Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 3 Why?

Aku telah melihat, mendengar dan merasakan pahit dan sedihnya,

Dibandingkan dengan orang lain.

Namun bukan dengan diriku sendiri.

~~~~

"Lis, nggak berangkat?” tanya Bunda yang membuat keningku mengernyit bingung. “Nanti pintu gerbangnya keburu ditutup kalau nggak buruan."

"Hm? Memangnya kenapa kalau ditutup, Bun?" tanyaku tidak mengerti.

Bunda menghela napas berat.

"Begadang nonton MU membuat Lista amnesia ya? Hari ini adalah hari Senin, ada upacara bendera lho," jawab Bunda.

Aku masih tertegun. Bingung. Otakku masih loading memuat data.

"Lista, kamu sudah kelas 12, lho! Nggak malu kalau dihukum lari lapangan?" Bunda mendelik ke arahku. Wajah cantiknya menjadi sedikit terlihat menyeramkan.

"Eh?"

Pupil mataku melebarkan saat melihat sosok berpakaian serba hitam itu sudah berdiri di depanku. Bahkan, sampai batuk-batuk. Beruntung, Bunda dengan sigap mengambilkan aku segelas air untukku.

"Kamu kembali pada saat kamu kelas 12," katanya. "Waktu pembayaran penyesalanmu telah dimulai!"

Aku menelan air yang aku minum dengan paksa. Kerongkonganku seakan enggan melakukan tugasnya hari ini.

"Bun, Lista berangkat!" pamitku panik lalu bergegas keluar rumah.

Aku menoleh kiri-kanan, mencari jalan untuk segera pergi ke sekolah.

“Lista!”

Teriakan Bunda sukses membuatku yang terbengong-bengong depan rumah hanya menangis haru. Bunda sudah seperti cahaya yang menerangi duniaku yang gelap gulita.

“Kamu kenapa sih? Mana ada orang ke sekolah tanpa seragam?” tanyanya yang sedikit terengah karena mengejarku.

“Heh?”

Bunda menepuk-nepuk lenganku. “Sadar, dong!”

Aku menundukkan kepala, memeriksa diriku saat ini dan hanya bisa memberikan senyuman kaku. Malu. Sehabis mandi, aku langsung makan karena kelaparan. Aku sudah lama meninggalkan rutinitas pagi—semua sudah berlalu tanpa terjadi hal istimewa lalu mati. Tragis.

“Malah bengong! Ganti baju sana!” suruh Bunda.

Aku mengangguk lalu segera masuk kembali ke rumah dengan berlari. Secepatnya, aku . ingin ke sekolah, Bukan untuk melaksanakan tugas—untuk itu tidak harus terburu-buru, melainkan ingin kembali merasakan sensasi saat masih muda.

"Bun!" panggilku setelah bersiap-siap.

"Ada apa, Lista?" tanya bunda heran.

"Sekolah Lista di mana?" tanyaku sambil memberikan senyuman polos.

Bunda menepuk ringan jidatnya.

"Lista masih bermimpi ya?" tuduh Bunda.

Aku hanya tersenyum kecil.

"Tidak, Bun," elakku. "Hanya mendadak lupa."

Bunda tertawa membuat lesung pipinya terlihat.

"Belok kiri, lurus lalu belok kanan!" Bunda memberikan arahan.

Aku mengangguk mengerti.

"Terima kasih, Bunda!" pamitku lalu bergegas pergi.

Bagi orang lain, mungkin petunjuk Bunda sangat absurd. Namun bagiku tidak. Karena itu sudah cukup membuktikan bahwa sekolahku masih sama dengan yang dulu.

***

Aku terdiam menatap pagar tinggi yang menjulang di depanku. Berapa lama pun aku melihatnya, pagarnya tidak mau terbuka. Sepertinya aku memang tidak memiliki kemampuan supranatural.

"Haruskah aku mencoba menembusnya saja? Bagaimanapun aku ini sudah mati," gumanku bicara pada diriku sendiri.

Aku menghela napas panjang dan memasang kuda-kuda, bersiap untuk menerjang pintu di depanku.

"1, 2, 3!" teriakku keras-keras lalu berlari lalu menerjang gerbang sekolah.

“Wadow!!!”

Pagar besi itu bergetar dan menimbulkan suara yang hebat saat tubuhku menghantamnya keras. Aku terpental dan jatuh terduduk dengan rasa sakit di seluruh tubuh, terutama di bagian wajah.

Aku merintih kesakitan sambil menatap kesal pada pagar di depanku yang seolah melengkungkan sebuah senyuman.

"Sakit," rintihku. Bahkan sampai meneteskan air mata. Perih.

"Mengapa aku tidak bisa menembusnya?"

Dahiku mengernyit.

"Karena kamu bukan hantu."

Suara itu membuatku langsung menoleh ke belakang. Seperti dugaanku, sosok misterius yang belum aku tahu identitas aslinya itu sudah berdiri di belakangku.

"Jadi aku sudah hidup kembali?" tanyaku memastikan hipotesis singkatku.

"Tidak, raga di duniamu sudah meninggal. Kamu hanya meminjam tubuh dirimu di dunia yang lain untuk sementara waktu," jawabnya membuatku mengerutkan kening karena belum sepenuhnya mengerti dengan penjelasan darinya.

"Jadi aku ini hidup atau mati?" tanyaku.

Sosok itu kembali tersenyum samar.

"Kamu sedang berada di perbatasan antara keduanya," jawabnya lalu menghilang dalam sekejap dari pandanganku.

"Bocah!"

Aku menoleh pada teriakan yang super melengking dan membuat gendang telingaku nyaris pecah itu.

"Pak Satpam!" teriakku girang. "Kamu terlambat?" tebaknya.

Aku mengangguk.

"Buka pintunya dong, Pak!" mohonku setengah merengek.

"Oke," kata Pak satpam lalu membuka pintu gerbang.

"Terima kasih, Pak," ucapku girang.

"Iya, sama-sama. Silahkan pergi ke depan Pak Aswaji di sebelah sana!" tunjuk Pak satpam pada Pak Aswaji yang berdiri tidak jauh dari kami. Guruku itu melotot membuatku hanya bisa tersenyum hambar.

Pak Aswaji adalah guru kimia sekaligus wakasek bagian kesiswaan. Beliau dikenal galak, disiplin dan tegas. Seingatku, aku memang selalu menjadi langganan sebagai murid telat-an karena selalu datang telat setiap hari Senin.

"Sonaly Salista," panggil Pak Aswaji saat melihatku berjalan ke arahnya.

Aku menundukkan kepalaku, takut untuk sekadar menatap wajahnya.

"Ma-maaf, Pak!" ujarku terbata.

"Tidak apa-apa. Ini pertama kalinya kamu terlambat bukan?"

Aku tersentak kaget mendengar pernyataan pak Aswaji.

"Eh?"

"Sudah tidak apa-apa, lain kali jangan diulangi lagi. Kamu adalah murid berprestasi, kebanggaan sekolah!"

Aku kembali terkejut dengan pernyataan Pak Aswaji.

"Masuk sana!" suruh Pak Aswaji.

Aku hanya mengangguk lalu berjalan pergi.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, timbul berbagai macam dugaan, prasangka dan pertanyaan di kepalaku. Rasanya, ada yang aneh walau belum yakin tentang itu.

Aku melangkahkan kakiku ke kelas XII IPA-5 dan langsung menerima sorakan dari para penghuninya. Seorang guru perempuan yang melihat kedatanganku terlihat bingung saat aku mendekatinya.

"Maaf, saya terlambat, Bu," kataku dengan rasa gugup dan gelisah yang sudah tidak dapat dibantah lagi keberadaannya.

"Lista?"

"Iya, Bu?"

"Ini IPA-5, lho. Kamu bukannya kela IPA-2?"

Aku mematung seketika. Semua ingatanku tidak sesuai dengan diriku di dunia ini. Aku merasa menjadi makhluk pindahan yang harus kembali beradaptasi di lingkungan baru.

"Maaf, Bu! Saya linglung," kataku dengan wajah yang sudah memerah karena menahan malu.

Aku segera keluar kelas dan pergi menuju kelas XII IPA-2 yang merupakan kelas Unggulan Pendamping. Seumur hidup, aku tidak pernah bermimpi untuk bisa masuk ke kelas yang dipenuhi oleh orang genius itu. Aku menjadi penasaran.

Lista dunia ini, seperti apa ya?

***

Siang menyapa dengan terik mentari yang sangat menyengat. Aku keluar dari kelasku dengan wajah yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Dekil dan menyedihkan.

Walaupun aku kembali muda, tetapi tidaklah demikian dengan otakku. Otak dan ingatanku masihlah 'aku' yang sudah berusia 23 tahun sehingga membuatku harus berusaha keras mengingat materi pelajaran yang aku pelajari 6 tahun silam. Percayalah, itu lebih susah daripada mencari jarum di tumpakan jerami.

Aneh, Lista di dunia ini sangat disukai oleh guru-guru. Beberapa kali guru mata pelajaran juga memintaku ke depan dan mengerjakan soal. Beruntung, karena aku bisa menjawab setiap pertanyaan walaupun menguras habis energiku. Otakku sampai sakit.

"Lista!" panggilan itu membuatku menoleh.

Seorang cewek yang merupakan teman sekelasku menghampiriku. Dia mendekat dengan berlari kecil.

"Pulang bareng, yuk!" ajaknya.

Aku mengernyitkan kening.

"Kamu temanku?" tanyaku hati-hati.

Cewek itu memasang wajah cemberut mendengar pertanyaanku.

"Kita ini sudah bersahabat sejak MOS, Lista," jawabnya tegas. “Kamu lupa?”

“Maaf,” ujarku merasa bersalah. "Namamu siapa?"

Cewek itu tertawa keras membuat sebuah cekungan di pipinya membuatnya semakin tampak manis. Setelah tawanya mereda, dia mengulurkan tangan.

"Namaku Berliana Dewi, sahabatmu," katanya memperkenalkan diri.

Aku menerima uluran tangannya.

"Namaku Sonaly Salista."

"Aku tahu," katanya sambil tersenyum ramah.

Aku membalas senyumannya.

"Dewi?" Aku mencoba menebak nama panggilannya.

"Bukan, Abel," sanggahnya.

"Jadi, sekarang mau pulang bareng?" ajaknya lagi.

Aku mengangguk.

"Let's go!!" serunya heboh dan sedikit alay.

Aku tersenyum geli melihat tingkah Abel. Sepertinya dia teman yang menyenangkan.

Diam-diam, aku merasa sedikit iri pada diriku sendiri. Karena Lista yang aku ingat tidak memiliki teman atau prestasi sama sekali. Sedangkan Lista di dunia ini, mendapatkan semua yang tidak pernah aku miliki. Tiba-tiba aku menjadi teringat tentang dirinya.

Apa Lista di dunia ini juga memiliki seseorang yang dicintai olehnya? Apa mungkin, kami mencintai orang yang sama? Entahlah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel