Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Binal - 4

Setelah Adnan pergi, Bu Lely hanya bisa bersandar lemas di daun pintu yang tertutup. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan "senjata" Adnan kembali membayang di benaknya, membuat jantungnya berdebar tak terkendali.

Ia merasa terjebak dalam situasi yang aneh dan membingungkan. Apa yang sebenarnya diinginkan Adnan? Dan bagaimana ia harus bersikap jika Adnan menghubunginya nanti? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya, membuatnya semakin gelisah.

Bu Lely gelisah sendiri di kamarnya. Semua pekerjaan rumah sudah selesai, dan Ustadz Ibnu baru akan pulang nanti sore. Kesunyian rumah semakin menambah kegelisahannya. Ia mencoba membaca buku, tapi pikirannya melayang ke Adnan dan kejadian pagi tadi. Ia merasa malu, penasaran, dan sedikit takut.

Tiba-tiba, ponselnya berdering, menandakan ada notifikasi pesan WhatsApp. Dengan ragu-ragu, Bu Lely membuka aplikasi tersebut. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Ternyata, itu nomor Adnan.

[Selamat siang, Bu Lely. Sedang apa nih? Masih kepikiran saya ya? wkwkwkwk]

Bu Lely tersentak membaca pesan itu. Pipinya langsung memerah. Ia menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. Ia tidak tahu harus membalas apa.

Jantungnya berdebar semakin kencang saat notifikasi pesan baru kembali muncul.

[Tadi pagi pasti kaget ya, Bu, lihat ‘senjata’ andalan saya? Maaf ya kalau bikin Ibu terpesona. Hehe…]

Bu Lely merasa darahnya berdesir. Ia benar-benar tidak menyangka Adnan akan seberani ini. Ia merasa marah, malu, dan sedikit penasaran. Ia ingin membalas pesan itu dengan kata-kata yang tegas dan menolak, tapi entah kenapa, jari-jarinya terasa kaku dan sulit digerakkan.

Pesan ketiga dari Adnan masuk, kali ini lebih menggoda.

[Bu Lely, jangan diam saja dong. Biar saya tidak penasaran, Ibu lebih suka saya berburu di hutan, atau berburu di hati Ibu? wkwkwk]

Bu Lely benar-benar kehilangan kata-kata. Ia merasa seperti tersihir oleh rayuan Adnan. Ia tahu ini salah, tapi ia tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus membaca pesan-pesan itu. Ia merasa dirinya seperti sedang bermain api, dan ia tidak tahu kapan api itu akan membakarnya.

Bu Lely menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membalas pesan Adnan dengan nada yang dibuat bercanda, meskipun jantungnya masih berdebar tak karuan.

[Berburu di hutan saja, biar gak ngagetin orang,] balas Bu Lely, berharap Adnan mengerti bahwa ia tidak tertarik dengan rayuannya.

Namun, Adnan sepertinya tidak menyerah begitu saja. Balasannya datang hampir seketika.

[Masa lihat senjata saya kaget, Bu? Wkwkwk…]

Bu Lely semakin kelabakan. Ia merasa Adnan semakin berani dan nekad dalam merayunya. Ia tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini. Ia mencoba mengabaikan pesan itu, tapi notifikasi pesan baru dari Adnan terus bermunculan.

[Bu, sebenarnya saya sudah lama memperhatikan Ibu. Ibu itu cantik, anggun, dan sangat menarik.]

[Saya tahu Ibu pasti kesepian di rumah sendirian. Kenapa kita tidak saling menemani saja? Saya janji, Ibu tidak akan menyesal. Saya akan membuat Ibu bahagia.]

Bu Lely merasa semakin terpojok. Rayuan Adnan semakin intens dan sulit untuk diabaikan. Ia merasa bersalah karena telah membiarkan percakapan ini berlarut-larut. Ia tahu, ia harus segera menghentikan ini sebelum semuanya menjadi lebih rumit.

Dengan tangan gemetar, Bu Lely mengetik balasan.

[Adnan, maaf ya, saya tidak tertarik. Saya mohon, jangan ganggu saya lagi.]

Setelah mengirim pesan itu, Bu Lely mematikan ponselnya dan meletakkannya di meja. Ia merasa sangat lelah dan bingung. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah Adnan akan berhenti mengganggunya? Atau justru semakin gencar dalam merayunya?

Tak lama pintu rumah diketuk. Bu Lely membuka pintu dan mendapati Mbak Rini dan Lilis berdiri di depan rumahnya sambil membawa sebuah wadah besar.

"Assalamualaikum, Bu Ustadzah," sapa Mbak Rini dengan senyum ceria. "Kita bawain rujak nih. Mau ngajak Bu Ustadzah makan rujak bareng."

"Waalaikumsalam," jawab Bu Lely dengan senyum yang lebih tulus. "Wah, makasih banyak ya, Mbak. Kebetulan banget, saya lagi pengen makan rujak. Yuk, masuk,"

"Kita makan di teras aja, Bu, biar lebih seger," usul Lilis.

Bu Lely merasa senang dan sedikit terhibur dengan kedatangan dua ibu muda itu. Ia merasa seperti mendapatkan teman baru di kampung ini. Mereka bertiga duduk di teras dan mulai menikmati rujak yang segar dan pedas.

Obrolan mereka awalnya hanya seputar hal-hal ringan, seperti cuaca, kegiatan di kampung, dan resep masakan. Namun, obrolan itu kemudian bergeser ke arah yang membuat jantung Bu Lely berdebar tak menentu.

"Bu, di kampung ini, cowok-cowoknya pada cakep-cakep ya," celetuk Mbak Rini sambil terkekeh.

"Iya, Bu," timpal Lilis sambil mengangguk-angguk. "Apalagi Adnan, ketua pemuda itu. Gantengnya nggak ketulungan."

Mendengar nama Adnan disebut, jantung Bu Lely langsung berdegup kencang. Ia berusaha bersikap biasa saja dan tidak menunjukkan ketertarikannya.

"Adnan memang ganteng sih," jawab Bu Lely sambil tersenyum tipis. "Tapi, katanya agak playboy ya?"

"Nah, itu dia, Bu," sahut Mbak Rini. "Adnan itu memang terkenal playboy. Suka gonta-ganti pacar. Kadang dia suka pergi menghilang dari kampung, katanya kerja serabutan di kota."

"Tapi, pesonanya memang nggak bisa ditolak, Bu," timpal Lilis sambil mengedipkan sebelah matanya. "Katanya sih, 'senjata'-nya juga aduhai."

Bu Lely tersentak mendengar ucapan Lilis. Ia merasa pipinya memanas dan jantungnya semakin berdebar kencang. Ia tidak tahu harus berkata apa.

"Selain Adnan, ada juga Elpan, Bu," lanjut Mbak Rini. "Duda muda, penjaga kebersihan sekolah. Ramah, manis, dan banyak menyita perhatian ibu-ibu karena gemar membantu. Dia juga pandai membuat ibu-ibu senang."

"Elpan juga nggak kalah 'senjata'-nya, Bu," timpal Lilis dengan nada yang lebih prontal. "Aku pernah lihat secara nggak sengaja waktu dia mandi di sungai."

Bu Lely benar-benar kehilangan kata-kata. Ia merasa seperti sedang berada di tengah-tengah obrolan yang sangat tidak pantas. Ia ingin segera menghentikan obrolan itu, tapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Ia merasa semakin terjebak dalam situasi yang berbahaya dan sulit untuk dihindari.

Sore menjelang Maghrib, Ustadz Ibnu pulang. Kedatangannya seolah membawa kembali suasana normal ke dalam rumah. Bu Lely menyambutnya dengan senyum yang dipaksakan, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang masih menghantuinya sejak siang tadi.

Mereka berbincang seperti biasa, tentang kegiatan Ustadz Ibnu di sekolah dan tentang pekerjaan rumah yang dilakukan Bu Lely, tak semuanya diceritakan, ia malah mengatakan semua berjalan baik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, baik-baik saja.

Setelah makan malam dan shalat Isya, mereka berdua beranjak tidur. Ustadz Ibnu langsung terlelap karena kelelahan, sementara Bu Lely hanya menatap langit-langit dengan pikiran yang tak mau diam.

Bayangan Adnan—tatapan dan pesan-pesan rayunya—kembali muncul, meski sudah berulang kali ia coba tepis. Pikirannya juga teringat pada Elpan, duda muda yang lebih dulu ia kenal ketika baru pindah. Sikapnya yang ramah, kuat, dan perhatian tanpa diminta membuat sosok itu sulit diabaikan.

Tanpa sadar ia membandingkan semua itu dengan suaminya. Ia teringat harapan-harapannya dulu—keinginan untuk merasakan kedekatan dan kehangatan lebih dalam—yang tak pernah benar-benar terwujud. Hubungan mereka selalu terasa datar, seperti rutinitas yang harus dijalani, menyisakan ruang kosong yang dari dulu belum pernah terisi.

Rasa bersalah langsung menyergapnya. Ia tahu ia harus menjaga kehormatan suami dan dirinya sebagai seorang muslimah. Namun, pikiran-pikiran itu terus datang, menyeretnya ke dalam labirin yang semakin gelap dan membingungkan.

Ia menoleh pada suaminya yang tidur nyenyak. Ada kasih sayang, ada iba, tetapi juga ada kehampaan yang selama ini ia pendam rapat-rapat. Ia tak ingin menyakitinya, namun ia juga tak ingin terus hidup dengan hati yang selalu haus akan kasih sayang dan gairah yang tak pernah ia dapatkan.

Air mata mengalir pelan. Dalam keheningan malam, ia hanya bisa berharap ada jalan keluar—entah keajaiban yang memperbaiki rumah tangganya, atau keberanian untuk mencari kebahagiaan yang selama ini terasa jauh dari genggamannya.

Malam kian larut, dan kegelisahan Bu Lely justru semakin menghimpit. Ia tak sanggup lagi berbaring di samping suaminya, merasa dirinya seperti bom waktu yang siap meledak. Pelan-pelan ia bangkit, berjalan ke ruang tengah, dan menyalakan televisi dengan volume kecil sekadar untuk memecah sunyi.

Di meja, ponselnya tergeletak. Dengan tangan ragu, ia membuka WhatsApp dan membaca lagi pesan-pesan Adnan yang belum ia hapus. Kata-katanya, rayuan, perhatian, godaan halus, muncul lagi seperti bayangan yang tak mau pergi.

Sebuah keinginan aneh terbit di hatinya: berharap Adnan mengirim pesan, atau bahkan ia sendiri yang memulai percakapan. Ia merindukan debaran yang membuatnya merasa diperhatikan dan dihidupkan lagi.

Namun ia cepat menepisnya. Ia tahu itu jalan berbahaya. Ia harus menjaga dirinya, menjaga suaminya, terutama di lingkungan yang baru ini.

Ia menarik napas panjang, mencoba fokus pada televisi, tetapi pikirannya tetap kembali pada Adnan, wajahnya, tatapannya, senyumnya. Bayangan itu membuat rasa bersalah menamparnya lagi; ia merasa lemah karena tak mampu mengendalikan hatinya sendiri.

Dengan tangan gemetar, ia menutup aplikasi itu dan meletakkan ponselnya menjauh. Ia takut, bila terus menatap pesan-pesan itu, ia akan melangkah ke sesuatu yang tak bisa ia tarik kembali.

^*^

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel