
Ringkasan
PEMUAS SUAMI ORANG Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di balik dinding rumah Ustadz Ibnu. Warga hanya melihat istri yang ramah dan memesona, selalu tersenyum, selalu membantu. Namun di balik semua itu ada rahasia-rahasia binal yang tersembunyi dan sangat mendebarkan.
Binal - 1
Sabtu pagi masih lembab oleh embun ketika sebuah motor berhenti di bahu jalan Kampung Cikulat. Tanah becek sisa hujan malam membuat roda motor berderit pelan. Dari kejauhan, hamparan sawah menguning memantulkan cahaya lembut mentari, sementara aroma rumput basah berpadu dengan asap kayu dari dapur warga.
Seorang pria turun dari motor, berpenampilan sederhana: kemeja dan celana cream khas pegawawai negeri sipil, sepatu hitam yang sudah menua namun tetap rapi. Di belakangnya, seorang perempuan menyusul turun, menata ujung gamis bermotif bunga lembut. Kerudung krem panjangnya menjuntai tenang hingga ke dadanya, menambah teduh wajah yang memancarkan kehangatan.
“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga. Ini rumahnya, Bu,” ujar sang pria, tersenyum lega.
Perempuan itu memandangi rumah bercat hijau muda di hadapan mereka. Pagar bambu tampak baru, dan di sudut halaman pohon jambu air berbuah lebat.
“Masya Allah, adem sekali suasananya, Pak,” balas perempuan itu lembut.
“Betul, Bu. Udara di sini masih asli. Yuk, kita kenalan sama warga.”
Beberapa warga langsung menghampiri.
“Pak guru baru, ya?” sapa seorang perempuan berkerudung cokelat.
Pria itu tersenyum ramah, menunduk sopan.
“Iya, Bu. Saya Ibnu, akan menjadi guru agama di SD sini,” ujarnya pelan. Sang istri ikut tersenyum, mengangguk santun.
“Dan ini istri saya, Lely.”
“Alhamdulillah Pak Ustadz dan Bu Ustadzah. Selamat datang di Kampung Cikulat. Saya Lastri. Ini Bu Ikah, Bi Kokom, Bi Yayah, sama Mak Sati,” ucapnya sambil menunjuk satu per satu. Suasana langsung mencair, sambutan terasa hangat.
“Alhamdulillah, Pak Ustadz,” kata Bu Ikah sambil tertawa, “pasti anak-anak senang sekali ada Ustadz baru lagi, kemarin katanya sampai diajar sama Mas Elpan, penjaga sekolah!”
Gelak kecil pecah, membawa keakraban baru di halaman rumah itu.
Beberapa warga ikut masuk, tidak menurunkan barang karena beberapa hari lalu barang sudah diantara bahkan sebagaian sudah ditata, tinggal merapikan yang kecil-kecil saja.
“Alhamdulillah, rumahnya masih bagus ya, Bu Ustadzah,” kata Bi Kokom, menepuk lembut bahu Bu Lely, “nanti mampir ke rumah saya, ya. Kita goreng pisang bareng.”
Bu Lely tersenyum. “Wah, boleh sekali, Bi. Terima kasih.”
Ibnu Nawawi, akrab disapa Ustadz Ibnu, guru agama islam SD, dikenal berdedikasi dan sabar dalam mendidik murid-muridnya. Kini, di usianya yang 45 tahun, ia telah menapaki karier sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), sebuah pencapaian yang diraih melalui perjalanan panjang penuh kerja keras dan ketulusan dalam mengabdi di dunia pendidikan.
Di balik ketenangan dan wibawanya sebagai seorang pendidik, Ustadz Ibnu dikenal sebagai sosok ayah yang bijak dan penyayang di rumah. Ia selalu berusaha menanamkan nilai-nilai agama dan kejujuran kepada keluarganya, sebagaimana ia lakukan kepada murid-muridnya di sekolah.
Istrinya, Lely Mailasatri, berusia 40 tahun. Meski bukan seorang guru, akrab disapa ‘Bu Ibu, ‘Bu Lely’ banyak juga yang menyapa ‘Bu Ustadzah.’ Sapaan itu muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap suaminya yang seorang guru juga ustadz. Dalam keseharian, ia menjalani peran sebagai ibu rumah tangga biasa. Siapapun yang melihat Bu Lely akan menduga usianya baru 30-an.
Pasangan ini telah dikaruniai dua orang putra, masing-masing berusia 18 dan 16 tahun. Kedua anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berbakti, hasil dari teladan yang mereka saksikan setiap hari dari kedua orang tua mereka. Mereka juga dikenal sebagai keluarga sejahtera, sederhana, harmonis, dan religius.
Ustadz Ibnu berdiri di teras, menghirup aroma tanah basah. “Semoga tempat baru ini membawa berkah,” gumamnya.
Di ruang tengah, Bu Lely sibuk menata barang-barang kecil dibantu ibu-ibu tadi. Obrolan mereka mengalir pelan, tentang anak-anak Bu Lely yang terpaksa tidak bisa ikut pindah. Mereka tetap tinggal di kota bersama neneknya, karena tidak mau pindah sekolah ke kampung.
“Bu Ustadzah sendiri anaknya berapa?” tanya Bu Lely sambil menata piring. Lastri biasa disapa ‘Bu Ustadzah’ karena dia satu-satunya wanita yang mengajar ibu-ibu mengaji di kampungnya.
“Baru satu, Bu. Umurnya tiga tahun, namanya Alif.” Nada Ustadzah Lastri berubah lembut. “Sekarang lagi dijagain sama neneknya. Suami saya kerja di kota, jarang pulang.”
“Wah, pasti rindu banget ya Bu Ustadzah, capek juga ngurus anak sendirian ya.”
Ustadzah Lastri tersenyum. “Udah biasa, Bu. Yang penting sehat.”
Tak lama seorang petugas kebersihan sekolah datang membantu membersihkan halaman. Namanya Elpan, berusia 24 tahun. Penampilannya rapi, bersih, dan sopan. Ustadz Ibnu dan istrinya menyambutnya dengan senyum ramah.
“Terima kasih ya, Mas Elpan, sudah repot-repot,” sapa Bu Lely.
“Wah, nggak apa-apa, Bu. Sekalian silaturahmi.”
Bu Lely menyuguhkan semangkuk mie rebus dan segelas kopi hitam buat Elpan.
“Maaf kalau saya merepotkan Ibu,” kata Elpan.
“Tidak sama sekali. Justru kami sangat terbantu,” jawab Bu Lely lembut.
Mereka duduk di bangku samping, di bawah pohon jambu dan matahari yang mulai terik. Angin membawa aroma sawah yang basah, membuat percakapan terasa ringan dan akrab. Ustadz Ibnu sedang beristirahat di kamarnya, sementara para tetangga yang lain sudah kembali ke rumahnya masing-masing.
Obrolan Bu Lely dan Elpan lambat laun meluas sampai pada masalah pribadi dan rumah tangga. Elpan ternyata bukan asli penduduk Cikulat, sudah lima tahun dia di sana dan ternyata baru lima bulan bercerai dengan istrinya. Pernikahannya sendiri hanya bertahan setahun dan untungnya belum dikarunia anak.
Bu Lely menatapnya penuh empati. “Mungkin Allah sedang menyiapkan jalan baru, Pan. Kadang sesuatu yang terasa pahit itu justru bentuk kasih sayang-Nya.”
Elpan mengangguk. “Iya, Bu. Semoga begitu.”
“Elpan masih muda, punya pekerjaan tetap, ganteng pula. Pasti banyak wanita yang bersedia jadi istrinya lagi.”
“Amiin, semnoga saja tak lama lagi udah ada gantinya, Bu.”
Hening sesaat. Hanya suara angin di sela bambu.
Bu Lely menyesap kopinya perlahan. “Hidup di kampung memang sederhana, tapi selalu ada yang bisa kita syukuri.”
“Betul, Bu,” balas Elpan. “Di sini orang-orangnya juga ramah, saya sendiri sudah sangat betah di sini. Lama-lama jadi serasa penduduk asli.” Ia menatap halaman dengan senyum canggung, berusaha menghapus kesedihan yang tadi sempat muncul.
Tak lama kemudian azan Ashar berkumandang. Elpan berpamitan dengan sopan.
“Terima kasih banyak, Bu. Kopinya nikmat sekali.”
“Sama-sama, Elpan. Nanti kalau Ibu ada perlu apa-apa pasti menghubungi lagi via WA ya”
“Iya Bu, kalau perlu bantuan, jangan sungkan kirim pesan aja, atau titip pesan lewat Pak Ustadz, Insya Allah saya bantu.”
Elpan mengangguk hormat, lalu beranjak pergi.
Langit sore mulai memerah, Bu Lely memandangnya dari teras. Angin berembus lembut membawa sisa aroma kopi dan suara adzan yang menggema dari kejauhan. Dalam hati, ia berbisik pelan, “Ya Allah, jaga hatiku di tempat yang baru ini.”
Ustadz Ibnu duduk di teras samping setelah kembali dari melaksanakan Shalat Ashar berjamaah. Suara langkah dari dalam rumah memecah lamunannya. Bu Lely muncul, telah berganti pakaian dengan busana muslimah berwarna lembut.
Dari sekilas pandang, penampilannya tampak rapi dan sopan, namun bagi Ustadz Ibnu, ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah. Pakaian itu terlalu pas di badan, terlalu menonjolkan lekuk tubuh istrinyanya secara eksplisit, tidak seperti biasa yang longgar dan sederhana.
“Pak, Ibu mau ke warung dulu ya, sebentar,” ucapnya sambil merapikan kerudung.
Ustadz Ibnu menoleh, pandangannya menurun sebentar lalu kembali ke wajah istrinya. Ia terdiam sejenak sebelum berkata pelan, “Masya Allah, Bu… itu nggak salah, pakai begitu?”
“Salah kenapa? Toh ini cuma di kampung, Pak. Ustadzah Lastri juga tadi pakai pakaian begini. Paling beda dikit sama ibu-ibu lainnya yang pakai baju kurung,” jawabnya ringan.
Ustadz Ibnu menatap istrinya beberapa detik, napasnya terasa berat. “Bu,” katanya akhirnya, “kampung ini kecil. Orang-orangnya sederhana, tapi pandangannya tajam. Justru di tempat seperti ini, semua mata akan memperhatikan. Bapak ini guru agama. Sedikit saja salah langkah, bisa panjang urusannya.”
Bu Lely berhenti di ambang pintu, menoleh dengan senyum tipis. “Pak, Ibu cuma mau beli gula dan sabun, bukan mau jalan-jalan ke kota. Lagian, ini baju muslim biasa kok, bukan yang aneh-aneh.”
Ustadz Ibnu menghela napas. “Bapak tahu, Bu. Tapi tetap saja, kesan itu penting. Orang lihat bukan cuma siapa kita, tapi bagaimana kita berpenampilan.”
Istrinya tersenyum, lembut namun sedikit menantang. “Ah, Bapak ini… dari dulu juga begitu. Hidup jangan kaku-kaku amat, Pak. Kata Ustadzah Lastri, ibu-ibu di sini juga gaul, malah ada yang pakaiannya lebih ketat.”
Ustadz Ibnu terdiam, berusaha berpikir positif, mungkin istrinya hanya ingin menyesuaikan diri di lingkungan baru.
Ia sudah beberapa kali pindah tugas, tapi kepindahannya kali ini bukan karena penugasan. Ia sendiri yang meminta mutasi; alasan resminya ingin mengabdi di daerah terpencil, padahal sesungguhnya ia ingin menjauh dari bisik-bisik, tatapan iba, dan rasa malu yang menggerus harga diri seorang suami, guru agama, dan ayah.
Sebagai ustadz, ia berusaha menjaga diri dan menutup aib rumah tangga, meski kesabarannya kian menipis. Di kampung sunyi ini, ia berharap bisa menemukan kembali kedamaian dan waktu untuk memperbaiki retakan rumah tangganya yang serasa bom waktu.
“Ya Allah, sabarkan hamba… berat sekali menjaga sesuatu yang terus ingin lepas dari genggaman.”
^*^
