Bab 2 Cinta
“Eh, cantik manis eke ke sini lagi. Cuss, masuk, Cantiiik!” Pria bergaya layu menyambut Hana di salonnya. “Eke gak salah kalau yey didandani langsung manglingin! Gak ada yang kenal kan tadi? Katanya yey juga bikin mertua sama ipar yey pingsan. Uhuh! Magic banget bo' riasan eke!”
Hana tersenyum menahan geli. Pria layu ini bicara tanpa titik koma di dekat wajahnya, sambil melihat pada cermin. Pada pantulan wajahnya.
“Saya ke sini mau hapus yang di muka ini, Kak,” Hana meringis menyentuh pipinya. “Rasanya agak kurang nyaman,” komentarnya ragu-ragu.
“Ihh! Yey ini centok bingiits! Harusnya yey jangan diapus biar lekong yey makin cintrong. Ye, khan?”
“Duhh, jangan, Kak. Saya minta tolong dihapus aja. Besok-besok saya kalau ada acara ke sini lagi.”
Pria layu itu lantas menggerutu seraya menyuruh anak buahnya menghapus make-up Hana.
Tarikan napas lega perempuan cantik alami ini setelah rasa tebal tadi sudah berganti segar. Kapster salon barusan menepuk kapas basah, tindakan terakhir yang meninggalkan rasa dingin di kulit wajahnya.
“Apa Mbak mau skalian keramas?” tawar kapster ramah itu.
“Iya, deh, boleh.”
Rambut panjang Hana dicuci lengkap dengan pijatan yang membuat kepalanya ringan dan nyaman. Selama ini dirinya hanya sekali pernah mengantarkan ibu mertua dan Rani ke salon, tetapi hanya sebagai penjaga Naomi, juga penonton saat menunggu dua wanita itu sekitar tiga jam hingga selesai. Pulangnya, ia malah diceramahi, disuruh buka mata biar tahu bagaimana perempuan kaya merawat diri.
Harusnya mereka berpikir, bagaimana ia merawat diri kalau uang untuknya pribadi hanya 50ribu sehari diberi? Sedangkan, biaya salon tidak murah.
"Mbak cantik banget," puji si kapster tulus.
"Mbak lebih cantik," puji Hana balik. Pegawai salon Medy secara penampilan semuanya bernilai 9 dari 10 poin. Seragam, riasan wajah juga atribut mereka tampak sangat profesional.
Rambut tebal Hana sudah di-blow, tadi sebelum make up Medy si pria layu sudah memotong rambutnya. Tidak pendek, hanya dibuat model layer tipis seperti foto pada ipad salon ini. Hasilnya cukup drastis mengubah penampilan Hana.
Ketika diluruskan dengan alat tadi terlihat sangat bagus, dan sekarang dengan di-blow ke dalam juga lebih bagus lagi.
“Gimana Cantik eke? Yey tampak amazing! Cucok marcucok!” komentar Medy yang datang lagi mendekat.
Bahasanya selalu membuat Hana tersenyum lebar. “Terima kasih, ya, Kak Medy. Saya suka model rambut begini.” Hana mengaca, penampilannya tadi sudah membuat semua saudara suami juga undangan pangling.
Ia puas melihat mulut mama mertua menganga dengan mata membulat nyaris keluar sebelum pingsan. Tak jauh beda dengan kakak iparnya si Rani. Meski setelah pingsan ia diusir suruh pulang karena membuat suasana kacau, hatinya sekarang tak merasa bersalah.
Justru menjadi tahu kalau dirinya juga bisa tampil cantik. Bahkan lebih cantik lagi dari mereka yang terbiasa berdandan.
Ting!
Terbitlah ide di kepalanya.
Hana sudah tahu cara biar bisa ke salon begini lagi. Ia akan melanjutkan misinya dengan sebaik mungkin.
***
“Sayang … kamu nggak apa ‘kan?” tanya Radit khawatir. Ia terburu melangkah masuk kamar, mendekati istrinya yang baru melepas mukena, selesai shalat magrib.
Pria ini baru bisa pulang. Itu pun karena ia berhasil meloloskan diri, diam-diam pergi dari pintu belakang rumah mamanya. Acara memang berlanjut kumpul-kumpul di rumah. Ia tadi bahkan dipaksa menginap di sana saja.
Tidak mungkin Radit begitu, sejak Hana disuruh pulang dengan teriakan oleh mamanya tadi ia sudah tak tertarik tersenyum menikmati pesta.
“Maafkan Mama ya, Sayang ….”
“Gak apa, Mas. Hana gak apa-apa. Mas sudah sholat ...?” suara Hana amat tenang, ia mengusap punggung pria yang memeluknya erat.
Radit melepas peluk. Menarik wajahnya mundur untuk melihat wajah sang istri. Mulai dari alis, kulit pipi hingga bibir. Jejak make up memang tak lagi ditemukan, tetapi kini ia melihat wajah istrinya terlihat bersih mengkilap.
“Sayang, kamu-“ Radit menyentuh bibir istri yang terasa lembab.
“Mas … sholat dulu.”
Lamunan Radit yang mengingat jelas wajah istrinya tadi siang langsung terputus. “Iya. Mas mandi dulu. Kamu jangan ke mana-mana, banyak hal yang mau mas tanya.”
Hana tersenyum manis, mengusap lembut jambang tipis sang suami. “Hana ke dapur, siapin makan malam.”
“Iya ….” Radit menatap punggung istrinya keluar kamar. Ia sebenarnya sudah makan, tadi dipaksa Dewi habiskan isi piring yang disendoki adik satu-satunya itu. Tak berselera sebenarnya, tapi ia juga tak tega melihat Dewi memasang wajah kecewa kalau hari bahagianya tak membuat sang kakak turut bahagia.
Sekarang perut Radit masih sangat kenyang. Namun, ia juga tak mau mengecewakan Hana. Pasti perempuan tercintanya itu belum makan karena menunggunya.
Usai mandi dan shalat, Radit keluar kamar dan turun menuju dapur. Di sana Hana sedang mengaduk minuman berbau jahe.
“Apa itu, Sayangku?” Radit mendekat, merapat ke punggung istri dan memeluk pinggang ramping itu dengan posesif.
Hana tersenyum sambil menoleh. Pipinya sedikit geli tersentuh jambang halus Radit. “Jahe, Mas. Kalo Mas sudah makan tadi cukup temani Hana dengan minum jahe ini aja.”
Senyum di wajah pria tampan ini meredup. Jangan-jangan istrinya sudah menebak. Atau mungkin saja perutnya terlihat gemuk karena kekenyangan?
“Kamu tau?” tanya Radit sambil memutar tubuh Hana pelan untuk menatap wajahnya.
Mengangguk, senyum Hana tak hilang. “Gak apa, kok, Mas. Hana sudah tau Mama nggak akan biarin Mas pulang dalam keadaan lapar.”
“Ohh … sayangku … terima kasih atas pengertianmu.” Pria itu kembali memeluk istrinya penuh sayang. Bukan hanya itu, hadiah kecupan ia berikan rata di kulit wajah Hana, termasuk bibir yang ia rasa lebih lembut dan lembab. Ada wangi dan manis buah segar juga di sana.
Ah, istriku kau makin membuatku mabuk kepayang.
Kecewa dan luka hati Hana sebagai manusia biasa saat direndahkan sudah menguap. Ia mempunyai suami yang selalu menghujaninya dengan cinta. Cinta lah yang bisa menghapus perihnya. Juga cinta Radit membuatnya kuat bertahan ada di dekat keluarga terbiasa glamor itu.
Usai berpelukan hampir lima menit Radit memberi waktu istrinya makan. Pecel lele, sambal kemangi, dan lalapan terong pipit dengan lahap Hana makan. Sungguh, ia perempuan sederhana yang tak pernah memasak daging untuk setiap hari.
Bagai langit dan bumi dengan keluarganya.
Di rumah Miranda, daging dimasak aneka macam jenis masakan, selalu ada setiap waktu. Kebiasaan itu ada sejak usaha almarhum papanya melesat naik. Punya 3 mini market yang sekarang tersisa satu, setelah duanya dijual saat sang ayah terserang penyakit ganas dan berobat hingga ke Penang. Sekarang usaha itu kakak pertamanya yang kelola, suami Rani, tentu juga di bawah aturan Miranda.
Padahal, Miranda masih aktif mengelola dua pom bensin di pusat kota ini. Wanita itu memang sangat perfeksionis dalam apa pun. Terutama bisnis yang terlihat selalu menguntungkan berlipat-lipat jumlahnya.
Untuk ekonomi Radit memang masih di bawah ketiak sang mama, karena percetakan adalah peninggalan papanya. Jika uang yang ia simpan sering diminta Dewi, uang yang ada di mama juga kakaknya seolah tak boleh tersentuh siapapun.
Alasan Miranda, semua dijadikan aset untuk anak cucu, jadi tak boleh dipakai. Saking ketat aturan uang ini Dewi mendapat jatah bulanan, jika habis pasti minta pada Radit yang memang sulit menolak.
Mamanya itu tidak mau tahu. Bahkan uang untuk Hana juga diatur Miranda jumlahnya. Radit terkadang juga lelah dengan aturan itu.
“Mas ...? Katanya mau ngobrol. Kok, ngelamun?”
Mereka sudah pindah ke kamar. Hana duduk di tepi ranjang, dan Radit di sebelahnya.
Segera Radit perbaiki posisi duduk, menghadap istri. “Hm, gini, Sayang … mas sebenarnya juga kaget tadi lihat sayangku. Mm, apa boleh ceritakan gimana ceritanya? Baju siapa yang kamu pakai?"
Hana balas memegang tangan suami yang berpindah menggenggam jemarinya.
“Nggak ada yang berubah, Mas. ‘Kan Mas sendiri yang suruh Hana ke salon. Jadi Hana ke salonnya Kak Medy.” Mengalirlah cerita Hana dari awal hingga akhir, termasuk model rambut barunya.
“Kamu tambah cantik … padahal alisnya nggak ditato kayak Mama.”
“Emang alis Mama itu tato?”
Radit menggeleng. “Nggak tau juga. Dulu alis Mama tipis, dibawa ke salon jadi bagus begitu.”
“Oh, itu mungkin yang kata Kak Medy sulam alis, Mas.”
“Ohh … apa kamu mau, Sayang? Mas yang akan bayar.” Wajah Radit mendadak antusias.
Ia pikir saatnya Hana tampil sama cantik dengan saudara-saudaranya. Siapa tahu jika berpenampilan setara, istrinya ini akan diterima baik oleh mereka.
Ia lelaki yang terlalu lemah untuk melawan mamanya. Sejak dulu, sekali Miranda memerintah selalu ia turuti, kecuali tentang jodoh.
Radit baru pertama menentang sang mama demi mendapat istrinya ini.
“Mas-“
“Sayang, mas rasa selama ini kurang memerhatikanmu. Sekarang, kamu mau perawatan, pakaian mahal, mas yang akan belikan, asal itu kamu yang pilih. Tolong jangan nolak lagi. Mas mau kamu tampil seperti tadi sehari-hari.”
Selama ini Hana memang membeli pakaian dari pasar saat diberi uang lebih. Meski tampak bagus, untuk keluarganya tetap terlihat murahan.
“Apa ... apa maksud, Mas?”
“Ya, saatnya kamu tampil selalu cantik, sayang.” Radit menggenggam tangan istrinya mantap.
