Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 HP Sarasatya

“Halo, kamu di mana, sayangku?” Radit menelepon kembali. Rasa penasaran mengusiknya.

“Di rumah, Mas. Kenapa?” Hana mengarahkan kamera ke sekitar meja makan. Hanya ia sendiri di ruang nuansa warna kuning pisang ini.

Radit menatap lekat layar di depannya, tanpa sadar napasnya tertarik lega. “Oh, mas kira kamu di luar.”

“Nanti rencananya Hana juga keluar kok, Mas. Sudah janjian sama Meta.”

“Meta? Yang temannya pemilik salon itu … siapa?”

“Kak Medy. Iya Meta temennya, juga teman Sky. Mereka berdua lagi pendekatan. Meta minta Hana temanin ketemu Sky.”

“Duhh, Sayang … sejak kapan kamu dekat sama mereka?”

Hana tersenyum melihat reaksi suaminya. Ia minum seteguk sebelum menjawab. “Mas sih nggak pernah tanya apa aja kegiatan Hana. Mas pulang kerja capek, tidur, bangun kerja lagi. Kalo nggak, Mas pasti akan di rumah Mama. Mana sempat Mas tanya.” Hana berpura cemberut, sementara Radit membulatkan mata lalu di detik berikutnya memukul kening.

“Duh! Mas baru nyadar sampe nggak seperhatian itu sama istri. Mas juga lupa kasih uang tadi. Maaf, ya?” Wajah pria itu diselimuti rasa bersalah. Namun, Hana malah tersenyum.

“Mas jangan banyak pikiran. Hana masih punya uang, kok.”

Kening Radit sontak mengernyit. “Hmm, kalau boleh tau duit kamu dari mana, Sayang?”

Raut wajah Hana kini sedikit berubah. Senyumnya perlahan meredup. “Pemberian Mas kan Hana tabung. Memangnya kenapa Mas tanya?”

“Gak, gak papa, kok. Oh ya, uang buat ke salon tunda dulu, ya, Kebetulan keperluan sedang banyak jadi … mas belum bisa kasih.”

Itu alasan biasa saat uang habis dipakai keluargamu, Mas.

“Nggak papa, Mas tenang aja. Hana nggak akan marah dengan apa pun, kok.” Senyum perempuan yang wajahnya makin terlihat bening ini terurai lepas.

“Baiklah, mas lanjutin makan dulu.” Radit kemudian mengakhiri panggilan. Entah kenapa ia belum merasa tenang. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran.

***

Hana juga menyelesaikan makan, membawa piring kotor ke bak cuci. Saat selesai ia mendengar suara bel di depan. Ia mengelap tangan pada serbet sebelum terburu ke depan membuka pintu.

“Mama? Si-silakan masuk, Ma.”

Orang yang dipersilakan tanpa ekspresi melewati depan wajahnya. Dagu terangkat sejajar adalah khas wanita ber-higheels 9 sentimeter itu. Memang bukan baru kali ini Miranda datang saat tidak ada Radit. Dan, pasti ada maksudnya.

“Silakan duduk, Ma. Hana buatkan minum-“

“Tidak usah cari muka. Kamu pasti sudah tau maksud saya ke sini.” Tatapan mata berbingkai celak tebal itu tersorot menembus jantung Hana, membuatnya berdebar gugup.

“Iya, Ma. Hana akan mendengarkan. Mama duduk tenang dulu.” Hana duduk terlebih dahulu, diikuti Miranda yang mengusap alas sofa di bawahnya dengan tisu basah sebelum duduk.

Hana menghela napas dalam diam. Selama setahun lebih sebulan pernikahan, sikap mertua masih menganggapnya seolah virus.

“Saya ingatkan kamu untuk tidak mencuci otak putra saya. Raditya menikahi kamu saja harusnya sudah lebih dari cukup. Mengangkat derajatmu. Membuatmu hidup enak. Jangan berusaha memakan jantung dan hatinya lagi!”

Hana tersenyum kecil sambil sedikit menunduk. Jarinya terkepal. Inilah yang sudah ia duga. Mereka tak akan berubah baik seperti yang diharapkannya dan suami.

“Kamu mau ubah penampilan seperti apa pun tetap sama saja. Derajat kalian berbeda. Itu juga hanya akan membuang uang anakku.”

“Mas Radit suami saya, Ma. Dia wajib menafkahi saya.”

Miranda tersenyum meremehkan. “Kamu tentunya harus sadar diri. Batas mana yang berhak kamu dapat dari seorang seperti Radit.”

Hana mengangkat pandangannya, bertemu tatapan yang menusuk itu. “Apa maksud Mama saya harus tetap dekil dan tidak perlu dinafkahi?”

Gigi putih kecil Miranda beradu ketat. “Berani kamu bicara begitu pada saya, hah?”

“Maaf, bukan masalah saya berani atau tidak. Saya hanya menempatkan diri sebagai manusia. Sebagai istri sah anak Mama. Radit akan berdosa kalau hak saya tidak dipenuhi-“

“Kamu, Hana!!”

“Ma … selama ini saya diam bukan karena bodoh. Saya bisa saja tidak menerima uang puluhan ribu yang anak Mama itu berikan. Tapi saya tidak mau orang yang saya cintai menanggung dosa. Karena itu saya terima berapa pun Mas Radit kasih. Saya berusaha ikhlas. Saya tidak menuntut meski suami saya berikan puluhan juta untuk adiknya. Saya istri, sama seperti Dewi juga Mama-“

“Cukup!! Sombong sekali kamu!” Miranda langsung berdiri. Beruntung lah di rumah ini tidak ada pekerja, jika tidak, sekarang wanita yang biasa sangat dihormati ini akan merasa malu. Beruntung lah juga ia yang pegang penuh keuangan putranya sekarang, jika tidak wanita muda yang mulai berani menantangnya itu akan menguasai harta mereka.

“Kamu akan tahu akibat perbuatanmu!” Miranda akan melangkah keluar, tetapi kalimat Hana cukup memukul hati, membuat langkahnya terhenti.

“Saya sama Dewi sama-sama perempuan. Sama-sama seorang istri. Jika Dewi mengalami hal sama, apa yang Mama rasakan? Itulah yang Ibu saya juga rasakan jika tau semuanya.”

Sontak Miranda berbalik. “Kamu menantang saya! Lapor! Lapor saja pada ibumu yang miskin itu!”

Hana tak bisa terima perkataan merendahkan wanita yang ia cinta. Ia pun menantang wajah sang mertua. “Kami boleh miskin harta, tapi kami tidak miskin hati!" balasnya penuh penekanan.

Miranda dengan gerak tak sabar merogoh ponsel dalam tas bermerek miliknya. Ia menyalakan video dan merekam Hana yang menatapnya datar.

“Kamu menantu tidak tau diri! Tidak sopan bicara dengan orang tua!” Miranda memancing Hana kembali mengeluarkan kalimat marahnya, tetapi Hana menyadari itu.

Menarik napas, Hana tersenyum lembut. “Terima kasih Mama sudi bertamu ke sini. Maaf, Hana nggak punya suguhan-"

“Muka dua kamu! Ular!!” Miranda mematikan ponselnya kasar. Segera wanita bergaya elegan itu keluar rumah dengan api amarah membakar kepalanya.

Perempuan itu benar-benar ular! Oh, Tuhan … kasihan sekali putraku menikahi orang sepertinya. Air mata Miranda jatuh setitik.

***

Radit tak pernah melarang istri keluar atau memiliki teman. Hana kebetulan dulu bekerja di sebuah rumah jahit di kotanya. Sekarang ia belum ada rencana membuka jahitan atau yang berhubungan dengan benang dan kain. Sudah pasti akan dianggap rendah oleh keluarga, mungkin itu alasan Radit menyuruhnya berhenti bekerja saat itu.

“Hana!” Ia tersentak dari lamunan. Di parkiran ruko sana seorang perempuan melambai tangan padanya. Segera Hana yang melaju lambat mengarahkan motor ke sisi jalan, masuk area parkiran.

Membawa motor sambil melamun memang kerap terjadi, Hana tahu itu bahaya, hanya saja kadang pikiran tentang masalah dengan mertua mengurung otaknya dalam lamunan.

“Sky sudah datang?” tanyanya pada Meta yang mendekatinya di parkiran café.

“Mm, ada, dia lagi ambil pesanan ke dalam. Kamu udah bilang Radit ‘kan?”

“Sudah, Ta.”

“Boleh?”

“Boleh. Mas Radit kan gak pernah larang kalo Hana jalan.”

“Bagus, deh. Kita agak lamaan, ya, ada yang mau aku obrolin juga sama kamu ntar.”

Lelaki bertubuh tinggi, bodi proprosional mendekati meja mereka, membawa nampan dengan tiga gelas jus buah di atasnya.

“Hai, Hana. Pa kabar kamu?” sapa pria muda bernama Sky itu. Usianya masih 27 tahun tapi sudah punya toko elektronik di jalan besar menuju pasar. Jangan heran, ia sepupu Radit. Mereka memang turunan pengusaha.

“Hai juga, Sky. Makasih lho pelayanan spesial ini.” Hana melirik Meta menggoda.

“Beneran ini pesanannya, kan? Tadi Tata yang bilang.”

“Ehm, udah panggil Tata aja." Mata Hana membulat penuh penasaran. Dua orang itu kulit pipinya merona. "Bener kok, aku pesan jus alpukat. Ehm, Jangan-jangan kalian udah jadian, ya?”

“Barusan, Han.” Meta tersenyum dikulum.

“Alhamdulillah. Jangan pake lama lanjutannya. Langsung sah aja, Sky.”

Pria berambut tebal itu mengusap tengkuk salah tingkah. “Maunya sih secepatnya. Cuman sobatmu itu minta waktu tahun depan.” Mata Sky melirik manis wajah Meta.

“Kenapa harus tahun depan, Ta? Umur 25, udah punya segala, nunggu apa lagi coba?” Hana jika di depan Meta akan sangat nyaman, hampir enam bulan berteman mereka sudah sangat terbuka dan akrab.

Obrolan ketiganya berlangsung seru, tak terasa hingga pukul lima tepat.

Meta adalah teman pertama Hana di kota ini. Dulu bertemu di salon Medy, saat ia mengantar mertua dan ipar, kebagian tugas menjaga Naomi. Karena kewalahan mengikuti Naomi yang tak bisa diam, Meta yang ada di sana inisiatif membantunya. Jadilah ia berkenalan dan bertukar nomor handphone dengan gadis bermata bulat itu.

Meta termasuk teman akrab Medy, maminya pernah memiliki toko kosmetik dan alat salon, tapi sudah tutup dan berganti usaha furniture sekarang. Namun, Meta masih berhubungan akrab dengan hampir semua pemilik salon mantan langganan maminya. Gadis energik dan tulus dalam berteman.

“Ehm, rupanya kalian berdua tadi datang bareng, ya, aku sampe baru nyadar pas lihat mobil Meta gak ada.”

“Kebetulan aja si Sky jemput aku, Han.” Dua orang yang digoda Hana tersipu.

Mereka kaya juga sukses, tapi karena giat diajari bisnis oleh orang tua sejak remaja sampai-sampai tak pernah pacaran. Sama seperti Radit yang baru pertama merasakan jatuh cinta padanya kala itu. Hana merasa beruntung mengenal mereka dalam hidupnya.

“Ohh, ya sudah, aku pulang duluan.” Hana bangkit dari duduk, disusul Meta juga.

“Aku antar Hana ke parkiran sebentar ya, Sky.”

“Oke.” Sky mengangguk sambil tersenyum pada kekasih barunya itu.

Menuju parkiran, Meta menjajari langkah Hana.

“Han, boleh nanya nggak?”

Hana menoleh pada gadis berambut bob itu. “Boleh. Ada apa, Ta?” Ia perlambat langkah.

“Ng … kayaknya ada yang kamu gak cerita ke aku." Hana menunggu lanjutan kalimat Meta.

"Nama HP Sarasatya itu kamu kan, Han?”

Pertanyaan itu sontak membuat Hana terkejut, tanpa sadar langsung awas melihat sekitar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel