Bab 3 Kekuasaan Miranda
“Mana dia?!”
“Ada di depan, Ma … baru nyampe.”
“Suruh cepat ke sini!”
“B-baik, Ma.” Sebenarnya Dewi ini mudah takut melihat kemarahan sang mama. Sekarang saja telapak tangannya dingin. Entah kenapa, sejak kecil ia memang mudah gugup. Meski di luar berusaha menampakkan dirinya kuat.
“Mas, Mama nunggu di kamar,” ujarnya pada pria berkemeja putih yang tengah melangkah masuk ke ruang keluarga.
Jadi Mama suruh ke sini karena ada yang mau dibicarakan.
Sesaat Radit tertegun, ia paham kalau mamanya mau bicara di kamar. Tempat yang biasa dulu saat kecil hingga remaja mereka dihukum, jika bersikap tak sesuai dengan keinginan wanita itu.
“Ya sudah mas ke sana.”
“Mas …” Dewi menggigit bibir bawahnya. “mm, Mas Tama juga mau ngomong nanti.”
Radit menatap mata adiknya itu sendu, lalu tersenyum kecil. “Iya. Suamimu di mana?”
“Di lantai atas, Mas.”
“Oh, oke. Nanti mas ke sana,” sahutnya sambil melangkah ke arah kamar utama. Kamar Miranda.
Radit masuk setelah mengetuk pintu. Ruangan dua kali lipat lebih luas dibanding kamar lain. Tampak wanita berambut seleher dengan dua rol besar baru dilepas, bertepatan putra keduanya itu masuk.
“Duduk,” perintah wanita beralis melengkung indah itu singkat. Radit mengikuti dengan gerak tenang. Duduk di depan sang mama, di bagian sisi kamar yang menyerupai ruang santai. Dua sofa besar berukir, lengkap dengan meja kaca persegi tiga dimensi.
“Kamu itu anak mama, harusnya ketegasan mama menurun padamu.” Miranda memulai, dan Radit dalam sikap takzim mendengarkan.
“Apa kamu sudah menegur istrimu itu?” pertanyaan yang disertai tatapan mata menyelidik.
“Sudah, Ma.”
“Sudah? Hem, aku tidak yakin.” Ada senyum tipis tertarik pada bibir berlipstick pink pucat itu. “Apa dia pakai uang perusahaan untuk ke salon? Apa kamu tidak menuruti mamamu ini kalau uang untuk istrimu itu cukup 20 ribu saja!”
Radit dalam diam meredam rasa panas di wajah dan dadanya. “Ma, Hana ke salon dengan uang simpanannya-“
“Uang dari mana?! Dia bahkan cuma bawa bada menikah denganmu!”
“Uang puluhan ribu yang Radit kasih Hana tabung, Ma. Selama berapa bulan, atau mungkin setahun ini dia simpan.”
Mata ibu dan anak itu beradu dalam beberapa detik. “Jadi, cuma dengan uang 20 ribu sehari dari kamu dia masih bisa nabung? Kamu pikir mama percaya?”
“Ma-“
“Siti datang mencuci ke rumahmu pakaian kotor dalam keadaan siap di keranjang cucian. Sudah pasti isi kantungmu sudah dia jarah! Kemu itu kan termasuk pelupa.”
“Tolong Mama jangan berpikir begitu tentang Hana.” Rahang Radit mengerat. “Justru Siti pernah nemu uang di saku Radit dan dikembalikan.”
Miranda tertawa sinis. “Itu karena Siti jujur. Bagaimana dengan istrimu? Apa dia pernah mengembalikan uangmu?”
“Hana nggak pernah ngecek saku-“
“Kamu yakin? Apa kamu melihatnya, Raditya Pradipta?” Ditekan begitu Radit terdiam.
Memang ia tak pernah melihat, tetapi hatinya yakin Hana sangat jujur. Bahkan lebih jujur dari Siti, si ART mamanya yang tiap hari dikirim ke rumah untuk membantu pekerjaan Hana, juga membawa sayur dan ikan secukupnya per hari. Sebab, uang dapur Radit dan Hana juga Miranda yang kendalikan.
“Kita jangan mau dibodohi orang lain! Kamu itu suami. Laki-laki lah yang harus mendidik istri untuk tidak semaunya sendiri!”
Tarikan napas Radit amat panjang sebelum bicara. “Maaf sebelumnya, Ma. Bisakah Mama tunjukan di mana letak kesalahan Hana? Radit yang menyuruhnya ke salon untuk acara Dewi. Karena selama ini penampilan istriku dianggap kurang sejajar. Setelah Hana melakukan perintah suaminya, kenapa jadi salah besar?”
“Jadi kamu yang nyuruh?”
“Iya,” jawab Radit mantap. Ia mengira sudah selesai, tetapi kemudian Miranda kembali membuat aturan sendiri. Aturan yang menyesakkan dada. Bukan hanya satu, tapi tiga aturan sekaligus tanpa boleh dilanggar!
*
“Sayang, hari ini kamu masak untuk sendiri saja. Mas makan di kantor.”
“Mas sarapan ‘kan? Hana sudah buatkan dadar telur sayur.”
“Baiklah. Sebentar lagi mas nyusul.”
Hana keluar kamar setelah membantu mengancing kemeja sang suami. Meninggalkan Radit yang menatap punggungnya dengan sorot iba. Mulai hari ini ia akan banyak berbohong agar hati perempuan itu tidak bertambah sakit.
Usai merasa rapi, Radit keluar kamar, menemukan tas kerjanya sudah siap di meja, dekat kunci mobilnya.
“Mau Hana bawain bekal nggak, Mas?” Hana menyendok sedikit nasi pada piring suami.
“Gak usah, Sayang.”
“Kalo gitu jahe aja, ya. Ntar Mas seduh di sana. Itu perlu apalagi kalau Mas sampai malam.”
Radit tersenyum kecil. “Terima kasih, Sayang.” Matanya menatap lekat istri yang tampak selalu berpikir positif tentang dirinya. Ada rasa bersalah menyusup, Radit pun berdiri sebelum menyentuh makanannya.
Mendekati istri yang melihatnya bingung. “Sayang, tolong peluk mas sebentar ….”
Permintaan Radit itu langsung dikabulkan Hana sambil tersenyum. Suami sedang kambuh manjanya, pikir perempuan ini. Ia pun memeluk sang suami sangat erat.
“Sudah?” Karena Radit diam ia pun bertanya.
“Iya, terima kasih, Sayang. Sekarang perasaan mas lebih enak.”
Hana menarik wajah untuk menatap suaminya. “Mas, jalani hidup dengan perasaan ikhlas. Jangan menyimpan beban nanti bisa mengganggu pekerjaan.” Ia menangkup pipi yang sudah bersih dari bulu halus. Sepertinya Radit tadi bercukur saat mandi.
“Hana sayang Mas Radit. Hana mau mendukung hati Mas Radit untuk terus nyaman dan tenang.” Ia sedikit berjinjit untuk menemukan bibir sang suami.
Puluhan detik, keduanya menikmati pembukaan sarapan kali ini dengan sangat manis. Rasa gundah Radit berganti syukur mendapat istri sesempurna hati Hana. Ia merasa mendapat tenaga dua kali lipat lebih besar untuk memulai kerja hari ini.
Sayangku … aku bersyukur kau menjadi bagian hidupku.
Bukan langsung ke kantor, mobil gagah berwarna putih itu memasuki halaman luas rumah menjulang berlantai tiga.
“Tuan muda sudah ditunggu di meja makan,” ujar seorang pekerja rumah menyambutnya.
Radit mengangguk sembari melangkah terus ke belakang. “Maaf, Ma kesiangan,” dustanya lancar sambil duduk di kursi makan.
Dua kali sarapan cukup membuat perutnya penuh, bisa saja ini mengundang rasa kantuk, karena itu sesampai di kantor Radit berniat naik tangga saja untuk membuang sebagian kalorinya. Tidak apa, demi menyenangkan semua orang tercinta ia rela.
“Kamu bawa tasnya?”
“Bawa, Ma.”
“Sini!”
Tas keramat tempat Radit menyimpan sebagian uang percetakan terbesar di kota ini sudah berpindah tangan. Miranda mulai sekarang yang mengatur penuh keuangan. Demi tidak tersentuh oleh Hana, menantu yang sangat tidak disukainya.
Siang hari, Radit dikirimi makanan kotakan dengan menu istimewa. Siti, atas suruhan mamanya mulai hari ini khusus memesan makanan untuk Radit.
Saat menatap kotak makan itu ponsel Radit berbunyi. Telepon dari Hana. Pria ini sudah tahu apa yang akan ditanyakan istrinya.
Setelah mengucap salam dan dibalasnya, pertanyaan yang sudah tertebak itu meluncur. “Kenapa Mbak Siti nggak ada ngatar sayur sama ikan ke rumah, Mas? Mbak Siti sehat-sehat aja, kan?”
“Emm, maaf mas lupa, Sayang. Hari ini Siti kurang sehat. Jadi hari ini libur dulu. Apa isi kulkas kita habis?” Kebohongan pertama.
“Nggak, kok, Mas. Masih ada yang Hana beli kemarin. Mudahan Siti cepat sembuh. Masalah makanan di rumah nggak apa, Hana kan cuma makan sendiri, yang ada juga udah cukup.”
“Iya, Sayang. Besok paling juga mulai diantar lagi. Kamu sudah makan belum?” Bohong kedua.
“Sudah, Mas. Nanti Hana foto makanan Hana, ya.”
“Iya, Sayang. Mas juga mau makan. Mulai sekarang semua karyawan dapat makan siang termasuk mas.” Bohong ketiga.
“Oh, baguslah kalau begitu, Mas. Ya sudah, ya, Mas. Selamat makan. Jangan lupa dzuhur-nya.”
“Iya.”
Telepon berakhir. Radit lega istrinya itu selalu bersikap menerima. Dengan begini banyak kebohongannya tidak sia-sia. Semua akan baik-baik saja.
Baru mau mulai menyuap makananya bunyi pesan masuk dua kali. Foto dari kontak Sayangkku.
Ini makanan Hana, Mas. Hmm, enaak (emot mata love dua). Caption di foto rendang semangkuk itu membuat Radit mendekatkan wajah ke layar.
Hana makan pake rendang? Dapat dari mana?
Baru pria ini teringat juga, kalau tadi ia tak meninggalkan uang 50 ribu yang biasa jatah untuk istri sebelum berangkat kerja.
