Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3 RATNA DIJEBAK

Mataku fokus memandang tubuh Tante Fitri yang setengah polosan tanpa beha, terpampang penuh di layar laptop. Kualitas kamera pengintai tersembunyi itu memang super HD. Hingga saat dia melepas celana dalam yang berwarna krem dan menggantungkannya di pintu, aku bisa melihat jelas detil bentuk anatomi tubuhnya.

Melihat adegan Tante Fitri yang kesepian dan butuh sentuhan itu, hasratku pun naik pangkat ke level combo. Kurasakan bagian bawah tubuhku mengeras dan berdiri, mendorong handuk yang kukenakan hingga mencuat keatas laksana piramid di tengah gurun pasir.

Ini kali kedua aku menonton live streaming Tante Fitri mandi, setelah dua hari yang lalu aku nemu kamera tersembunyi di kamar mandinya. Yang kemarin tidak sepanas ini dan cuman membasuh badan saja. Kesannya buru-buru tanpa melepas daleman. Mungkin kemarin itu karena sudah terlalu malam dan udaranya dingin; jadi dia cuman mandi kilat.

Leherku terasa pegal karena terlalu fokus memandangi layar laptop yang tengah memutar sinetron dewasa itu. Ku lemaskan otot leher untuk meredakan pegal, dengan menggerakkan kepala ke kiri kanan; ke bawah atas dan….

Kulihat jam dinding sudah menunjuk angka delapan kurang seperempat.

“Mati aku, bisa terlambat ujian nih!” gumamku. Segera ku matikan laptop.

Sedari tadi aku hanya mengenakan handuk tanpa baju dan celana dalam. Langsung kulepas handuknya dan kulempar dekat baju kotor. Ku kenakan saja pakaian kemarin yang sudah agak bau. Samarkan baunya dengan menyemprot parfum sebanyak-banyaknya. Gerak cepatku berganti pakaian mirip dengan adegan ganti kostum suparman dalam film. Lalu ku raih tas punggung yang berisi laptop.

Aku berlari menuruni tangga, sambil membenarkan posisi sepatu tanpa kaos kaki yang belum pas.

Layaknya pendekar, aku melompat ke motor. Langsung ku tancap gas, melaju kencang menuju kampus; tak beda dengan pembalap moto GP, tapi matic.

Tiba di kampus, aku masuk kelas bersamaan dengan kehadiran Pak Koco (Dosen kodingku). Ku anggukkan kepala memberi salam padanya dan dibalas senyumanya yang tersembunyi dibalik kumis tebal yang mirip bemper truk tronton.

“Selamat…” gumamku dalam hati dan kebagian tempat duduk didepan meja dosen.

***

Ujian koding C++ hari ini pun usai. Nyaris saja aku gagal, untung kodingku bisa ku rampungkan di detik-detik terakhir menjelang waktu habis.

Belum sempat pula ku teliti baris kodenya langsung ku kirim ke server pengumpulan jawaban. Padahal, aku sendiri tak yakin jika kodeku itu akan berjalan sempurna ketika di compile.

Entahlah, aku tak ingin menjadikanya beban pikiranku. Berapa pun nilai yang ku dapat adalah konsekuensi buatku.

Terlebih, aku kurang tertarik dengan koding tua itu. Itulah sebabnya semalam aku lebih asik buat ngulik film anime dan juga pagi ini lebih memilih nonton Tante Fitri daripada belajar.

Lagian, aku bisa saja meretas database nilai di kampus, jika hanya ingin mendapatkan nilai A. Tapi aku tak ingin membodohi diri sendiri dengan cara busuk itu.

Setelah memasukkan laptop ke dalam tas, aku beranjak pergi keluar kelas.

Langkahku terhenti di depan pintu kelas, saat melihat Ratna berdiri di seberang pintu. Nampaknya sedari tadi dia menungguku. Rasa sebalku pun muncul tanpa permisi.

Ingin ku urungkan niatku keluar dan bersembunyi di dalam kelas. Tapi, terlambat sudah.

Ratna telah melihatku dan kini ia melambaikan tangan, memanggilku sambil cengengesan.

Tak ada pilihan lain, dengan lesu aku mendekat.

"Ada perlu apa kamu mencariku?" tanyaku dengan sinis, berharap dia pergi saja.

"Huh, kamu tuh bener-bener gak menghargai aku. Sudah sejam lho aku nungguin kamu disini kayak orang ilang."

"Gak biasakah sekali saja, kamu menyambutku dengan kata-kata manis atau senyuman atau pelukan?" katanya dengan ketus, seperti musuh memberondongku dengan senapan otomatis.

"Sudah?" tanyaku datar, malas berbicara panjang lebar.

"Kalo sudah kenapa?" kata Ratna gemas, sambil mengrenyitkan alis.

"Kalo sudah, aku pulang dulu ya. Daa..."  kataku sambil ngeloyor pergi.

"BELOOOMMMM!!!!" teriak ratna keras, sambil menarik tas punggungku dan nyaris membuatku terjungkal. Suaranya yang lantang, bergema di lorong kampus laksana sound horeg. Semua orang yang ada disitu terkejut mendengarnya, hingga mereka semua berpaling ke arahku dan Ratna.

“Gak usah ngegas kale, bikin malu saja!” Pegel hatiku dipermalukannya. Seolah aku telah berbuat tidak senonoh padanya.

Ratna pun tersenyum puas melihat sikapku yang jadi canggung.

“Aku ingin berbicara empat mata dengan kamu” Kata Ratna dengan muka serius.

“Waduh, aku nggak bisa Rat. Hari ini aku sibuk banget, banyak acara.” Balasku beralasan untuk menolaknya agar bisa cepat pergi meninggalkan Ratna.

Aku curiga dia bakal ngomong aneh-aneh. Kebiasaannya selama ini jika ngobrol berdua, pasti menggibah sesuatu yang nggak penting dan gak nyambung.

“Please Man, sekali ini aja. Aku mau minta tolong sama kamu. Bentar deh.” Ucap ratih memelas. Sebenarnya ini sudah yang kesekian ribu kali dan tampaknya masih ada simpanan ribuan kali lagi.

“Bener Rat, aku nggak bisa. Aku udah janjian sama Seto buat belajar kalkulus buat ujian besok” Aku sedikit berbohong soal janjian dengan Seto. Aslinya cuman mau pinjam catatannya saja.

Ratna menghela nafas dengan muka dongkol.

“Pokoknya, kamu harus ikut aku!” katanya sambil melotot kepadaku.

Tak terduga, dia langsung menarik tangan kiriku cepat dan menyeretku, hingga aku tertatih berjalan menyamping terseok-seok.

“Tolong…Tolong…” teriakku dengan menahan tawa, supaya dia risih dan malu, kemudian melepaskanku. Namun tidak.

Sesaat, aku berpapasan dengan Andi teman seangkatanku. Ia melintas sambil mengamati tingkah kami dan tersenyum melihat kekonyolan yang sedang terjadi.

“Tolong aku Ndi, aku mau diperkaos sama Ratna” teriakku pada Andi, dalam langkahku yang masih terseok-seok menyamping. Berharap Ratna melepaskanku.

“Hah, serius?” Wajah Andi bukanya kaget, malah terlihat sangat antusias.

“Sini, biar aku saja yang menjadi peran penggantimu.” Kata Andi sambil setengah tertawa dan meraih tangan kananku.

Tak dapat dipungkiri, Ratna memang lumayan manis dan bodinya oke. Jikalau diperkaos beneran, Andi pasti tak akan menolaknya.

Langkah Ratna terhenti karena Andi menarik tanganku.

“Heh, berani kamu ya?” Ratna membentak Andi dengan melotot dan mengacungkan kepalan tangan.

“Ampun Nyai… Ampun Nyai…” kata Andi sambil melepaskan tanganku, menyembah-nyembah, tertawa dan langsung ngeloyor pergi.

Ratna kembali menarik tangan kiriku dan berjalan dengan tergesa, membuatku terseok-seok miring lagi.

“Tolong…Tolong…” teriakku sambil tawa dan disoraki banyak orang.

Ratna menarikku jauh. Hingga jadi tontonan gratis orang-orang yang ada di situ. Beberapa tertawa melihat kelakuan kami berdua yang seperti sepasang kekasih bertengkar dan sangat memalukan.

Ia menyeretku hingga ke taman kampus, memilih kursi kosong paling pojok dan sepi; barulah melepaskanku.

Kami duduk bersebelahan di kursi taman, beratapkan pohon bugenvil. Ekspresi Ratna sudah berubah, yang tadinya garang, sekarang menjadi serius malah cenderung menyimpan sesuatu.

“Sudah, cepat katakan. Apa maumu Rat?” tanyaku mengawali obrolan.

“Aduh, gimana ya ngomongnya?” balas Ratna bingung.

“Wah, nggak jelas nih. Aku pergi saja.” Kataku dan beranjak akan pergi, tapi dihalangi tangan Ratna.

“Tunggu Man!”

“AKU DIJEBAK!” Ucap Ratna

“HAH!” aku sangat kaget mendengar itu.

“Tolongin aku Man, aku tak tau harus bagaimana.” Mata Ratna berkaca-kaca saat mengatakan itu. Kemudian ia menutup mukanya dengan kedua telapak tangan dan menangis.

Hatiku menjadi iba melihat Ratna yang sesengguan. Kurapatkan badanku disampingnya sambil merangkul dan menepuk-nepuk bahunya. Ratna pun menyandarkan kepalanya di bahuku.

“Siapa yang menjebakmu?” tanyaku saat kulihat tangisnya mereda.

Dia tak menjawab, malah menangis lagi dalam telapak tanganya. Tubunya semakin dirapatkan ke tubuhku, juga kepalanya di bahuku.

“Hmmmm… cari kesempitan dalam kesempatan nih.” Gumamku dalam hati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel