
Ringkasan
“Duduk!” perintah wanita beralis melengkung indah singkat. Radit menuruti dengan gerak tenang. Duduk di depan sang mama. “Kamu itu anak mama, harusnya ketegasan mama menurun padamu.” Miranda memulai, dan Radit dalam sikap takzim mendengarkan. “Apa kamu sudah menegur istrimu itu?” pertanyaan yang disertai tatapan menyelidik. “Sudah, Ma.” “Sudah? Hem, aku tidak yakin.” Ada senyum tipis tertarik pada bibir ber-lipstick pink pucat itu. “Apa dia pakai uang perusahaan untuk ke salon? Apa kamu tidak menuruti mamamu ini kalau uang untuknya cuma cukup 20 ribu saja!” * Kisah ini tentang istri yang dipandang rendah karena berasal dari keluarga sederhana. Pernah aku upload di akun literasi keduaku Qansha Anna. Selamat membaca.
Bab 1 Direndahkan, Sekali Dandan bikin Mereka Pingsan
“Seragam Mas untuk nikahan Dewi sudah digosok. Hana simpan di situ kalo Mas nyari.”
Perempuan manis menunjuk lemari yang biasa tempat menggantung pakaian. “Kan masih seminggu lagi, biasanya kamu yang ambilkan buat mas. Kok pake dikasih tau, kayak mau ke mana aja.”
Radit, suami yang ia tunggu pulang kerja hingga jam sebelas malam ini, menatapnya curiga.
“Kamu kenapa, Sayang?”
Hana menunggu suaminya itu membersihkan diri, setelah berbaring, ia ikut merebah diri menghadap sang suami.
“Kalau nggak diundang Dewi, sementara saya pulang ke rumah Ibu, ya, Mas?”
“Siapa bilang kamu nggak diundang? Dewi itu adik kandung mas. Ini acara keluarga kita juga. Ayolah, Sayang, kenapa kamu sensitif begini? Apa ada masalah lain, hem?”
Hana menggeleng lemah. “Nggak papa, kok. Yasudah, Mas tidur aja.”
“Sebentar.” Radit menahan bahunya yang mau berbalik membelakangi. “Apa karena Adek belum dikasih seragam keluarga?” tebaknya membuat mata Hana berkaca, tentu itu terbaca oleh suaminya.
Segera tubuh mungilnya ditarik Radit merapat ke dada, memeluk kekasih hatinya itu erat. “Sayang, jangan berpikir negatif, mungkin seragammu belum selesai. Besok mas tanya sama Dewi. Kalau pun tidak ada, mas akan datang pakai baju kompakan sama kamu.”
Mematung, Hana terdiam sejenak dalam dekapan suami. Hingga kemudian bicara dengan nada lemas. “Benaran, Mas? Kalau beda pakaian sama Mas Radit, Hana gak mau datang.”
“Iya, kalo kamu gak pake seragam mas juga sama. Kita kan masih punya seragam couple yang kamu jahit waktu itu.”
“Terima kasih, Mas. Mas sudah membesarkan hati Hana.”
“Mas selalu sayang kamu. Jangan menyakiti diri sendiri dengan pikiran buruk, Sayang. Mas mau lihat kamu tersenyum terus.”
Hana mengangguk-angguk sambil merapatkan pelukan pada suami. Lelaki ini satu-satunya yang memahami kesederhanaan Hana, yang menerima dirinya menjadi istri meski berasal dari keluarga tak berada.
***
Kebetulan sore ini Dewi dan Rani, kakak ipar Radit ke rumah. Lelaki yang tengah libur kerja itu langsung menanyakan seragam Hana.
“Waduuh, maaf, Mas. Kainnya sudah habis dibagi. Kalau nyari yang sama sekarang juga mana sempat.”
“Kalau begitu mas juga nggak pakai seragam. Kami punya seragam yang warnanya mirip itu.”
“Jangan dong, Mas. Kita kan mau foto-foto, masa Mas Radit pake corak yang beda sama kami?”
“Radit, kalo Hana punya baju sewarna seragam itu ya dia pakai saja. Jangan jadi bikin ribut.” Rani ikut bicara.
“Jujur nih ya, biar Mbak Hana gak datang juga gak papa kali. Malu Dewi sama keluarga Mas Tama. Penampilan Mbak Hana itu lho. Norak!”
“Ssst!! Jangan ngomong gitu, Dewi. Hana itu istri mas. Mas tetap terima biarpun penampilannya Hana sederhana.”
Adik dan kakak ipar Radit itu sama-sama berdecak, menggeleng kepala. “Bahasa tepatnya kampungan, Radit. Kamu kena pelet dia aja tuh maunya cinta sama yang begitu.”
Radit tidak bisa menyalahkan pandangan mereka. Hana Puruhita, istrinya itu memang berpenampilan biasa. Tidak pernah tampak bermerah pipi dan bibir seperti dua perempuan ini, kecuali saat mereka nikah setahun lalu.
Sementara, semua perempuan muda di keluarga Radit yang notabene keluarga pengusaha, dikenal lekat dengan penampilan elegan, barang bermerek, berparfum mahal, juga pakaian jarang dipakai berkali-kali, termasuk penampilan mamanya Radit. Hana yang masuk di antara mereka, dengan penampilan sederhana tentu saja jadi bahan keluhan mereka.
“Sudah ah, malah merembet ke lain. Ada apa tumbenan berdua ke sini?” Radit menyuruh mereka duduk di ruang keluarga.
“Dewi mau minta bantuan Mas Radit.” Dewi langsung memasang muka mengiba.
“Apa lagi?”
“Minta duit.” Dewi menadahkan tangan. “Buat nambahin Dewi ganti gaun, Mas.” Radit langsung melihat ke sekitar, berharap Hana tidak mendengar ini.
“Kenapa diganti lagi?”
“Ada masalah, Mas. Tiba-tiba aja Dewi gak sreg sama gaunnya. Pas kebetulan ada gaun baru datang. Cantik, mewah, ada bling-bling batunya gitu Dewi langsung suka. Pliss, Mas, bantuin. Ini kan acara sekali seumur hidup.”
Rengekannya selalu begitu kalau kakak lelakinya itu terlihat akan keberatan memberi bantuan. Padahal sebulan lalu untuk biaya pernikahan Radit sudah bantu 100 juta, itu pun harus menambah bohongnya pada Hana yang dibilang cuma bantu 20 juta.
“Dikit aja, Mas. Harganya 18 juta, Mas Radit cuma bantu sepuluh aja deh.”
“Lima juta aja, ya, Dek. Anggap nambahin yang sebelumnya mas kasih.”
“Sepuluh, Mas. Uang Dewi masih kurang. Ini tuh sekali seumur hidup Dewi.” Mata Dewi yang bergerak-gerak dengan tangan menangkup membuat Radit akhirnya mengiyakan.
Ke ruang kerja, lelaki tampan itu ambil simpanan dalam koper khusus, dengan sandi rahasia membukanya. Uang hasil perusahaan percetakan peninggalan papanya, juga hasil bisnis Radit di bidang retail barang. Demi keluarga ia rela pakai sementara, hasil kerjaan bulan berikut akan menggantinya.
Tentu semua bantuan sebanyak ini tanpa sepengetahuan Hana. Radit takut akan jadi ribut di rumah tangga yang baru dibangunnya. Hana ia cukupkan dengan mendapat jatah harian. Karena dulu, di bulan awal pernikahan, ia sempat percayakan Hana atur keuangan, tapi malah puluhan juta raib entah ke mana.
Dari keluhan penampilan Hana telah bertambah menjadi Hana boroslah, atau Hana kaget jadi orang kaya barulah oleh keluarganya. Radit tak menggubris, menurutnya mungkin Hana terlupa simpan. Hanya saja sejak kejadian itu keuangan diambil alih oleh mamanya dan sebagian ia atur sendiri untuk uang perusahaan.
“Jatah 20 ribu saja sehari untuk Hana itu cukup. Istrimu itu biasa susah. Lagian mau jajan apa dia, semua sudah ada di rumah, ya ‘kan?” Begitu saran Miranda--mamanya saat itu. Radit lakukan, tapi dengan menambah 30 ribu jadi genap 50 ribu diberikan tiap hari. Ia kira itu lumayan kalau Hana mau beli apa yang dia mau.
Cepat Radit keluar, sebelum Hana kembali dari rumah sebelah, biasanya kalau ke sana Hana tidak suka ngobrol agak lama, pikirnya.
Puluhan ikat uang sejuta diberikan pada Dewi.
“Radit memang baik, minta buat Naomi jajan juga, ya, Dit. Dia ikut kami pergi, nanti jemput di tempat Mama.” Ditodong minta sejuta sama Rani kembali membuat Radit tak berkutik. Merogoh dompet ia memberikan juga untuk iparnya itu.
“Gitu, dong. Rezeki kalau dibagi mah makin melimpah,” kata Rani memuji saat uang itu menempel di telapak tangannya.
“Ya sudah kami pulang, Mas.”
“Eh, Dewi. Mbak Rani. Sudah lama datangnya? Maaf saya tadi di rumah sebelah.” Hana tiba-tiba muncul di depan pintu.
“Ba-barusan kok.” Dewi cepat memasukan uang yang masih digenggamnya tadi ke dalam tasnya.
Hana melihat semua membuat Radit menahan napas. Waduh, bakal ribut ini, pikir Radit. Tapi Hana kemudian malah terlihat tersenyum.
“Apa mau skalian makan, Mbak? Tadi Hana sudah masak,” katanya ramah membuat Radit makin tercengang.
“Nggak usah, Hana. Kami mau makan di restoran sekalian jalan-jalan. Makanan rumah membosankan. Apalagi kalau yang masaknya nggak enak!” Rani mengajak Dewi beranjak.
“Oya, Mbak Hana kalo mau datang ke acara Dewi gak usah pake seragam gak apa, ya? Kain seragam keluarga kami udah habis. Itu pun kalo Mbak mau. Dan, kalo maksa datang, tapi gak nyaman gabung sama keluarga di depan yang pake seragam, Mbak boleh banget kok bantu bagian konsumsi di belakang.”
“Dewi, mbakmu akan di depan sama Mas.” Radit tersinggung atas nama istrinya, ia juga takut Hana makin tersinggung. Dewi memang terbiasa ceplas-ceplos. Sebelas dua belas sama iparnya si Rani ini.
Hana lagi-lagi menanggapi dengan senyum. “Makasih lho undangannya, Dewi. Tenang aja. Mbak pasti akan nyaman di depan kok. Mbak pastikan akan datang dan gabung sama keluarga lain nerima tamu, ya kan, Mas?”
“Iya, dong, Sayang. Mas akan di sampingmu,” sahut Radit tersenyum manis untuk istrinya.
“Yahh, asal gak saltum alias salah kostum aja, Han, biar nggak malu-maluin keluarga Raynaldi.”
“Insyaallah, enggak, Mbak Rani.”
Radit lega melihat senyum istrinya terlihat benar-benar ikhlas. Tidak tersinggung sama sekali dengar sindiran Dewi dan Rani. Mungkin dia sudah paham keluargaku memang begini, harap hati Radit.
Dewi dan Rani pun pulang. Radit mengucapkan terima kasih pada Hana yang tetap akan datang ke acara Dewi.
***
Hari pernikahan Dewi tiba.
“Mas berangkat saja duluan. Hana nanti langsung ke gedung saja.”
“Kenapa gak bareng aja, Sayang?”
Radit sudah siap, hanya Hana yang terlihat masih memandangi kebaya ungu yang sepasang dengan kemeja suami. Radit putuskan tidak pakai seragam keluarga agar tetap kompak dengan istrinya.
“Mas kan ikut menyaksikan ijabnya. Duluan aja, Hana gak lama, kok.”
“Baik. Mas duluan. Jangan sampai nggak datang, ya.” Radit mengecup kening polos yang tak pernah terlihat berdandan itu. “Berdandanlah sedikit biar tidak kelihatan pucat, Sayang,” bisik lelaki itu tanpa melepaskan bibir dari kening istrinya.
Hana mendongak, menatap lelaki bermata hangat itu.
“Emang boleh Hana dandan? Bukannya kata Mas suka Hana yang alami gini?”
Radit tergagap, lupa dengan perkataannya dulu waktu merayu Hana sebelum melamar. “Iya mas memang suka Hana yang polos begini, tapi gak ada salahnya kan di acara ini sayangku dandan sedikit? Ke salon gih.” Dicubitnya pelan dagu lancip Hana. Ia tidak mau cintanya itu dipandang tidak sepadan dengan keluarganya yang lain, pasti seperti biasa mereka tampil all out kalau acara besar begini.
“Iya deh, Mas. Nanti Hana coba.”
“Gitu dong. Mas sayang kamu.” Ujung hidung Radit gesekkan ke hidungnya.
“Hana juga sayang Mas Radit.”
Bermesraan sesaat, pasangan ini memang masih hangat-hangatnya di tahun pertama pernikahan mereka. Kemudian Hana melepaskan bibirnya dari suami. “Sudah, nanti Mas lambat.”
Radit tersenyum nakal. “Kamu nggak pernah bikin mas bosan. Tetaplah di sisi mas, Sayang,” ujar Radit kembali mengecup dua kali bibir istrinya gemas.
Hana menjawab dengan senyum malu. Keluar kamar mengantar suaminya sampai di depan.
Saat duduk di belakang setir, Radit masih melihat wajah manis itu tersenyum sambil melambai tangan.
Hana cinta pertama Radit. Selain punya mata indah dan dagu lancip menarik, Hana juga bersikap keibuan dan lemah lembut. Radit sejak menikah sudah berkali-kali jatuh hati pada istrinya itu. Hanya saja ia dilema antara keluarga yang tak menyukai Hana juga cintanya.
***
Setelah ijab, resepsi pun dimulai. Hingga dua jam lewat Hana belum terlihat.
Kenapa lama sekali? Masa dia berubah pikiran tidak datang?
Radit gelisah, ia celingukan sambil menyambut salaman undangan yang datang.
“Nyari istrimu?” Lengannya disenggol lelaki yang tak lain adalah kakak sepupu.
“Iya, Mas tadi katanya mau datang kok sampe sekarang belum kelihatan.”
“Itu tuh, dari tadi dikerumunin pada dimintain foto,” kata lelaki berkemeja seragam ungu itu sambil tersenyum.
“Masa? Yang itu?” Tunjuk Radit pada lima orang yang berfoto, mengapit seseorang bergaun ungu.
“Iya. Nggak kenal kamu, Dit?”
“Beneran itu Hana?” tanya Radit lagi dengan mata menyipit tak percaya.
“Lha iya, tadi ketemu mas di depan, semua orang pangling lihat dia kayak artis korea. Bening.”
Benarlah kata lelaki itu. Langkah Radit yang bagai dihipnotis menuju tempat Hana makin dekat, ia bisa makin jelas melihat perempuan muda cantik yang dikerumuni ibu-ibu untuk berfoto.
Duh, Biyuung, istriku bisa secantik ini juga. Hati Radit berbunga-bunga.
Benar-benar bening. Gaun Hana bahan kain mengkilap bagai kaca, terlihat mahal.
Bajunya pinjam punya siapa? Bukan cuma Radit yang bertanya dalam hati dan terpana, tapi dua orang di dekatnya juga sama.
Wajah cantik berdandan tipis, kulit sama berkilau dengan anting panjang di telinganya, rambut lurus mengkilap tergerai indah. Makin dekat tampak bulu mata panjang lentik, dengan alis melengkung indah seperti anak lintah.
“Hanaku … mas makin cinta padamu.”
Gedebuk! Kalimat Radit disambut suara orang jatuh, seketika mengagetkannya yang tengah terpana melihat istri. Ternyata itu Rani, dan Miranda--mamanya jatuh pingsan bersamaan.
