Pustaka
Bahasa Indonesia

Hacker Otak Kotor

72.0K · Tamat
SACILAD
55
Bab
548
View
9.0
Rating

Ringkasan

Seorang pendekar digital melawan kejahatan dengan caranya sendiri. Dia adalah seorang hacker pasif yang menggunakan keahliannya dibidang komputer.

TeenfictionKampusactionpendekarPetualanganDetektifModern

BAB 1 TRAGEDI SANG PENGECUT

BROK…BROK…BROK

Pintu tiba-tiba digedor keras oleh seseorang yang tidak dikenal hingga bergetar kuat seakan diterjang oleh seekor banteng jantan.

Hujan lebat dengan kilatan-kilatan guntur, membuat kami tak menyadari kehadiran mereka.

“KELUAR KALIAN SEMUA!!! ATAU AKAN KAMI DOBRAK PINTUNYA!!!”

Teriakan berat dan serak seorang pria dibalik pintu, memaksa kami untuk membukakan pintu. Memecah bunyi deru hujan yang berkilauan.

Kami adalah sebuah gerombolan kecil yang hanya beranggotakan 9 orang. Namun kelompok kami telah sukses mengungkap berbagai kasus skandal di instansi pemerintah.

Kami tak anti pada pemerintah. Niat kami adalah mengkritisi kinerja pemerintah yang sedang berlangsung. Dengan mengungkap skandal tentang praktik korupsi, kolusi, nepotisme dan kejahatan yang tengah terjadi namun dirahasiakan oleh pemerintah.

Setiap temuan akan kami publikasikan melalui media online di blog yang bernama BLACK-BLACKAN.

Otak dari kegiatan ini adalah Mas Ajik. Dia adalah anak dari seorang pejabat negara yang bersih dan menentang segala kegiatan kotor yang terjadi di dalam instansi pemerintah. Ayahnya adalah penyandang dana kegiatan kelompok kami.

Pacarku yang bernama Lina, adik Mas Ajik; juga turut bergabung. Empat bulan yang lalu dia mengajakku untuk turut serta dalam kegiatan kelompok ini sebagai kreator konten.

Saat ini aku masih kelas 1 SMA. Begitu juga Lina dan keenam anggota lainnya. Kami satu sekolahan.

Tentu saja tindakan membuka aib pemerintah ini mendapatkan pro dan kontra. Walaupun kami telah banyak membantu aparat keamanan untuk mengungkap berbagai kasus dalam instansi pemerintah, namun juga menyulut amarah para pejabat kotor dan mafia-mafia yang merasa terusik dengan kegiatan kami. Hingga kami harus merasahasiakan markas tempat kami bekerja, demi alasan keselamatan.

Markas kami berada di pinggiran kota. Sekitar 2 tahun yang lalu Mas Ajik menyewa sebuah rumah besar dan menggunakan ruang tengahnya sebagai kantor kegiatan kami. Sejauh ini kami berhasil menyembunyikan keberadaan kantor kerja kami. Namun, semuanya tak selalu berjalan mulus. Hari ini lokasi kami diketahui.

BROK…BROK…BROK

“CEPAT BUKA PINTUNYA!!!” Gedoran pintu bersama teriakan berat dan serak itu terdengar lagi. Seakan menghapus suara hujan deras dan guntur di luar tembok.

Suasana mencekam membuatku ketakutan dan panik. Sekujur tubuh rasanya bergetar hebat dan jantungkku berdegub kencang bagai dihentakan tembakan meriam.

Aku memandang teman-temanku, mereka pun tampak menggigil ketakutan. Lina terlihat meringkuk di pojok ruang sambil menangis tersedu bersama dengan Nita dan Shinta yang saling berpelukan. Semua yang ada di dalam ruangan ini dihantui rasa cemas dan sangat ketakutan.

Rasanya ingin ku hampiri Lina. Mendekapnya agar berakhir tangis pilu itu. Namun rasa takut mencengkeramku. Saat aku mencoba melangkah, kakiku sangat berat bagaikan dicor dalam beton semen.

BROK…BROK…BROK

Suara gedoran pintu terdengar lagi. Kali ini getarannya lebih kuat dari sebelumnya.

“Matikan semua komputer! Langsung cabut saja! Kita kabur lewat pintu belakang.” Bisik Kak Ajik memberikan komando.

Mendengar itu, aku dan keempat temanku Ratno, Eka, Bowo dan Yuan; bergerak secepatnya sesuai perintah Kak Ajik, mencabut semua kabel listrik komputer yang masih menyala. Kemudian setengah berlari menuju pintu belakang yang terletak di ruang dapur. Aku menghampiri Lina yang masih menangis, kutarik dan ku papah ke belakang diikuti Nita dan Shinta yang masih berlinang air mata.

Mas Ajik sudah berada di belakang membukakan pintu.

Dibalik pintu belakang adalah halaman yang agak luas dikelingi pagar tembok dengan tinggi sekitar tiga meter dan sebuah pintu darurat. Halaman itu tak terawat, ditumbuhi rumput dan semak belukar.

Selama ini tak ada yang membersihkan, karena kami hanya menyewa bangunan ini sebagai markas; hingga pemiliknya pun tak turut campur dalam hal perawatan. Dibelakang pintu darurat ada sebuah jalan setapak menuju kampung yang membentang di pinggir sungai besar.

Ratno, Eka, Bowo dan Yuan sudah berlari keluar dalam guyuran hujan. Sementara Mas Ajik masih di depan pintu, menjaganya agar tak menutup karena tiupan angin.

“Ayo, cepat… cepat…” Ucap Mas Ajik yang tubuhnya telah setengah basah karena cipratan air hujan dari luar.

Aku menyuruh Lina, Nita dan Shinta untuk pergi keluar dahulu. Tapi Lina menolak dan memilih pergi bersamaku dan kakaknya. Dua wanita itu segera berlari menyusul keempat temannya.

“Cepat, kalian pergi duluan. Aku dibelakangmu.” Kata Mas Ajik dan kubalas anggukan.

Sesaat suasana menjadi sunyi. Tak ada suara pintu digedor. Hanya terdengar hujan dan guntur.

Belum sempat aku dan Lina keluar, tiba- tiba…

BRRRAAAKKKKK!!!

Suara pintu di dobrak terdengar keras memekakkan telinga. Aku menoleh ke arah ruang tamu melalui sela-sela pintu dapur. Beberapa pria kekar berpakaian hitam dan berbaret merah terlihat masuk ke ruang tengah sambil menenteng senjata laras panjang otomatis.

DOR!!! DOR!!! DOR!!!

PRAK!!! PYARRR!!!

BROK!!!

Mereka langsung meberondong komputer beserta segala perabot didalam ruangan itu hingga semuanya hancur lebur dan porak poranda.

“CEPAT PERGIII!!!” Kak Ajik berteriak sambil mendorong aku dan Lina keluar, kemudian ia menutup pintu yang hanya bisa dikunci dari dalam itu.

Kak Ajik tak ikut keluar.

“SELAMATKAN ADIKKU!” Teriaknya dari dalam di sela hujan yang telah membasahi kami.

“KAKAKKK… AYO PERGI!” Lina berteriak. Dalam tangis dan guyuran hujan, dia memanggil kakaknya yang mengunci diri di dalam.

“Lina, dengarkan kakakmu.” Kataku sambil menarik tangan Lina yang terus menangis dan memanggil kakaknya.

Aku sempat mendengar suara pertengkaran Mas Ajik dengan orang-orang berbaret merah itu di dalam beserta suara hantaman, tapi tak begitu jelas karena derasnya suara hujan.

Butuh perjuangan untuk melewati semak belukar tinggi di halaman belakang. Dalam kondisi diguyur hujan lebat serta dihantui rasa takut, aku dan Lina sempat terjatuh beberapa kali karena tersandung batang rumput yang besar saat berlari. Tak sempat terpikir jika disitu akan ada ular atau hewan lain yang berbahaya. Aku terobos saja semua tanaman liar itu.

Sudah sampai di tengah halaman belakang, saat aku melihat keenam temanku masih berkerumun di depan pintu darurat. Bowo melambaikan tangan kepadaku.

“Pintunya digembok, mana kuncinya? Katanya.

Aku hanya melambaikan tangan sebagai isyarat tidak tau, nafasku terengah-engah hingga tak mampu untuk berkata. Ku amati sekeliling untuk mencari jalur alternatif dan aku melihat tumpukan beberapa kotak kayu di pojok halaman.

“Lewat sana.” Dengan sisa-sisa nafas yang kumiliki, aku mencoba berteriak memberi tau mereka sambil menunjukkan jalur itu.

Keenam temanku pun berlari menuju tumpukan kotak itu dan memanjatnya, aku menarik Lina yang masih menangis untuk menyusul mereka.

DOR!!!

Terdengar suara tembakan yang mengagetkan kami, diikuti suara teriakan kesakitan Kak Ajik. Sekejap pintu belakang terbuka bersamaan dengan tubuh Kak Ajik yang jatuh tersungkur dan wajahnya penuh dengan darah. Disusul lima orang orang berseragam hitam dan berbaret merah keluar sambil kemudian berdiri dalam formasi tempur.

Kak Ajik roboh di depan pintu, tak bergerak lagi. Darah di wajahnya terbasuh guyuran air hujan.

“KAKAKKKK!!!!” Melihat kakaknya roboh, Lina berteriak histeris. Ia melepaskan genggaman tanganku dan berlari menuju tubuh Kak Ajik yang terbujur diam. Aku tak bergeming karena bingung harus berbuat apa. Saat itu badanku yang basah kuyup tengah dikuasai ketakutan.

Kelima pria berbaret merah itu serempak maju bersamaan. Satu pria menghampiri Lina dan menangkapnya. Lina tampak tak peduli terus menangis dan berteriak histeris. Ia berusaha untuk mendekati kakaknya yang tergeletak di tanah, namun ditahan oleh pria berbaret merah yang mencengkeram lengan kananya.

Aku hendak maju untuk menolong Lina. Langkahku terhenti ketika seorang baret merah menuju ke arahku dan tiga lainnya ke arah enam temanku. Mereka berjalan cepat sambil mengangkat senapan diatas kepala, melewati semak belukar yang setinggi pinggang.

Ku tengok keenam temanku yang tadi memanjat. Terlihat Bowo dan Yuan sudah diatas tembok pagar, kemudian meloncat keluar. Aku merasa sedikit lega melihat keenam temanku telah berhasil meloloskan diri.

“JANGAN LARI!!!”

DOR! DOR! DOR!

Salah seorang baret merah yang menuju ke tumpukan kotak berteriak dan menembakkan senapanya ke arah atas.

Jantungku serasa mau meledak mendengar suara tembakan itu. Ku tengok Lina yang masih menangis dan menjerit histeris dalam cengkraman seorang pria orang berbaret merah, dibawah derasnya air hujan.

Nyaliku ciut. Ketakutan merasuk dalam, saat ku lihat seorang pria baret merah yang mengejarku semakin mendekat. Pikiranku kacau dan hatiku kalut. Panik merajalela.

“Maafkan aku Lina” Batinku.

Akhirnya aku memilih menjadi seorang pengecut dan meninggalkan pacarku untuk menyelamatkan diriku sendiri.

Segera aku meloncat dan berlari menuju arah tumpukan kotak tempat keenam temanku berhasil kabur. Namun aku harus kembali terhenti. Karena dua orang yang tadi mengejar keenam temanku, kini berubah arah mengejarku.

Dalam kebingungan mencari jalan keluar, di sisi pojok lain; ku lihat sebuah drum bekas berdiri dibalik semak yang tinggi. Aku tadi tak melihatnya.

Tanpa pikir panjang aku langsung lari sambil melompat-lompat hingga sampai di drum berkarat itu.

Tiga orang yang mengejarku tidak selincah aku karena mereka setengah berlari dengan menenteng senapan.

Satu orang jatuh terjungkal dan yang satunya lagi juga. Sekarang hanya satu orang yang masih mengejar dengan susah payah terhambat semak dan jaraknya agak jauh dariku.

Sesampainya, ku panjat drum itu. Tanganku meraih sisi atas tembok pagar, mencengkram permukaan atasnya. Dengan sekuat tenaga kutarik badanku keatas hingga kakiku berhasil menapak di atasnya.

Aku terkejut saat menengok ke bawah, seorang baret merah yang mengejarku sudah berhasil sampai di belakangku dan sedang naik di atas drum bekas. Melihatnya aku segera mengambil ancang-ancang loncat ke luar.

Tiba-tiba tangan pria itu meraih kaki kananku dan membuatku jatuh terjungkal kearah luar. Cengkeraman pria berbaret merah itu terlepas, tapi posisi jatuhku berubah.

Tubuhku berayun kesamping membuat kepalaku membentur tembok dengan keras. Selanjutnya badanku berputar membentur tanah dan terpental jatuh, tercebur ke sungai yang saat itu sedang meluap; Banjir karena hujan.

Ku rasakan sakit di sekujur tubuh dan tak kuasa menggerakkan badan, untuk berenang ke tepian. Perlahan aku mulai merasakan tubuhku tenggelam dalam dan hanyut dalam air sungai yang banjir. Pandanganku pun berangsur redup dan akhirnya gelap.