
Ringkasan
Sonaly Salista memiliki kenangan dan masa lalu pahit berkat seorang Kevin, lelaki yang menolaknya dengan kejam di akhir masa SMA. Dendam masa lalu itu terus terbawa sampai dewasa, membuatnya menutup diri dari dunia luar dan segala romansa. Sayangnya, dia ditakdirkan meninggal dunia di usia muda. Namun, Tuhan memberinya kesempatan kedua. Dia kembali ke waktu sebelum pernyataan cinta yang buruk itu terjadi. Sayangnya, orang yang ditemuinya, bukanlah orang yang seharusnya dia temui. Segalanya berbeda dengan waktu itu. Bagaimana balas dendamnya kini?
Bab. 1 Hah? Apa?
“Sedari dulu aku ingin kita bergandengan tangan,
Berjalan bersama untuk saling menguatkan,
Demi satu tujuan bernama masa depan,
Bukan Kematian.”
~~~~
Siang itu mentari begitu terik sehingga kita hanya saling berdiri berhadapan dengan jarak beberapa meter. Kita saling menundukkan kepala dengan mulut terkunci dalam diam. Angin musim panas berembus, memberikan sedikit kesegaran untukku, semoga kamu pun demikian.
Lima menit berlalu tetapi aku hanya sanggup berdiri dengan jantung yang berdegup kencang karena balutan rasa gugup dan takut yang terus menyiksaku dalam diam.
Aku penasaran apa kamu tahu sebanyak apa keberanian yang aku gunakan untuk sekadar mengundangmu bertemu denganku selepas pulang sekolah. Aku pikir kamu tidak tahu karena tidak pernah melihatku meski hanya sekali. Ini bukan keluhan hanya sebuah penyesalan yang tersirat dalam ucapan.
"Vin." Akhirnya sebuah kata berhasil terucap.
Aku mendongakkan kepala, mengintip sedikit bagaimana reaksimu. Kamu masih diam, dengan ekspresi wajah yang menunjukkan sebuah kebosanan dan rasa malas yang tak terungkapkan.
"Vin," panggilku sekali lagi.
Kali ini kamu mendongakkan sedikit kepalamu dan menatap malas ke arahku yang sudah berhasil menegakkan kepalaku tinggi-tinggi.
"Vin, aku…" Ucapanku terjeda sebentar, debaran jantungku saat ini sudah melebihi batas normal. "Suka kamu."
Kalimat itu akhirnya terselesaikan. Pernyataan cinta yang selama ini tergantung di ujung bibir dan hanya bisa dipendam, akhirnya keluar dan tersampaikan kepada orang yang selama ini menjadi raja dan penguasa hatiku.
Aku menghela napas lega. Senyuman tersungging di bibirku, kalimat itu telah berhasil dinyatakan dan kini aku hanya perlu menunggu jawaban atas pengakuan cintaku.
Beberapa detik berlalu, aku masih sabar menunggumu yang hanya diam menatapku. Aku memberikanmu senyuman termanis yang aku miliki, berharap kamu akan mengubah raut bosan di wajahmu menjadi sebuah senyuman kecil atau setidaknya sebuah ekspresi untuk sedikit 'berterimakasih', karena aku sudah mencintaimu selama 3 tahun kita menjalani masa SMA.
Penantianku berakhir sia-sia ketika kamu mulai beranjak pergi tanpa memberikan sebuah jawaban atas pengakuan yang selama tiga tahun ini aku perjuangkan.
"Kevin!!" Aku berteriak nyaring, berharap kamu akan berhenti. Namun kamu tidak peduli, hanya berlalu dengan punggung tegap, kepala tegak dan dada yang membungsung sombong. Kejam.
Aku tidak menyerah, berupaya mengejarmu, menangkap lenganmu yang kurus berotot dan menangkap bayangmu adalah khayalanku.
"Kevin," panggilku dengan langkah kaki yang mulai berlari karena kamu berjalan dengan begitu cepat dengan langkah besar yang kamu dapat dari kaki panjangmu.
Tiba-tiba kamu berbalik saat aku hanya perlu sedikit menambah kecepatan agar jarak kita menjadi tidak ada.
"Kamu," serumu dengan suara cukup keras.
Aku terpaku dan menghentikan langkahku dalam sekejap. Menanti dengan tidak sabar lanjutan dari ucapanmu yang sepertinya belum tuntas.
"Kamu siapa?" tanyamu dengan wajah polos yang terlihat menyebalkan.
Aku membisu dalam balutan rasa gundah, sakit dan kaget yang memicu sebuah goresan luka dalam hatiku. Aku patah hati untuk pertama kalinya oleh cinta pertama yang sudah aku pendam selama seribu sembilan puluh hari.
Aku membeku dalam sebuah kepedihan yang tidak mungkin dapat kamu mengerti. Karena kamu tidak akan pergi begitu saja jika kamu memang mengerti tentang perasaanku. Kamu terlalu 'baik' untuk sekadar mengucap kata 'maaf' untuk seseorang cewek asing yang selama tiga tahun ini hanya berani memendam perasaannya.
Aku terluka walau sedari awal sudah tahu akan mendapatkan penolakan. Namun, sama sekali tidak menyangka jika kata-kata yang ingin aku dengar setelah tiga tahun mencintaimu hanya tiga kata yang tidak sanggup ditanggung sendirian.
Jika memang penolakan itu sudah tidak bisa lagi kamu sembunyikan, setidaknya ucapkanlah 'maaf, tapi terimakasih sudah mencintaiku'. Kata-kata itu juga mengundang sebuah penolakan tetapi lebih baik daripada kata-kata pilihan yang kamu ucapkan padaku barusan. Kamu terlalu baik sehingga aku mencintaimu dalam kebencian semenjak hari itu.
Aku pasti akan membalasmu! Suatu saat nanti, entah kapan itu terjadi. Dendam ini akan kubawa sampai mati. Pasti!
***
Aku membuka mata lalu menatap enggan pada langit-langit kamarku. Sebuah sensasi dingin dan panas terasa sekaligus sesaat setelah berhasil mengumpulkan kesadaranku sepenuhnya.
Aku menghela napas berat menghilangkan kesedihan yang muncul ke permukaan saat kenangan itu kembali. Bulir bening di kedua kelopak mataku merupakan sebuah pembuktian bahwa hatiku masih mengingat kejadian itu dengan jelas. Sebuah kejadian yang membuatku menutup hati dan diriku, seolah menarik diri dari putaran arus yang bernama 'interaksi manusia'.
Kejadian itu telah berlalu lama dan menjadi masa lalu. Akan tetapi, bagiku kejadian itu baru terjadi kemarin meski sudah lima tahun berlalu. Aku masih terluka, menyimpan cinta dalam sebuah balutan semu yang disebut 'benci'.
Aku beranjak meninggalkan tempat tidurku yang berantakan karena si empunya selalu tidur dengan gaya partikel gas. Bebas dan tidak beraturan.
Aku mendekati kulkas kecilku, berharap ada sesuatu yang bisa aku makan untuk mengganjal perutku yang mulai merasakan rasa lapar yang kuat. Aku menghela napas panjang. Tidak ada apa-apa di kulkas kecilku. Di dalamnya hanya terdapat beberapa buah tomat, sebotol air yang sudah menjadi es dan selembar roti yang sudah mengeras.
"Sepertinya aku harus pergi keluar," gumamku lirih.
Aku menutup kembali pintu kulkas lalu bergegas mengambil dompet dan jaketku. Dengan mengenakan jaket tebal dan tudung kepala yang terpasang, aku melangkah keluar dari kos. Setelah mengunci pintunya, aku mulai berjalan menuju jalanan yang gersang dan penuh dengan debu bertebaran.
Aku menoleh ke kiri-kanan, hendak menyeberang di jalanan yang hari ini cukup ramai oleh kendaraan dan manusia lain dengan aktivitasnya masing-masing.
Aku tertegun, menatap seorang anak kecil dengan sebuah balon kuning di tangannya. Wajah anak kecil itu bulat dengan pipi chubby dan mata sedikit sipit. Dia tertawa renyah, membuatku merasa gemas. Namun tiba-tiba terlihat panik saat balon kuningnya terlepas dan terbang pelan menuju jalanan. Aku terperanjat kaget saat dia benar-benar mengejar balon kuning itu sementara ibunya masih terlalu asyik berbicara dengan kawannya.
"Adik, hentikan!" pekikku dengan tubuh yang bergerak spontan saat melihat sebuah bus antar kota mengarah pada anak kecil itu.
Suara rem dan teriakan tiba-tiba berbaur di udara yang kemudian menyisakan kegelapan untuk beberapa saat. Aku membatu, menatap sosok asing sudah berdiri di depanku.
"Sonaly Salista, 23 tahun, meninggal karena kecelakaan bus. Itu kamu bukan?" tanyanya dengan wajah yang tersembunyi dibalik topi hitamnya. Nada suaranya datar seolah dia mengatakannya tanpa perasaan.
Aku tidak langsung menjawab, bingung dengannya yang memakai setelan hitam dan topi hitam. Sosok itu memegang sebuah kertas hitam dengan tulisan merah, 'daftar kematian'. Dia menatapku dan mengulang kalimat yang sama.
“Meninggal? Siapa? Aku? Hah? Apa? Tidak mungkin."
