Bab. 7 Penyelamatan Mba Siti
Tangan Rani menyentuh serencengan kunci yang terkait di lubang kunci pintu kamar Sari, mungkin karena tergesa - gesa mereka pergi dan lupa mengunci pintu kamar Sari sehingga kunci tertinggal dan masih menancap di lubang kunci. Rani segera masuk dan terlihat Sari terbaring tanpa ekspresi seperti biasanya tetapi bajunya awut – awutan, kasurnya juga berantakan, seprainya terlihat acak – acakan dan rambut Sari berantakan. Sari masih mengunakan baju yang tadi pagi Rani gantiin. Rani terdiam, tetapi kemudian terdengar mba Siti memanggilnya.
“ Neng Rani cepat kesini tolong lepaskan kunci pasungan ini “ ujar mba Siti sambil matanya sesekali melihat ke Sari dengan ketakutan.
“ Iya mba, ini saya ketemu kunci banyak tergantung di pintu kamar”.
Rani segera berlari ke arah mba Siti dan berusaha membuka gembok di kaki mba Siti yang terpasung. Rani terus mencocokan kunci satu persatu ke gembok pasungan mba Siti. Tangan Rani gemetaran sambil memasukan kunci ke gembok, sambil sesekali dia melihat kearah Sari yang terbaring di kasur dan kearah pintu kamar, takut jika tiba – tiba majikannya muncul. Tetapi mengingat jarak rumah pak Roby yang jauh seharusnya mereka akan menghabiskan waktu dua jam perjalanan. Mba Siti terlihat sangat ketakutan, sambil membuka kunci pasungan, Rani sesekali masih terus memperhatikan keadaan Sari dan juga sambil menatap kearah mba Siti. Akhirnya setelah beberapa kali mencoba, gembok akhirnya terbuka, dan Rani segera membantu mba Siti melepaskan kakinya dari pasungan. Rani memapah mba Siti berdiri, tetapi mba Siti sangat sulit berdiri, mungkin karena sudah terlalu lama duduk dipasung sehingga kakinya menjadi lemas dan tidak bertenaga, apalagi mba Siti juga dalam keadaan hamil tua, itu membuat gerakannya agak susah untuk bangun berdiri. Mba Siti dan Rani terus mencoba, sambil memegang pada kaki meja yang terletak disamping pasungan, mba Siti kemudian bisa bangun berdiri. Rani membantu memegang tubuh mba Siti agar tidak terjatuh. Setelah berdiri untuk sesaat mba Siti tetap berdiri ditempat, setelah mengambil nafas perlahan beberapa kali mba Siti mencoba melangkahkan kakinya, mba Siti terus mencoba karena mereka takut ketiga majikannya kembali dan menemukan mereka ingin kabur. Akhirnya dengan susah payah Rani berhasil membawa mba Siti melangkah keluar dari kamar. Rani masih sempat menoleh kearah Sari yang diam terbaring di kasur saat mereka melewatinya.
“ Mba itu non Sari bagaimana mba, apa kita tinggalkan begitu saja?” Tanya Rani kepada mba Siti.
“ Sudah biarkan saja, kita pergi saja dari sini, lagian non Sari sudah lama meninggal, itu bukan non Sari lagi neng” jawab mba Siti.
Rani terkejut dan kebingungan mendengar jawaban mba Siti. Apa maksud dari kata mba Siti barusan, non Sari sudah meninggal, lalu itu siapa jika bukan non Sari, jelas – jelas Rani masih merasakan non Sari masih hidup walaupun badannya memang terasa dingin saat disentuh. Memang setiap dia memandikan Sari, Sari hanya diam, matanya juga kosong tidak menampakkan tanda – tanda manusia normal. Rani berpikir mungkin Sari mengalami kelainan oleh suatu penyakit atau mengalami kondisi khusus seperti mengalami keterbatasan fisik maupun mental sehingga emosionalnya terpengaruh. Makanya Sari membutuhkan seseorang yang harus membantunya misalnya dia tidak bisa mandi sendiri, tidak bisa makan sendiri. Makanya Rani disuruh bu Mala untuk merawat Sari disini, seperti kata bu Mala disini tenaga Rani lebih dibutuhkan.
Tetapi karena mereka sudah harus segera keluar dari rumah mbah Marni itu, mereka dengan kesulitan berusaha berjalan keluar dari kamar Sari. Rani berhasil membawa mba Siti berjlan ke teras depan, mereka berdua terlihat waspada dan melihat ke sekeliling rumah, suasana sangat disekitar rumah mbah Mirna sangat sepi, apalagi sudah tengah malam menjelang subuh. Hanya terlihat pohon – pohon tinggi menjulang dan bayangan – bayangan gelap pohon. Rina dan mba Siti berpegangan dengan perasaan gelisah dan takut.
“Mba menurut pak Yayat, katanya mang Amat akan datang menjemput kita, apa mba tahu?” tanya Rina ke mba Siti.
“Iya neng tar bapak yang akan menjemput kita, kita harus segera pergi dari tempat menakutkan ini neng, saya takut sekali neng, saya pikir saya akan segera mati dan kehilangan bayi saya neng, “ kata mba Siti sambil terisak.
Rina merasa sangat kasihan dengan mba Siti, sepertinya keputusannya untuk membantu mba Siti pergi dari rumah ini sudah benar. Kondisi mba Siti memang sangat memprihatinkan, tubuhnya kurus, badannya tidak terurus, sungguh seperti orang terlantar. Kenapa sangat tega majikannya memperlakukan mba Siti seperti ini. Rani memperhatikan mba Siti yang masih terus meneteskan air mata, matanya merah dan bengkak karena menangis. Mba Siti hanya memakai daster batik lusuh, badannya banyak bekas – bekas luka memar, terlihat juga pergelangan kakinya merah dan bengkak karena bekas pasungan, apa yang sebenarnya terjadi dengan mba Siti, apakah dia telah disiksa oleh majikannya? Rani hanya terdiam memperhatikan keadaan mba Siti
Tidak begitu lama kemudian terdengar suara mobil mendekati rumah mbah Mirna dan terlihat sebuah mobil pick up datang dan berhenti di depan pagar mbah Mirna, Rani dan mba Siti terkejut dan sangat ketakutan sehingga mereka berlari bersembunyi di belakang sebuah pohon besar. Tak lama terlihat seseorang turun dari mobil dan membuka pintu pagar dengan hati – hati dan memasuki pekarangan rumah mbah Mirna, ternyata setelah diperhatikan itu adalah mang Amat yang datang. Dengan segera Rani dan mba Siti berlari keluar menghampiri mang Amat, mang Amat menoleh melihat gerakan mereka kemudian berlari menghampiri Rani dan mba Siti. Mba Siti menangis sambil memeluk mang Amat erat. Manga mat membelai kepala mba Siti dan terlihat juga sangat sedih dan menangis.
“Sudah nduk, ayo cepat kita tinggalkan tempat ini, jangan sampai kita terlambat dan mereka menyadari.” Ajak mang Amat sambil menuntuk m,ba Siti menuju ke mobile pick up yang dibawanya. Rani segera membukakan pintu mobil dan membantu mang Amat nenuntuk mba Siti masuk ke mobil. Segera tanpa menunda – nunda waktu mang Amat mengemudikan mobilnya cepat meninggalkan rumah mbah Marni.
Mereka bertiga masih mersakan ketegangan saat meninggalkan rumah mbah Marni, tampak jelas wajah ketiganya murung, mba Siti dengan wajah pucat yang masih terus saja menangis sesekali menolehkan kepalanya melihat kearah belakang begitupun Rani. Mereka tampak takut jika ternyata ada yang mengikuti mobil mereka. Sama juga dengan mang Amat tak henti – hentinya dia memperhatikan arah belakang melalui spion mobilnya. Mereka berharap mereka bisa segera pergi jauh dari rumah mbah Marni. Mobil melaju kencang meninggalkan daerah itu, hanya terdengar suara mobil pick up mang Amat memecah keheningan malam. Keadaan desa tempat tinggal mbah Marni memang hanya terdapat hutan – hutan disepanjang jalan, kadang terdengar suara binatang malam, jalanan yang mereka lalui tampak berkabut yang membuat suasana malam semakin menyeramkan.
