Bab. 4 First Love
Dalam hati dan pikiranku,
Kamu tersimpan sebagai cinta pertama,
Sekaligus kebencian terbesarku.
~~~~
Aku dan Abel berjalan beriringan, bergandengan tangan seperti dua anak kecil yang saling menjaga satu sama lain untuk menyeberang jalan. Kami berjalan tanpa berbicara apa-apa. Lagipula, aku juga sama sekali tidak tahu tentangnya.
Aku dulu terlalu sibuk dengan kesendirian. Bagiku, orang lain hanya sebuah halangan yang akan memberikanku kesusahan. Jadi, tanpa perlu berusaha, aku sudah melarikan diri. Namun, kali ini aku bertekad untuk tidak melakukan hal yang sama seperti dulu. Terlebih, ini bukan hidupku yang sebenarnya. Aku tidak mau merusak hidup siapapun, terutama diriku yang lain.
"Bel," panggilku sedikit ragu meski telah mengumpulkan keberanian sebanyak yang aku bisa.
"Kenapa, Lis?" tanyanya.
"Apa kamu mengenal Kevin?" tanyaku dengan ragu.
"Kevin yang mana?" Abel balik bertanya.
"Yang ganteng," jawabku malu-malu.
Abel mengerutkan keningnya, berpikir sejenak.
"Semuanya ganteng, Lis,” jawabnya kemudian.
“Heh?” seruku cukup terkejut. “Yang kelas XII.”
“Ada dua Kevin yang ganteng di kelas XII," sahutnya.
"Dua Kevin itu seperti apa?" tanyaku lagi, penasaran.
"Pertama, Kevin Pradana, anak IPS. Tipe ceria yang menyenangkan. Aku rasa, dia playboy mengingat betapa populernya dia," jawab Abel mulai menjelaskan.
"Kalau Kevin nomer dua?" tanyaku tidak sabar.
"Kevin Sukar Riadi, anak IPA-1, si pendiam yang genius. Wajahnya selalu terlihat datar, tipe yang membosankan," jawab Abel menjelaskan.
Aku terdiam, sedang mencoba mengingat nama lengkap Kevin yang aku sukai dulu. Ini di luar dugaan kalau akan ada dua nama Kevin di kelas XII.
"Apa aku dekat dengan keduanya?" tanyaku penasaran.
"Kalian tidak dekat, tapi salah satu dari mereka menyukaimu," jawab Abel dengan yakin.
"Yang mana?" tanyaku.
"Kevin yang playboy," jawabnya.
"Eh? Bukan aku yang menyukainya tetapi dia yang menyukaiku?" tanyaku kaget. Ini sungguh berita yang luar biasa.
Abel mengangguk.
“Kenapa kamu sangat terkejut? Kamu sendiri yang bilang tentang itu padaku, Lis.” Abel menatapku curiga.
“Lupa,” jawabku sekenanya. “Jadi, apa aku pacaran dengannya?”
Abel menatapku bingung. Namun aku tidak peduli. Ini akan menyenangkan jika ternyata aku di dunia ini sudah berpacaran dengan Kevin. Hal itu akan memudahkanku untuk membalas dendam padanya.
“Tidak,” jawab Abel yang membuatku sedikit kecewa. "Bukankah kamu bilang padaku kalau tidak ingin berpacaran sebelum lulus SMA?"
"Aku berprinsip begitu?" tanyaku tidak percaya.
Abel mengangguk yakin.
“Ya, bukankah dari dulu memang begitu? Ada apa denganmu? Kenapa kamu sangat berbeda hari ini.”
Abel menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bingung. Sementara aku hanya bisa tersenyum tanpa berniat melakukan pembelaan atau sekadar menjelaskan. Aku tidak boleh ketahuan. Jika tidak, kesempatanku akan berakhir dengan sia-sia. Walau begitu, semua fakta yang aku dapat hari ini sangat mengejutkanku.
Aku sungguh tidak percaya bahwa aku dan Lista di dunia ini sangat berbeda. Kami hanya sebuah raga yang sama dengan dua jiwa yang berkebalikan. Selain nasib yang sangat berbeda, sepertinya, dia juga jauh lebih bahagia dibandingkan diriku dulu. Entah kenapa, aku sedikit iri padanya. Walau dia adalah diriku, perasaan ini sulit dihindari.
"Lista!" panggil Abel.
"Hah? Iya?" tanyaku agak kaget.
"Kamu melamun? Kamu aneh banget, deh," kata Abel sembari menatapku curiga.
Peraturan no.2, tidak ada yang boleh tahu jika kamu bukanlah 'dirimu di dunia ini. Aku tiba-tiba saja teringat tentang itu. Bulu kudukku meremang, gawat jika sampai ketahuan sosok misterius muncul.
"Astaga!!!" pekikku tiba-tiba.
Aku harus kabur, tekatku.
"Kamu kenapa, Lis?" tanya Abel heran.
"Ti-tidak! Bel, aku pulang sendiri, ada urusan. Kita pulang barengnya kapan-kapan saja. Dah," kataku lalu langsung berlari pergi tanpa menunggu jawaban dari Abel.
Ini sungguh merepotkan. Aku harus lebih berhati-hati.
“Nyaris,” ujarku sembari mengembuskan napas lega.
Setelah cukup jauh dan merasa aman, aku menghentikan lariku.
"Capek," keluhku sembari mengusap keringat yang bercucuran di kening dan daguku.
Aku memutuskan duduk lemas di trotoar. Kelelahan. Napasku tersengal karena lari. Memang, aku menjadi muda tetapi entah kenapa masih merasa tua. Badanku seakan berat dan cepat kehabisan energi.
Silau. Matahari saat ini tidak mau berkompromi. Panas. Aku mengangkat salah satu tanganku ke atas, mencoba mengurangi cahaya matahari yang menerpaku.
Aku mengembuskan napas panjang dan berat, sudah merasa begitu lelah di hari pertama kembali hidup. Jika diingat lagi. Semua di luar dugaanku. Semakin terasa menyebalkan karena semua ingatan yang aku punya tidak sesuai dengan kenyataan di dunia ini.
"Lista."
Panggilan itu sukses membuatku menurunkan tanganku dan menoleh ke sumber suara. Seorang cowok dengan rambut sedikit panjang yang berantakan, mata mirip kucing dan wajah yang lumayan ganteng berdiri di depanku.
"Hai," sapanya dengan senyum lebar yang terlihat ramah.
Aku membisu, bingung.
Dia siapa? Batinku menjerit, bingung dan sedikit panik.
"Lista? Hei," panggilnya lagi. Raut wajahnya terlihat heran sebentar lalu dia kembali tersenyum. Manis.
"Kamu sudah tidak lari dariku lagi, nih?" tanyanya dengan senyuman jail.
Aku tertegun.
"Kenapa harus lari?" tanyaku bingung.
"Hm…" gumamnya dengan dahi yang sedikit berkerut. “Aneh.”
“Siapa kamu sebenarnya?”
"Hm? Apa itu cara baru?" tanyanya sebentar lalu melanjutkan, "Aku Kevin," katanya memperkenalkan diri.
“Eh? Kevin?” tanyaku tidak mengerti. Dia sangat jauh berbeda dengan Kevin di dalam ingatanku.
Aku terhenyak beberapa saat. Merasa ngeri jika ternyata Kevin di dunia ini dan Kevin yang aku benci dulu adalah dua orang yang berbeda. Itu artinya, sia-sia saja aku datang ke dunia ini.
“Bohong. Itu tidak mungkin,” gumamku bicara sendiri.
“Aku tidak bohong,” elaknya. “Kenapa kamu seolah tidak mengenalku? Apa ini cara barumu untuk melarikan diri?”
Aku tidak menjawab, sibuk dengan pemikiranku sendiri.
"Aku menyukaimu," katanya membuatku tercengang dengan pengakuan yang tiba-tiba itu.
“Menyukaiku?” ulangku yang dia balas dengan anggukan kepala.
Bohong jika aku katakan tidak terkejut tetapi ada perasaan senang datang dan hinggap di hatiku saat ini. Ini seperti keajaiban. Selama 23 tahun hidupku, aku belum pernah disukai oleh orang lain dan tidak pernah mau menyukai siapa pun.
Dua puluh tiga tahun? Aku segera menepuk kedua pipiku cukup keras, menyadarkan diriku sendiri bahwa saat ini aku berada di dalam tubuhku yang berusia 17 tahun. Ini bukan aku. Walau secara fisik, tentu ini aku. Lagipula misiku saat ini bukan berpacaran dengan daun muda. Aku belum segila itu.
"Maaf," tolakku halus.
Cowok bernama Kevin itu terdiam.
"Kenapa kamu mengatakan maaf?" tanyanya dengan wajah yang mendadak menjadi serius.
Aku bangun dari dudukku sehingga kami berdiri saling berhadapan sekarang.
"Tentu saja karena aku menolakmu," jawabku.
"Iya, kamu memang menolakku. Namun kenapa harus minta maaf?" Kevin mengajukan pertanyaan yang sama. Kali ini, ada amarah di nada suaranya.
"Ya, karena aku tidak bisa menerima rasa suka darimu," jawabku mempertegas.
Kevin mengangkat sebelah alisnya sambil menatapku dengan seksama. Tiba-tiba dia memajukan tubuhnya, mengamati wajahku dalam jarak dekat membuatku sampai harus menahan napas.
"Kamu siapa?" tanyanya kemudian.
Aku tertegun, terkejut dengan pertanyaan yang diajukannya. Jika aku adalah aku, tentu saja ini akan berakhir dengan tawa seolah pertanyaan itu hanyalah sebuah lelucon. Masalahnya, ini suatu kebenaran yang harus aku rahasiakan. Bagaimanapun caranya!
"Aku Lista," jawabku konyol.
Cowok itu tersenyum geli dan menatapku lekat.
"Meski kamu mengubah image, aku akan masih menyukaimu dan membuatmu menyukaiku," katanya dengan yakin.
Aku terdiam, hanya menatapnya bingung. Kevin ini bukanlah kevin yang aku cintai, jadi aku rasa Kevin satunya adalah orang yang aku cari.
"Kamu Kevin Pradana?" tanyaku memastikan tebakanku.
Kevin mengangguk.
"Kalau begitu, apa kamu mengenal Kevin Sukar Riadi?" kataku memberanikan diri untuk bertanya.
Kevin tersenyum tipis.
"Si es batu itu? Tentu saja aku mengenalnya," jawab Kevin mantap.
"Wah," ujarku takjub. "Kamu kenal banyak orang di sekolah?"
"Tidak, tapi aku mengenalnya," sanggah Kevin.
"Kenapa?"
"Karena dia adalah musuhmu," jawabnya yang membuat mataku terbeliak. Kaget setengah mati.
"Musuhku?" tanyaku ssetengah mati
Kevin mengangguk mengiyakan.
"Kenapa kaget begitu? Bukannya sudah dua tahun ini kalian tidak saling bicara?" ujar Kevin heran.
"Tidak pernah bicara?" kataku pelan. Entah kenapa rasa sesak itu seketika datang tanpa peringatan.
"Di dunia ini pun, aku tidak bicara padanya. Bahkan bermusuhan," imbuhku lantas tersenyum miris.
"Kenapa wajahmu masam begitu? Jangan salah paham, maksudku kamu dan dia musuhan dalam persaingan. Kalian tidak pernah bicara karena tidak saling kenal," jelas Kevin yang membuatku mengangkat kepalaku tinggi-tinggi.
"Heh?"
Kevin mendekat ke arahku, cowok yang lebih tinggi beberapa cm dariku itu membuatku harus mendongakkan kepalaku untuk menatapnya.
"Jadi maukah kamu berteman denganku?" tanyanya dengan serius.
"Hah? Apa hubungannya?"
"Kamu sepertinya tertarik padanya. Aku mengenalnya, bukan itu artinya aku bisa membantumu?" bujuknya yang membuatku mempertimbangkan bantuannya.
"Jadi, mau berteman?"
Aku tersenyum lalu mengangguk pasti.
"Teman."
Kevin melemparkan sebuah senyuman. Bahagia.
"Teman," ulangnya.
Aku mengangguk.
"Panggil aku Dan," katanya.
"Dan?"
Dan mengangguk.
"Nama Kevin itu ambigu dengan sainganmu, jadi panggil saja aku Dan," katanya menjelaskan.
Aku mengangguk setuju.
"Mau pulang bersama?" ajaknya.
Aku mengangguk sekali lagi.
"Lista,"
"Ya?"
"Sebagai teman, apa boleh jika aku masih menyukaimu?"
Aku berpikir cukup lama lalu mengangguk.
"Tentu. Rasa suka tidak bisa dihilangkan begitu saja dengan sebuah label bernama pertemanan," jawabku. "Kamu bebas melakukan apapun."
Dan menatapku takjub.
"Luar biasa, pemikiranmu sudah seperti orang dewasa," pujinya.
Aku hanya tertawa kaku mendengar pujiannya.
Pemikiranku dewasa? Ah, tentu saja. Aku ini memang sudah dewasa, bukan, lebih tepatnya aku sudah tua. Huft.
Hari ini aku bertemu Dan dan Abel. Besok, kejutan apa lagi yang akan aku terima? Mendadak, aku sangat antusias.
