Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 6 Jangan Lagi!

Aku pernah merasakan,

Kesakitan dan kepedihan,

Karena kehilanganmu,

Dan,

Aku tidak mau lagi.

~~~~

"Lista."

Panggilan itu sedikit mengejutkanku, membuatku tersadar seketika dari lamunan yang sebenarnya juga tidak aku ketahui tentang apa.

"Lista."

Aku menoleh dan mendapati Dan sudah berada di dekatku dengan wajah heran. Cowok itu langsung duduk di sampingku lalu kembali memberikan senyuman manis.

"Apa yang kamu pikirkan sehingga meski dipanggil dari tadi, kamu tidak mendengarkan?" tanyanya dengan cemas.

"Tidak apa-apa, kok," jawabku berbohong.

"Kita ini teman, kan? Kamu bisa membagi masalahmu padaku," bujuk Dan.

"Tapi.." Aku ragu. Takut kalau-kalau jawabanku hanya akan membuat Dan menjadi terbebani.

"Ada apa?" tanya Dan lagi.

"Aku dibenci oleh orang yang aku cintai, Dan," jawabku jujur.

Dan tersentak kaget mendengar jawabanku tetapi mencoba untuk tetap tenang.

"Maksudmu?" tanya Dan.

"Lista sebelumnya, apa terlalu banyak orang yang membencinya?" tanyaku dengan menghela napas berat.

"Lista sebelumnya? Kamu yang dulu atau sekarang, tetaplah Lista. Jangan bilang begitu, aku tidak pernah membencimu," jawab Dan menenangkan.

Aku hanya menghela napas berat. Dan lalu menepuk kecil pundakku.

"Kamu tidak dibenci, Lista. Orang yang membencimu hanya tidak menyadari kebaikanmu, Lis," hibur Dan sambil tersenyum tulus.

"Kamu orang yang baik, Lis," imbuh Dan.

Aku menatap Dan cukup lama dan pemuda itu tidak menghindar. Kata-katanya tulus dan serius.

"Kamu tidak marah saat aku bilang ada yang kucintai, Dan?" tanyaku.

Dan tergelak pelan.

"Untuk apa? Aku tidak peduli tentang itu," jawabnya. "Aku tahu sejak lama kalau kamu menyukai si es batu, tapitidak menyangka kalau kamu mencintainya."

Aku tertegun sejenak, menangkap gurat kesedihan di mata Dan.

"Apa aku baru saja melukaimu?" tanyaku merasa bersalah.

"Tidak, yang kamu lakukan sebelumnya, jauh lebih membuatku terluka," sanggahnya.

"Eh? Apa yang sudah aku lakukan padamu?" tanyaku penasaran.

"Kamu selalu menghindar dan menganggapku sebagai pengganggu di hidupmu," jawab Dan dengan sedih.

Aku ternganga, tak percaya bisa melakukan hal kejam seperti aku. Tanganku bergerak tanpa sadar, menggenggam erat tangan Dan, mencoba memberinya semangat.

"Maafkan aku, Dan," ujarku bersungguh-sungguh.

Dan tersenyum lalu melepaskan genggaman tanganku.

"Tidak masalah, Lis. Itu sudah menjadi masa lalu," sahutnya dengan yakin.

Aku membalas senyuman Dan.

"Terima kasih, Dan."

Dan mengangguk pelan. "Sama-sama."

"Lista!!"

Panggilan dengan suara melengking itu membuatku dan Dan menoleh bersamaan ke sumber suara. Abel, sahabatku, datang dengan terburu.

"Ada apa, Bel?" tanyaku heran.

"Aku dengar kamu ditolak Kevin," jawabnya dengan wajah sebal.

"Hah?"

"Kamu mendengar berita itu dari siapa?" tanyaku terkejut.

"Aku tidak tahu pasti, yang jelas semua orang di sekolah membicarakan itu," jawab Abel.

Aku dan Dan saling berpandangan. Bingung.

"Kita harus mencari tahu sumbernya," usul Dan.

"Tapi bagaimana caranya?" tanyaku.

"Duduklah di sini. Aku akan mencari tahu," suruh Dan lalu berdiri.

"Dan," panggilku.

"Ya?"

"Hati-hati," pesanku.

Dan tersenyum geli.

"Aku hanya mencari informasi, bukan maju ke medan perang," katanya lalu berlalu pergi.

Aku menatap punggung Dan yang berlalu. Entah kenapa aku seperti melihat sayap besar di punggungnya yang bidang dan tegap itu. Sejenak, dia lebih mirip malaikat.

Eh? Malaikat? Jangan-jangan...

"Bel," panggilku, beralih pada Abel.

"Ya?"

"Apa kamu percaya kalau malaikat itu ada?" tanyaku.

Abel mengernyitkan dahi. Bingung karena ditanya tiba-tiba.

"Tentu saja," jawab Abel yakin.

"Termasuk malaikat maut?" tanyaku lagi.

Abel mengangguk pasti.

"Iya, aku percaya dan bisa saja dia sudah di sini," sahut Abel dengan berani.

Angin dingin mendadak berhembus, menerpa rambut panjangku dan membuatku seketika menoleh. Seperti kata Abel, dosok misterius berpakaian serba hitam itu telah berdiri di depanku dengan sayap besar berwarna hitam dibalik punggungnya mengembang dengan anggun.

Wajah sosok itu kini terlihat. Wajahnya tampan dengan kulit yang begitu pucat.

"Kamu tidak boleh mengubah terlalu banyak takdirnya. Jika tidak, kamu akan menghilang lebih cepat," kata sosok itu mengingatkan.

Aku terpaku menatapnya. Sosok yang aku duga sebagai malaikat maut itu hanya membentangkan sayapnya lalu menghilang dalam sekejap.

"Lista! Lista!" panggil Abel. "Lista, kamu baik-baik saja?"

Aku yang melamun sejenak akhirnya mengangguk.

"Kenapa kamu linglung begitu? Apa perkataanku menyinggungmu?" tanya Abel cemas.

"Abel, kamu bilang aku menyukai seseorang bukan?" tanyaku mengabaikan pertanyaan Abel.

Abel mengangguk. "Iya."

"Siapa?" tanyaku.

"Kevin."

"Yang mana?"

"Aku tidak tahu."

"Hah?"

"Kamu tidak pernah mengatakannya, Lis," jelas Abel.

"Apa mungkin yang aku sukai itu Kevin anak unggulan?" tanyaku menerka-nerka.

"Es batu itu?" tebak Abel.

Aku mengangguk mengiyakan.

"Mana mungkin. Kalian tidak pernah bicara," elak Abel.

"Lalu apa itu Dan?" tebakku lagi.

"Mungkin. Tapi jika iya, mengapa kamu selalu menolaknya?" tanya Abel yang membuatku ikut berpikir.

"Lalu siapa? Apa Kevin yang lain?"

"Adik kelas? Come on, impossible," bantah Abel.

Aku menghela napas panjang. Bingung.

"Tapi, soal Dan, sepertinya kamu lebih nyaman berteman dengannya sekarang. Mengingat, kamu sering menghindarinya dulu," nilai Abel.

"Heh?"

"Apa kamu merubah hatimu, Lis?" tanyanya.

Aku hanya diam. Tidak mampu berkata-kata. Aku bukan Lista di dunia ini. Jadi, aku tidak tahu bagaimana perasaannya yang sesungguhnya.

Ini sangat memusingkan.

***

Aku duduk termenung di teras rumahku. Kejadian di sekolah masih melekat kuat di otakku. Aku tidak sanggup berpikir lagi. Ini sungguh kontradiksi dengan duniaku sebelumnya.

Sebuah pesan mendarat di handphone Lista. Lista sebenarnya. Aku membuka pesan itu dan melihat pengirimnya. Di sana tertulis sebuah nama yang mencengangkan.

'Enemy'.

[ Temui aku jam 4 sore di taman.

Kevin.]

Aku mengernyitkan keningku.

Mungkinkah ini Kevin yang aku cintai tetapi dibenci oleh Lista di dunia ini? Bukankah mereka tidak saling mengenal lalu dari mana Kevin tahu nomer handphone Lista dunia ini?

Aku bangkit dari dudukku, masuk ke dalam rumah. Sekarang sudah pukul setengah empat. Jadi, aku harus menyiapkan diriku sebelum memgambil keputusan untuk melanjutkan perasaanku atau menghentikannya.

Aku tidak mau merubah takdir Lista di dunia ini hanya karena keegoisanku. Jika dia memang menyukai orang lain, maka aku harus menyatukan mereka. Walaupun pada akhirnya harus mengorbankan diriku sendiri. Walau sampai saat ini, aku masih tidak tahu, Kevin yang mana yg dicintainya.

Aku sudah berganti baju dan hendak menemui Kevin. Walaupun aku belum tahu taman mana yang dimaksud olehnya. Jika dugaanku benar, taman yang dia maksud adalah taman dekat sekolah. Taman yang membuatku menyimpan 'sakit' selama 5 tahun terakhir.

Aku mengenakan baju yang sama dengan apa yang aku kenakan saat bertemu Kevin dulu. Aku berniat menyatakan perasaanku dan mengakhirinya sehingga aku bisa kembali ke takdir awalku yaitu kematian.

Aku berjalan santai menuju taman sekolahku dengan sesekali menikmati pemandangan gratis di kiri-kanan jalan yang dilalui.

Sore ini langit begitu indah, pemandangan matahari mulai tenggelam dengan garis warna kuning tua begitu memanjakan mata. Burung-burung sesekali terbang melintas, kembali ke sarangnya setelah berkeliling mencari makan.

Handphoneku kembali berdering, rupanya dari bunda.

"Lista." Suara diseberang sana mulai terdengar.

"Ya, Bun?"

"Malam ini bunda terlambat pulang. Lista jangan khawatir ya."

"Iya, Bun."

Telpon lalu diakhiri. Aku pun melanjutkan perjalananku dan sampai di taman.

Aku mengarahkan pandanganku memindai taman, mencari sebuah sosok yang selama ini diam-diam aku rindukan. Sebuah sosok yang tersimpan dan bersembunyi di relung hati dengan label palsu bernama 'benci'.

Aku berjalan masuk ke dalam dan melihatnya di sana, berdiri menungguku dengan tatapan mata malas dan bosan. Sepertinya dia kesal karena aku terlambat datang.

Aku mendekat dan menghentikan langkahku saat kami sudah saling berhadapan dan jarak kami hanya tinggal beberapa meter.

Angin sore berembus, menampakkan secara nyata kecanggungan dan keheningan yang dalam di antara kami. Ini seperti sebuah dejavu yang membuatku teringat akan masa lalu. Walau ada sedikit penyimpangan dalam latar waktu dan adegan antar tokoh. Ini seperti sebuah pengulangan dengan alur cerita baru yang tidak terduga. Ini berbeda.

"Oi."

Aku mengernyitkan keningku saat mata kami saling memandang. Aku tidak menduga dia akan memantulkan bayanganku di sorot matanya. Walau dia memanggilku dengan nama yang terdengar sangat mengganggu.

"Aku.."

Dia menghentikan ucapannya sejenak. "Suka kamu."

"Hah?"

Aku melongo. Bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Kemarin, dengan lantang dia mengatakan kalau dia membenciku dan sekarang, dia mengatakan hal yang sebaliknya.

Tunggu!

Jika dugaanku benar, maka peristiwa besar itu adalah hari ini. Aku berbalik dan segera berlalu pergi, meninggalkan Kevin begitu saja.

"Oi!! Lista!!" Kevin mengejar dan berhasil menangkap lenganku.

"Maaf."

Aku mengempaskan tangan Kevin lalu pergi. Dengan buru-buru, aku menelpon Bunda terus-menerus. Namun, telponku tidak terangkat.

Dulu sesaat sebelum menemui Kevin, Bunda menelponku mengatakan padaku bahwa akan pulang terlambat. Setelah ditolak Kevin, aku menangis di taman sampai malam. Saat aku pulang, hanya jenazah Bunda yang aku temui. Bunda kecelakaan.

Semenjak hari itu, hidupku hancur. Tidak ada masa depan atau lainnya. Hidupku kelam dan berantakan. Waktu berlalu tanpa sesuatu yang pasti. Aku hanya hidup dengan hati yang mati. Oleh karena itu, Bunda, tolong jangan mati!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel