, dan kerinduan yang tak mampu ia kendalikan.

Ustadz Ibnu mendekat, mengecup kening istrinya. “Selamat pagi, Bu. Mau dibuatkan teh?”

Bu Lely tersenyum tipis. “Nggak usah, Pak. Nanti ibu buat sendiri.”

Melihat wajah istrinya, Ustadz Ibnu tahu ada yang mengganjal. “Kamu kenapa? Kayak kurang enak badan.”

“Cuma kurang tidur,” jawabnya, menutup keresahan sebenarnya.

Ia tak memaksa. “Bapak berangkat dulu, ya. Jaga diri. Kalau ada apa-apa, telepon.”

Setelah mengantar suaminya ke pintu, Bu Lely kembali ke kamar, lalu memaksa dirinya bangkit dan menyibukkan diri: memasak, merapikan rumah, menyiram tanaman. Ia bekerja tanpa henti, seolah dengan itu bisa mengusir bayangan tatapan-tatapan yang masih mengguncang hatinya.

Menjelang siang, peluh membasahi pelipisnya. Ia akhirnya duduk di kursi goyang di beranda, menarik napas panjang, berusaha menenangkan degup jantung yang dari tadi tak mau stabil.

Baru saja ia hendak memejamkan mata, tiba-tiba serentetan suara letusan senapan angin dari halaman belakang.

Dorr! Dorr! Dorr!

Bu Lely tersentak dan melonjak kaget, tubuhnya bergetar hebat. Wajar saja, ia kan baru kemarin pindah ke kampung ini. Suara tembakan itu membuatnya membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Dengan jantung berdebar tak karuan dan lutut yang terasa lemas, ia memberanikan diri mengintip dari jendela dapur.

Di halaman belakang, sekitar dua puluh meter dari rumahnya, dekat rimbunnya pohon-pohon besar dan semak belukar, berdiri seorang lelaki. Ia sedang asyik membidik sesuatu dengan senapan anginnya. Burung, mungkin? Atau tupai yang sering mencuri buah?

Lelaki itu tampak santai, hanya mengenakan kaus singlet putih yang memperlihatkan otot-otot lengannya dan celana pendek lusuh. Usianya mungkin sekitar 20-an, pikir Bu Lely sambil terus mengamati gerak-geriknya dengan rasa was-was.

"Siapa dia? Dan kenapa menembak di dekat rumah?" gumamnya dalam hati.

Setelah beberapa lama fokus membidik ke arah pepohonan, lelaki itu tiba-tiba menurunkan senapan anginnya. Ia menyandarkannya di batang pohon mangga yang kokoh, lalu tanpa ragu-ragu, ia melonggarkan ikat pinggangnya dan menurunkan celana pendeknya hingga sebatas lutut.

Bu Lely tertegun. ‘Apa yang akan dia lakukan?’ pikirnya panik.

Lelaki itu berdiri menghadap semak-semak yang rimbun, lalu mulai buang air kecil. Dari sudut pandang Bu Lely yang mengintip dari balik jendela dapur, pemandangan itu terlihat jelas dari samping.

Bu Lely membeku. Jantungnya kembali berdebar tak terkendali, kali ini bukan hanya karena kaget, tapi juga karena rasa malu dan sedikit rasa ingin tahu yang bercampur desiran aneh campur aduk. Tanpa sengaja Bu lely melihat ‘batang senjata’ lelaki itu. Ukurannya tampak luar biasa, jauh berbeda dari milik suaminya atau yang ia bayangkan saat pertama melihat lelaki muda itu. Ia terkejut dan merasa pipinya semakin memanas.

Ia segera memalingkan muka, berusaha keras untuk tidak melihat lagi. Jantungnya berdebar kencang, dan ia merasa sedikit pusing. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, selain bersembunyi di balik jendela dan menunggu lelaki itu selesai dengan urusannya.

Saat pemuda itu selesai dan hendak menarik kembali celananya, ia menolehkan wajahnya ke arah jendela dapur. Mata Bu Lely seketika terbelalak lebar, mulutnya menganga tanpa sadar. Lelaki itu ternyata Adnan! Sang ketua pemuda kampung yang tadi malam ikut bersilaturahmi. Bu Lely bahkan masih ingat dengan jelas bagaimana kilatan nakal di mata Adnan saat ia bercanda dengan Pak RW tadi malam.

‘Ya Tuhan! Adnan?’ batin Bu Lely histeris. Ia merasa malu, kaget, dan bingung bercampur jadi satu.

Bagaimana bisa ia tidak mengenalinya tadi? Mungkin karena Adnan hanya mengenakan singlet dan celana pendek, atau mungkin karena ia terlalu fokus pada ‘batang senjata’ Adnan yang membuatnya kehilangan orientasi.

Bu Lely segera berjongkok di bawah jendela, berusaha menyembunyikan diri. Ia berharap Adnan tidak melihatnya mengintip. Ia merasa sangat bersalah dan malu. Bagaimana jika Adnan tahu bahwa ia telah melihatnya dalam keadaan seperti itu? Apa yang akan dipikirkannya?

Jantung Bu Lely masih berdebar kencang. Ia mencoba mengatur napasnya dan menenangkan diri. Kejadian ini terlalu tiba-tiba dan mengejutkan. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap jika bertemu Adnan lagi nanti. Yang jelas, ia merasa sangat tidak nyaman dan ingin segera melupakan kejadian ini.

Setelah beberapa saat berjongkok di bawah jendela, Bu Lely menduga Adnan sudah pergi. Ia memberanikan diri untuk bangkit dan mengintip lagi. Halaman belakang sudah sepi. Ia menghela napas lega. *Syukurlah, dia sudah pergi,* pikirnya.

Namun, baru saja ia hendak berbalik, tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan di pintu depan.

Tok! Tok! Tok!

Bu Lely terkejut. Siapa yang datang pagi-pagi begini? Dengan ragu-ragu, ia melangkah menuju pintu depan dan membukanya perlahan.

Di ambang pintu, berdiri Adnan. Ia tersenyum manis, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi.

"Selamat pagi, Bu Lely," sapanya sopan. "Maaf mengganggu. Boleh minta air minum? Haus sekali sedang berburu bajing."

Debaran jantung Bu Lely semakin parah. Ia tidak menyangka akan bertemu Adnan secepat ini, dan dalam situasi seperti ini. Kini, ia tidak lagi melihat Adnan sebagai ketua pemuda yang sopan dan ramah. Yang terbayang di benaknya adalah ‘senjata laras panjang Adnan yang tadi dilihatnya sekilas dan benar-benar menakjubkan.

Ia merasa gugup dan salah tingkah. "Oh, Adnan... Iya, tentu saja. Masuklah," jawab Bu Lely dengan suara sedikit bergetar.

Dengan senyum ramahnya, Adnan masuk ke ruang tamu. Ruangan itu sederhana namun tertata rapi, mencerminkan kepribadian pemiliknya yang telaten. Adnan mengedarkan pandangannya sejenak, lalu kembali menatap Bu Lely dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Terima kasih, Bu," ucap Adnan sambil duduk di kursi yang berada di dekat meja. "Maaf merepotkan."

Bu Lely berusaha menenangkan diri. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambilkan air minum untuk Adnan. Sambil menuangkan air ke dalam gelas, pikirannya berkecamuk. Ia merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa. Bayangan ‘senjata Adnan’ terus membayang.

"Ini, diminum dulu," kata Bu Lely sambil menyodorkan segelas air dingin kepada Adnan. Tangannya sedikit gemetar.

Adnan menerima gelas itu dengan senyum. "Terima kasih banyak, Bu," ujarnya. Ia meneguk air itu dengan cepat, lalu menghela napas lega. "Segar sekali."

Setelah meletakkan gelasnya di meja, Adnan kembali menatap Bu Lely. Tatapannya kali ini terasa lebih intens dan penuh arti. Bu Lely merasa jantungnya semakin berdebar kencang. Ia tahu, percakapan ini akan menjadi lebih sulit dari yang ia bayangkan.

"Ibu pasti kaget ya, lihat saya tadi di belakang rumah?" tanya Adnan tiba-tiba, dengan nada suara yang menggoda.

Bu Lely tersentak. Ia merasa wajahnya memerah. "Ah... itu... anu..." jawabnya gugup, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Saya... saya tidak sengaja melihat..."

Adnan tersenyum semakin lebar. "Tidak sengaja melihat apa, Bu?" godanya lagi, membuat Bu Lely semakin salah tingkah.

Bu Lely menelan ludah. Ia tahu, ia tidak bisa lagi menghindar. Ia harus menghadapi situasi ini dengan tenang dan kepala dingin. Tapi, bagaimana caranya? Pikirannya benar-benar buntu.

"Eh, Adnan, maaf ya, Ibu sedang masak, buat persiapan makan siang Pak Ustadz. Mohon maaf," ucap Bu Lely dengan nada yang dibuat sesantai mungkin, meskipun jantungnya masih berdegup kencang. Ia berharap alasan ini cukup meyakinkan Adnan untuk segera pergi.

Adnan tampak mengerti. "Oh, begitu. Tidak apa-apa, Bu. Saya juga tidak mau mengganggu terlalu lama," jawabnya sambil bangkit dari kursi. Ia tersenyum ramah, tapi tatapannya masih menyimpan sesuatu yang sulit dibaca.

Adnan berjalan menuju pintu, namun sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Bu Lely.

"Oh iya, Bu, kalau boleh, kita tukeran nomor ponsel ya?" pintanya dengan nada yang terdengar sangat sopan. "Biar mempermudah komunikasi, terutama kalau ibu butuh bantuan tenaga pemuda, untuk apa saja." Adnan bahkan menekankan kata "untuk apa saja" sambil mengedipkan sebelah matanya.

Bu Lely merasa pipinya kembali memanas. Ia mengangguk pelan dan menyebutkan nomor ponselnya. Adnan dengan cepat menyimpan nomor itu di ponselnya, lalu membalasnya dengan sebuah pesan singkat.

"Terima kasih banyak, Bu. Saya pamit dulu. Selamat siang," ucap Adnan sambil melangkah keluar. Ia tersenyum sekali lagi sebelum menghilang di balik pintu.

^*^

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel