Binal - 2
Bu Lely melangkah memasuki warung Pak Rosid dengan senyum yang sedikit dibuat-buat. Ia tahu, penampilannya hari ini cukup menarik perhatian. Ia sengaja mengenakan gamis yang sedikit lebih ketat dari biasanya, dengan harapan bisa mendapatkan sedikit perhatian dari orang-orang di sekitarnya.
Benar saja, begitu ia masuk, beberapa pasang mata langsung tertuju padanya. Di warung itu, tampak beberapa bapak-bapak sedang asyik nongkrong, ngopi, dan ngobrol santai. Mereka adalah wajah-wajah yang sering ia lihat di kampung ini: Pak RT, Ketua Pemuda, dan beberapa warga lainnya.
"Eh, Bu Ustadzah, alhamdulillah sudah mau ke warung sore-sore," sapa Pak Rosid, pemilik warung, sambil tersenyum ramah. "Mau beli apa, Bu?"
"Ini, Pak, mau beli gula sama sabun," jawab Bu Lely sambil tersenyum manis. Ia sengaja memperlambat gerakannya saat memilih barang, agar bisa lebih lama berinteraksi dengan orang-orang di warung.
“Bu Ustadzah, istrinya Pak Ustadz Ibnu ya?” tanya seseorang.
“Betul, salam kenal buat semua ya.”
"Wah, Bu Ustadzahnya cantik sekali," celetuk Pak RT sambil terkekeh. "Persis bidadari yang turun ke Cikulat."
Bu Lely tertawa kecil mendengar pujian itu. "Ah, Bapak bisa aja," jawabnya dengan nada genit. "Terima kasih pujiannya."
"Emang bener, Bu. Bu Ustadzah ini laksana bulan yang akan menerangi kampung kita," ujar Bah Arsa sambil mengedipkan sebelah matanya.
Bu Lely tersenyum semakin lebar. Ia merasa senang mendapatkan perhatian dan pujian seperti ini. Ia merasa dirinya kembali hidup dan bersemangat.
"Akhirnya kampung kita ada bintangnya," celetuk seseorang yang lain.
"Iya, sudah cantik, ramah lagi. Siapa yang nggak betah kenalan sama Bu Ustadzah."
Bu Lely tertawa lagi mendengar pujian itu. Ia merasa seperti seorang ratu yang sedang dikelilingi oleh para pengagumnya. Ia menikmati setiap momen ini.
"Makasih ya, Bapak-bapak," ucap Bu Lely sambil membayar belanjaannya. "Saya pamit dulu ya. Mau masak buat Pak Ustadz. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan Bu Ustadzah," jawab Pak Rosid dan bapak-bapak lainnya serempak.
Dalam hati Bu Lely tersenyum kecil. ‘awal yang baik’ pikrinya.
Saat melewati jembatan kecil yang melintasi sungai dangkal, Bu Lely harus berhadapan dengan pemandangan yang tak asing di banyak sudut kampung: beberapa pemuda sedang nongkrong. Mereka duduk di pagar jembatan, sebagian merokok, sebagian lagi tertawa renyah. Aroma tembakau dan tawa riang mereka menyambut Bu Lely dari kejauhan.
Jantung Bu Lely mulai berdebar tak karuan, menyadari mata-mata penasaran itu akan tertuju padanya. Ia mencoba berjalan lebih cepat, menundukkan pandangannya, berharap bisa melewati mereka tanpa menarik terlalu banyak perhatian.
Namun, seperti yang sudah ia duga, saat ia semakin mendekat, tawa para pemuda itu mereda. Bisikan-bisikan pelan mulai terdengar, dan mata-mata mereka, yang tadinya menatap kosong ke sungai, kini beralih sepenuhnya kepadanya.
Bu Lely bisa merasakan tatapan jelalatan itu, menyusuri lekuk tubuhnya yang terbalut pakaian muslimah ketat, sebuah pilihan busana yang ia rasa modis namun kini terasa terlalu menonjol di suasana kampung yang sederhana. Dalam benaknya, ia merasa para pemuda itu seperti melihat 'barang berharga,' menarik perhatian yang tak disengaja.
"Sore, Bu!" seru salah satu dari mereka, diiringi anggukan dari yang lain.
“Sore juga,” balas Bu Lely sambil senyum tipis dan anggukan singkat, menjaga agar ekspresinya tetap sopan dan tenang. Ia berusaha tidak menunjukkan kegelisahan yang membanjiri hatinya. Ia mempercepat langkah, ingin segera tiba di rumah dan melupakan tatapan-tatapan itu.
Setelah melewati jembatan dan berbelok di tikungan, Bu Lely menghela napas lega. Ia tahu, kesan yang ia tinggalkan di mata para pemuda itu mungkin tidak sejalan dengan citra istri seorang ustadz yang ingin ia pertahankan di kampung baru ini.
Tiga orang pemuda diam-diam memisahkan diri dan berbisik-bisik sambil sesekali menatap Bu Lely yang semakin menjauh. Salah seorang dari mereka, tampak sangat serius seperti komandan perang yang sedang mengatur strategi serangan.
Sementara pemuda yang lainnya asyik ngobrol terbuka.
“Gila, katanya usianya udah 40 tahun, tapi pantatnya kaya mama muda, coy” bisik salah seorang.
“Bukan cuma itu, toket kembarnya coy, kiri kanan sama ajibnya,” balas yang lain.
“Eh, liat deh pinggulnya goyang-goyang gitu, kayak lagi ngajak main,” tambah yang ketiga sambil nyengir lebar, suaranya ditekan agar tak terdengar jauh.
“Iya, bro, kulitnya mulus banget, pasti enak dipeluk dan dijilatin. Kalau dia istri Ustadz, gimana dong kalau kita lagi sholat, pasti konsentrasi buyar,” sahut yang pertama, diikuti tawa pelan yang tertahan.
“Gue rela jadi muridnya Pak Ustadz, asal bisa deket-deket sama Ibu Ustadzahnya,” gumam yang pertama, matanya masih mengikuti sosok Bu Lely yang kini hampir hilang di balik pepohonan.
Tiga pemuda yang berunding pun tampaknya sudah mencapai kesepakat, “Kali ini kita gak boleh gagal sedikit pun. Semua wajib ikuti setiap rencana yang sudah disusun dan disepakati. Jangan sampai gagal lagi seperti minggu lalu. Gue yakin ini rasanya pasti jauh lebih nikmat. Apalagi kalau digarapnya rame-rame bertiga!” tegas sang komandan.
Hati Bu Lely masih sedikit bergetar, tapi ia segera menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayang-bayang tatapan para pemuda tadi. Kampung Cikulat ini, meski kecil dan sederhana, ternyata penuh kehangatan yang membuatnya mulai merasa betah. Warga di sini ramah-ramah tua muda, pria wanita, semuanya seperti keluarga besar yang saling menyambut tanpa prasangka.
Saat ia melewati halaman rumah warga sekelompok ibu-ibu muda sedang mengobrol. Mereka langsung melambai ramah saat melihat Bu Lely lewat.
"Bu Ustadzah, kalau butuh teman ngobrol, kabarin aja, kita sering kumpul ngerumpi kecil-kecilan," kata Mbak Rini yang berkerudung biru muda.
Bu Lely mengangguk antusias, merasa tersentuh oleh keakraban itu. "Insya Allah, Mbak." Semakin yakin warga Cikulat punya ikatan peraudaraan yang baik dan kuat.
Ia pun tiba di rumah dengan perasaan lebih ringan, yakin bahwa meski ada tantangan kecil seperti tatapan penasaran tadi, kebaikan warga ini akan menjadi pondasi baru bagi keluarganya. Ustadz Ibnu, yang sedang membaca buku di teras, menyambutnya dengan senyum tipis, seolah merasakan perubahan di wajah istrinya.
“Pak, tadi di warung ramai sekali,” katanya sambil tersenyum lebar. “Bi Kokom cerita, katanya minggu depan ada pengajian ibu-ibu. Ibu diminta ikut bantu nyiapin hidangan. Lucu ya, baru datang udah diajak gabung.”
Ustadz Ibnu menatapnya dari teras. Ia tersenyum tipis, sekadar menyambut. “Alhamdulillah, bagus kalau bisa cepat akrab sama warga,” ujarnya pelan.
Bu Lely tertawa kecil. “Iya, Pak.”
Ia lalu melangkah ke dapur, bersenandung pelan. Suara perabok kecil beradu, aroma teh manis mulai memenuhinya.
Namun bagi Ustadz Ibnu, semua terasa samar. Ada nuansa halus yang sulit diterjemahkan, seolah tawa dan kehangatan istrinya berasal dari dunia yang sudah tak lagi sepenuhnya bisa ia jamah.
Selesai salat Isya di mushola, Ustadz Ibnu datang bersama beberapa bapak-bapak. Warga sekitar yang sengaja bersilaturahmi. Ada Pak RW, Pak RT, Adnan Ketua Pemuda yang tampak energik dengan tatapan mata yang sulit ditebak, dan tiga lelaki lain yang kesemua wajahnya belum terlalu familiar bagi Bu Lely.
Ustadz Ibnu dan Bu Lely sangat senang. Rumahnya menjadi ramai di malam pertama ini, menandakan sambutan hangat dari masyarakat. Bu Lely sibuk menyiapkan hidangan kecil dan kopi, bolak-balik dari dapur ke ruang tamu. Aroma kopi bercampur dengan aroma kue kering memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.
Bu Lely menyadari, semua tamunya sering curi-curi pandang. Ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat ke warung tadi sore. Setiap kali ia lewat atau menuangkan kopi, ia bisa merasakan tatapan sekilas yang cepat-cepat dipalingkan. Tatapan-tatapan itu terasa seperti sentuhan halus yang menggelitik kulitnya, membuatnya merasa tidak nyaman sekaligus sedikit bergairah.
Jantung Bu Lely berdebar tak karuan. Ia mencoba bersikap wajar, melayani tamu dengan senyum ramah, namun ada perasaan aneh yang merayap dan sedikit membuatnya gelisah. Ia berusaha keras menepis pikiran negatif, mengingat keramahan mereka di awal kedatangan. Namun, tatapan-tatapan itu terlalu sulit diabaikan.
Saat ia membungkuk untuk meletakkan nampan berisi kue di meja, ia merasakan tatapan Adnan Ketua Pemuda yang menelusuri lekuk tubuhnya dari atas ke bawah. Ia segera menegakkan tubuhnya dan menatap Adnan dengan tatapan tajam, berharap pemuda itu mengerti bahwa ia tidak menyukai tatapannya. Namun, Adnan hanya tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Obrolan mengalir panjang di ruang tamu, dari pembahasan kondisi kampung hingga rencana kegiatan keagamaan. Ustadz Ibnu terlihat menikmati suasana akrab itu, tertawa lepas bersama para tamunya.
Bu Lely sesekali ikut nimbrung dari ambang dapur, berusaha menunjukkan bahwa ia juga bagian dari percakapan itu. Namun, di dalam hatinya, ia merasa seperti berada di tengah kerumunan serigala yang siap menerkamnya kapan saja.
Saat para tamu berpamitan, Ustadz Ibnu dan Bu Lely tersenyum ramah dan mengucapkan terima kasih atas kunjungan mereka. Bu Lely merasa lega karena akhirnya malam yang menegangkan ini akan segera berakhir. Namun, debaran jantungnya semakin tak terkendali saat ia bertatapan dengan Adnan.
Tatapan Adnan yang sulit diterjemahkan. Ada kekaguman, nafsu, dan sedikit tantangan di sana. Seolah Adnan tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran Bu Lely. Seolah Adnan memiliki kekuatan untuk membongkar semua rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
^*^
