Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 5 Persamaan

Ketika aku mengenalmu untuk kedua kali,

Sebagai aku yang lama dan baru,

Aku menyadari kamu tetap sama,

Tidak mencintaiku.

~~~~

Aku membuka pintu rumahku dan melihat Dan sudah berdiri di sana. Dengan senyuman lebar yang memperlihatkan deretan gigi putihnya, dia melambaikan tangan.

"Selamat pagi, Teman," sapa Dan ramah.

Dan berjalan mendekat lalu berdiri di sampingku.

"Sudah siap berangkat ke sekolah?" tanyanya.

Aku tidak menjawab, hanya membalas senyuman Dan lebih dulu. Sepertinya dia tipe yang tidak perlu menunggu reaksi lawan bicaranya untuk melakukan tahap selanjutnya.

"Selamat pagi, Dan," sahutku membalas sapaan Dan walau sedikit terlambat.

"Aku sudah keren belum?" tanyanya dengan gaya yang diupayakan sekeren mungkin. Dia memang tidak mau mendengarkan lebih dulu.

"Iya, keren," jawabku mengiyakan.

Dan tersenyum lebar, merasa senang dengan jawaban dariku barusan.

"Kamu tahu, Lista?" tanya Dan tiba-tiba.

"Tidak tahu," jawabku yang langsung membuat Dan mendengus sebal.

"Tanya dulu, dong, tentang apa, jangan langsung bilang tidak tahu," sergahnya sebal.

"Tentang apa?" tanyaku menuruti keinginannya.

"Hari ini si es batu sudah kembali," jawab Dan memberikan informasi.

"Kevin maksudnya?" tanyaku memastikan siapa yang Dan maksud.

Dan mengangguk. "Iya, Kevin. Siapa lagi?"

Aku mengangkat sebelah alisku. Bingung.

"Memangnya dia dari mana?" tanyaku heran.

"Lho? Bukankah kalian bersaing untuk menjadi delegasi sekolah di lomba matematika ya? Dan si es batu yang terpilih," jelas Dan. "Anak unggulan utama memang tidak mudah dikalahkan."

"Oh," kataku sembari mengangguk mengerti.

"Kamu itu Lista bukan. sih?" tanyanya kembali menaruh curiga. "Terlalu banyak hal yang tidak kamu tahu seolah kamu orang baru."

"Ngawur, deh! Orang baru apanya?" Tentu saja, aku ini Lista" jawabku menegaskan sambil tertawa canggung.

"Apa kepalamu terbentur sehingga kepribadianmu berubah drastis seperti ini?" tanya Dan lagi. Asumsinya semakin aneh saja.

"Tidak," bantahku.

"Lalu? Kenapa kamu seperti orang lain?" tanya Dan lagi, belum puas dengan jawabanku.

"Hm.. Mungkin aku hanya ingin menjadi Lista yang baru," jawabku beralasan. "Kamu tidak suka aku berubah seperti ini, Dan?"

Dan menatapku lekat dan kali ini aku tidak menghindar. Aku ingin menghadapinya sehingga dia tidak akan meragukanku lagi. Aku memang Lista. Walau bukan Lista yang dikenalnya.

"Suka, kok. Berubah seperti apapun kamu, aku akan tetap menyukaimu," jawab Dan yakin.

"Terima kasih," kataku tulus.

"Sama-sama," sahut Dan.

"Ayo berangkat!" ajaknya.

Aku mengangguk mengiyakan.

Kami berjalan berdampingan dengan sebuah senyuman tersungging di bibir kami untuk mengawali pagi yang indah hari ini.

***

Aku berjalan menyusuri koridor dengan tumpukan buku di kedua tanganku. Bu Fitri, guru biologiku memintaku untuk membawa buku tugas teman-teman ke mejanya di ruang guru. Sendirian.

Entah ini suatu bentuk kepercayaan dari guru ke muridnya atau sebuah perbudakan kekinian. Entahlah, aku tidak mempunyai waktu luang untuk memikirkannya.

Aku melangkah masuk ke ruang guru dan meletakkan buku tugas itu di sana.

"Selamat, Kevin, karena sudah menjadi juara pertama."

"Terima kasih, Pak."

Aku mengalihkan pandanganku pada sumber suara, penasaran dengan siapa yang tengah bercakap-cakap.

Terlihat seorang cowok dengan sorot mata dingin sedang berdiri di depan salah satu meja guru. Mereka tampak terlibat dalam sebuah percakapan canggung jika melihat bahasa tubuh keduanya.

Tak berapa lama percakapan canggung itu berakhir. Cowok itu membalikkan badannya, dia tertegun saat mengetahui jika aku memperhatikannya.

Mata kami saling memandang dengan sebuah pemikiran masing-masing yang sulit dijelaskan. Entah kenapa rasa itu datang lagi, sebuah rasa sakit, benci dan marah yang terbalut samar dengan rasa rindu dan cinta yang menggebu. Ya, itu dirinya. Kevin yang aku cintai dulu.

Dia mengalihkan bola matanya dengan sengaja, menghilangkan bayanganku dari jangkauan penglihatannya. Dia terus berjalan, tanpa ragu melewatiku begitu saja. Sakit dan sesak, perasaan itu menguasai hatiku meski hanya berlangsung dalam hitungan detik.

Aku menghela napas lega begitu dia telah pergi dan menghilangkan hawa keberadaannya dariku. Sedikit lama lagi, aku mungkin akan kehilangan kontrol. Walau begitu, aku tidak bisa memungkiri jika jantungku masih berdebar dengan rasa yang sama seperti saat itu.

Selama ini, mulutku berkata bahwa aku membencinya tetapi hatiku tidak mampu berdusta. Berlalunya waktu tidak dapat menghapus perasaan cintaku meski selama ini padanya. Padahal aku selalu meyakinkan diriku kalau aku telah membencinya.

Aku mencoba menahan perasaanku dan menenangkan diri. Setelahnya pergi dari ruang guru.

"Hai."

Aku menghentikan langkahku ketika seorang cewek berambut pendek dengan tinggi lebih pendek dariku datang dan mengulurkan tangannya padaku tanpa basa-basi.

"Hai," ulangnya karena aku tidak merespon sapaan pertamanya.

"Kamu Lista kan?" tanyanya masih dengan senyuman tersungging di bibirnya.

"Iya," sahutku singkat.

"Mau berteman denganku?" tanyanya menawarkan.

Aku terdiam, merasa ada yang aneh padanya. Firasatku mengatakan ada niat yang kurang baik darinya.

"Bertemanlah dengannya."

Aku tersentak kaget saat melihat sosok itu telah berada di depanku. Ini yang aku khawatirkan, dia muncul kapanpun dan di manapun. Padahal, hanya aku yang bisa melihat dan mendengarnya.

"Kenapa?" tanyaku pada sosok itu.

"Karena dia bisa membantumu untuk mencegah kematian bundamu," jawab sosok itu.

Aku termangu, rasa sakit karena ditinggalkan waktu itu tiba-tiba muncul. Mataku berkaca-kaca tanpa perlu diminta.

"Kamu sebenarnya siapa?" tanyaku lagi.

"Delia Azizah."

Aku mengalihkan pandanganku ke cewek di depanku. Lupa kalau dia masih berada di sana. Dia pasti mengira aku bicara dengannya sejak tadi.

"Ya?" tanyaku pada cewek di depanku. Sejujurnya aku tidak mendengar apa yang dikatakannya.

"Namaku Delia Azizah," ulangnya.

"Ah, Delia?" tebakku.

"Iya," jawabnya mengiyakan.

Kami hanya saling diam selama beberapa saat sampai akhirnya dia menggerakkan tangannya yang masih terulur, menunggu tanggapan dariku.

"Salam kenal Delia, aku Lista," ujarku lalu menerima uluran tangan Delia yang sejak tadi aku abaikan.

Delia tersenyum miring lalu memperkuat genggaman tangannya dengan sengaja membuatku merintih kesakitan.

"Aw, sakit," rintihku. "Lepas, Del!"

Delia menghempaskan tanganku kasar lalu berkecak pinggang dengan mata melotot.

"Jangan pernah berharap aku jadi temanmu, Lista! Apa kamu lupa atau pura-pura amnesia? Kita ini adalah musuh," katanya dengan nada suara judes dan angkuh.

"Musuh? Tapi tadi kamu bilang.."

"Aku berbohong! Jadi benar kata temanku, kamu berubah seolah bukan Lista yang kami kenal," katanya memotong ucapanku.

"Berhati-hatilah!" kata sosok itu lalu pergi.

"Eh? Tunggu!" pekikku sembari mencoba menggapai sosok itu yang kini telah menghilang bak air yang menguap di udara.

"Hei, jangan pergi! Hei!!" teriakku.

"Kamu sudah gila? Kenapa dari tadi bicara sendiri?" dengus Delia kesal lalu pergi.

Aku memegang kepalaku dengan frustrasi.

"Ini sungguh menyebalkan," gerutuku kesal.

Dunia ini, meski terdapat aku di dalamnya, aku merasa asing. Meskipun kebanyakan orang di sini sudah aku kenal sebelumnya di duniaku dulu, mereka sungguh berbeda. Diriku yang dulu juga jarang berinteraksi. Selain itu, kehaduran orang baru membuatku menjadi tidak mengenal diriku sendiri.

"Minggir!"

Aku mendongakkan kepala dan membisu. Kevin sudah berada di hadapanku dengan wajah datar tanpa ekspresinya. Es batu, begitu istilah dari Dan.

"Minggir." Kevin mengulang ucapannya.

Aku segera menyingkirkan diriku ke pinggir, memberinya jalan. Kevin pun pergi melewatiku.

Kamu siapa? Ucapan penolakannya saat aku mengatakan cinta terlintas di otakku. Mungkin inilah kesempatanku. Jika dulu dia tidak mengenalku, sebaiknya aku memperkenalkan diriku di dunia ini.

Aku berlari, mengejar Kevin.

"Hei, Kevin Sukar Riadi," panggilku sembari mencoba mengejarnya.

Sesuai dugaanku, Kevin cuek, tetap melangkah dengan gagah.

"Kevin Sukar Riadi!!" teriakku sekali lagi.

Kevin akhirnya berhenti lalu menoleh ke arahku dengan wajah sedikit ditekuk. Sepertinya dia merasa teragnggu.

Aku berjalan cepat hingga berdiri di depannya dengan tegap. Aku tidak akan melarikan diri lagi.

"Maukah kamu jadi temanku?" tanyaku sambil mengulurkan tangan.

Kevin mengernyitkan keningnya. Heran.

"Maukah kamu jadi temanku?" tanyaku sekali lagi.

Kevin masih diam. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya saat ini. Mungkin, dia menganggapku aneh.

"Aku Lista," kataku memperkenalkan diri. "Kelas XII IPA-2!"

Kevin tidak bereaksi.

"Aku.." Akhirnya dia bicara. "Membencimu."

Heh?

Bagaikan daging yang sudah diiris dan dibumbui tetapi batal dimasak, aku langsung menciut dalam kenestapaan. Tanggapannya sungguh di luar dugaan.

Kevin berbalik lalu melangkah pergi, meninggalkanku dalam keterpurukan. Tanganku terkepal. Kesal. Mendadak aku sangat menyesal. Bagaimana bisa aku mencintai orang sepertinya sampai bertahun-tahun. Dasar es batu!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel