Bab. 2 No way!
Aku sudah tahu bahwa setiap orang akan mati. Namun tidak mengira akan mati hari ini.
~~~~
"Sonaly Salista, 23 tahun. Meninggal karena kecelakaan bus. Itu kamu bukan?" tanyanya dengan wajah tersembunyi dibalik topi hitamnya.
“Meninggal? Siapa? Aku?” tanyaku bertubi-tubi, shock berat.
Sosok itu mengulang lagi kalimat yang sama persis seperti yang tadi dikatakannya membuatku merasa ingin menulikan telingaku saat ini.
"Apa.." Aku tertegun. Tenggorokanku terasa sakit, enggan melanjutkan perkataanku berikutnya.
Sosok itu menggerakkan telunjuknya lalu seberkas cahaya menerpa kedua pupil mataku sehingga mengangetkan retinaku dan memberikan sebuah asumsi pada otakku, silau.
Aku perlahan membuka mata. Sosok itu masih di sana tetapi kini kami berada di tempatku berdiri tadi, di jalanan yang gersang dengan debu bertebaran. Bedanya, kini aku telah berdiri dengan sosok misterius di depanku.
Sosok di depanku itu tiba-tiba menggerakkan jari telunjuknya lagi sehingga membuatku tanpa diminta mengikuti ke mana jari itu bergerak.
Aku tertegun, menatap nanar ke sebuah tubuh yang tergeletak di jalan dengan kondisi yang lebih menyedihkan daripada kesedihan karena ditolak cinta pertamaku.
Tubuh itu terbaring kaku dengan bersimbah darah. Beberapa tulang rusuknya patah, tampak ada banyak goresan di sana-sini di tubuhnya dan yang paling menyedihkan dari semuanya, bagian tubuh bagian bawah nyaris remuk.
Aku mulai merasakan rasa iba padanya, bulir bening itu menetes tanpa perlu diminta atau paksa. Bibirku menyunggingkan senyuman tipis saat melihat wajah dari tubuh yang malang itu masih dalam kondisi baik, tidak ada satu pun luka di sana. Aku bahagia, karena tubuh yang terbaring itu adalah tubuhku. Ya, jiwaku telah meninggalkan ragaku. Inilah yang disebut kematian.
Kematian adalah suatu garis takdir yang harus dilalui setiap manusia, Setiap kelahiran akan diakhiri dengan sebuah kematian. Sama halnya dengan pertemuan yang pada akhirnya akan menciptakan sebuah perpisahan. Sudi tidak sudi, suka atau tidak, mau tidak mau, setiap yang bernyawa akan mati. Begitulah hidup, terlalu singkat untuk membandingkannya dengan sebuah kematian yang lebih lama dan abadi. Aku menyadari kematian akan menghampiriku suatu saat nanti. Namun, aku tidak menyangka bahwa kematianku adalah hari ini.
"Jadi, kemanakah aku setelah ini?" tanyaku memberanikan diri.
Aku belum siap untuk mati, tetapi sudah dipanggil. Itu sebabnya, aku harus bisa menerima kenyataan ini. Karena itulah salah satu cara agar aku bisa terus melangkah. Aku percaya, ada sebuah kehidupan abadi setelah kematian. Kini aku akan pergi memulai kehidupan panjangku yang sebenarnya. Aku hanya perlu menunggu sebelum akhirnya dihidupkan kembali.
"Kamu meninggal karena menggantikan anak kecil yang seharusnya aku cabut nyawanya hari ini," katanya. "Jadi, apakah ada sebuah penyesalan yang ingin kamu hapus sebelum benar-benar pergi?"
Aku terdiam, mencerna perlahan apa yang sosok misterius itu katakan barusan.
"Bisakah aku kembali? Benar-benar kembali?" tanyaku memastikan dugaan singkat yang aku dapat dari penjelasannya yang singkat dan tidak mudah dipahami itu.
Sosok itu mengangguk mengiyakan.
"Setelah penyesalanmu terbayar, kamu akan kembali," jawabnya. "Meninggal, memenuhi takdir hidupmu sebenarnya."
"Bukankah jika aku kembali ke masa lalu, masa depanku akan berubah?" tanyaku.
Sosok itu menggeleng tegas.
"Tidak. Kamu kembali untuk menjalani hidupmu di dunia paralel dari dirimu yang lain, kamu memperbaiki hidupnya bukan hidupmu," jawabnya menerangkan.
"Kalau begitu untuk apa aku hidup kembali? Bukankah pada akhirnya hidupku sendiri sudah berakhir?" tanyaku dengan rasa bimbang dan ragu yang menggantung dalam relung hatiku.
"Aku tidak tahu tetapi banyak orang yang aku cabut nyawanya meminta hal ini. Tentu, aku tidak memberikan kesempatan ke sembarang orang," jelasnya. "Jadi, apa kamu menolak kesempatan ini?"
Aku terdiam, berpikir sejenak. Masa lalu menyakitkan itu tiba-tiba terlintas, membuatku berpikir kalau mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan bagiku untuk kembali dan membayar penyesalanku sehingga kebencianku padanya pun akan terhapus.
"Aku menerimanya," jawabku yakin. "Apa ada syarat tertentu untuk hal ini?"
Sosok itu tersenyum tipis. Wajahnya memang tidak terlihat dengan jelas tetapi senyuman samar itu masih bisa ditangkap oleh kedua mataku.
"Ada tiga ketentuan dalam hal ini," jawabnya.
"Apa saja?" tanyaku tidak sabar.
"Pertama, kamu tidak memiliki batasan waktu. Ketika penyesalanmu terbayar, kamu akan kembali."
"Jadi aku akan kembali setelah aku telah membayar penyesalanku? Kalau begitu, itu bisa saja sehari, seminggu, sebulan atau bahkan setahun bukan?" tanyaku memastikan.
Sosok itu mengangguk.
"Kedua, tidak boleh ada yang tahu jika dirimu bukanlah 'dirimu' yang lain," katanya melanjutkan. "Yang terakhir, jika kamu gagal maka kalian berdua, kamu dan dirimu di dunia itu, akan mati."
Aku terperanjat kaget mendengar pernyataan terakhirnya.
"Mengapa? Bukankah tidak ada batas waktu untukku? Jika benar demikian, bagaimana aku bisa dikatakan gagal?" tanyaku dengan nada sedikit meninggi, tidak mampu menyembunyikan rasa kaget, bingung dan tidak terima yang meluap begitu saja.
"Jika kamu melewatkan kesempatan untuk membayarnya, kamu dianggap gagal," jawabnya singkat.
Aku hanya diam, mencoba untuk mencerna kata-katanya secepat mungkin.
"Baiklah, sekarang aku akan mengirimmu." Sosok itu meletakkan jari telunjuknya tepat di depan keningku.
"Tunggu! Bolehkah aku…"
Dia menyentil keningku pelan membuatku tak bisa menyelesaikan kalimatku, lalu seberkas cahaya menyilaukan datang dan membuatku memejamkan mataku secara spontan.
***
Sebuah pukulan cukup keras mendarat di pantat, membuatku terhenyak seketika.
"Bangun, Lista!"
Suara khas dengan tekanan kuat, intonasi jelas dengan nada melengking itu terdengar. Sebuah suara yang begitu aku rindukan dan sudah lama tidak aku dengar.
Sebuah pukulan cukup keras kembali terasa, membuatku sedikit meringis kesakitan.
"Matahari sudah tinggi, sudah setengah tujuh. Kamu tidak ingin sekolah huh?" Suara kesal itu kembali terdengar.
"Lista tidak sekolah lagi, Bun. Lista.." Aku membulatkan mata lalu bangun dengan segera.
Aku pandangi dengan seksama seorang wanita paruh baya yang sedang menatapku dengan sorot mata yang teduh dan penuh dengan kasih sayang.
"Bunda," ucapku parau dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Wanita paruh baya itu menatapku bingung.
"Iya, ini bundamu," sahutnya. "Cepat bangun dan bersiap ke sekolah! Jika tidak bergegas, kamu akan terlambat!"
Aku tersenyum lebar. Terharu.
"Lalu, apa maksud ucapanmu Lista sudah tidak sekolah? Kamu mau berhenti sekolah dan bekerja saja huh?" Bunda menyipitkan mata, kesal. Namun aku yang tidak mampu melepas senyumanku beranjak dari kasurku dan memeluk erat Bunda.
"Lista sayang bunda," ucapku bersungguh-sungguh.
Air mataku tidak terbendung lagi. Aku mulai menangis dengan perasaan terharu dan bahagia yang bercampur menjadi satu.
"Kamu mulai pintar huh?" ucap bunda. "Mengucapkan hal manis dan menangis, ilmu pengalihanmu makin berkembang huh? Bunda tidak akan terpengaruh."
Aku tergelak pelan mendengar tuduhan tidak berdasar Bunda.
"Lista bahagia bisa mendengar omelan bunda lagi," kataku lalu tersenyum.
Bunda memanyunkan bibirnya. Luluh.
"Baiklah, Bunda akan melepasmu hari ini. Cepat mandi dan pergi ke sekolah," suruhnya.
Aku memeluk Bunda dengan erat sekali lagi sebelum melepaskannya. Setelahnya, Bunda berjalan keluar dari kamar dan mataku tidak berhenti menatapnya.
“Cepat mandi sana!”
Aku mengangguk pelan sambil menghela napas panjang saat Bunda benar-benar telah meninggalkan kamarku. Bunda masih hidup. Sebuah senyuman bahagia tersungging di bibirku.
“Lista kesepian, Bunda. Karena di hari kelulusan, Bunda meninggal dunia.”
