Bab 5 Cemburunya Slavko
Air sudah dimatikan. Kamar mandi dipenuhi uap tipis dan aroma sabun yang masih menggantung di udara. Gisha membungkus tubuhnya dengan handuk, berjalan keluar lebih dulu sambil mengeringkan rambutnya. Slavko menyusul beberapa menit kemudian, mengenakan celana panjang dan kaus hitam tipis yang belum sepenuhnya kering.
Ia menemukan Gisha duduk di pinggir ranjang, mengoleskan pelembap ke kulit tangan. Cahaya matahari sudah mulai masuk dari celah tirai, menyorot wajah Gisha yang tampak jauh lebih tenang dibanding malam sebelumnya.
“Kamu mau sarapan?” tanya Slavko sambil membuka lemari, mencari sesuatu untuk dikenakan.
Gisha mengangguk kecil. “Tapi jangan yang ribet. Aku cuma mau kopi dan roti.”
Slavko tersenyum. “Berarti kamu lagi bahagia. Biasanya kamu minta nasi goreng jam segini.”
Gisha menoleh pelan. “Bahagia, iya. Tapi juga takut. Kita terlalu nyaman, Slavko. Rasanya kayak... sesuatu yang indah tapi bisa hancur sewaktu-waktu.”
Slavko duduk di sebelahnya. Ia tak langsung menjawab, hanya meraih tangan Gisha dan menggenggamnya erat.
“Kalau memang bisa hancur, biar kita yang tentukan kapan. Bukan Reza. Bukan siapa-siapa.”
Gisha menunduk. “Aku nggak bisa terus begini. Main di dua sisi. Makin lama, makin dalam. Aku bisa kehilangan kendali.”
“Kamu nggak sendiri,” ujar Slavko serius. “Aku nggak akan lepasin kamu. Apa pun yang kamu pilih nanti.”
Gisha menarik napas panjang. “Aku belum siap milih, Slavko. Tapi aku tahu... aku nggak pengin kehilangan kamu.”
Slavko mencium punggung tangannya pelan. “Kalau begitu, tetap di sini. Selama kamu mau. Kita jalani satu hari dulu. Besok nanti kita pikirin bareng.”
Gisha menatap mata lelaki itu. Ada kepercayaan yang tak bisa dijelaskan. Ada rasa aman yang tak bisa digantikan.
Kemudian ia tersenyum kecil. “Boleh. Tapi kamu bikin kopi ya.”
Slavko tertawa pelan. “Kopi hitam. Dua sendok gula. Roti bakar isi keju. Aku hafal.”
Dan pagi itu, sebelum hari kembali menjadi rumit, mereka masih punya waktu untuk duduk berdampingan, sarapan dalam diam, dan menunda kenyataan… meski hanya sebentar.
Selesai sarapan, Gisha meletakkan cangkir kopinya yang tinggal setengah di meja. Ia melirik jam dinding—pukul 08.12. Terlambat sedikit saja, Reza pasti mulai curiga.
Gisha berdiri, mengambil tasnya yang tadi diletakkan di sofa. Wajahnya mulai berubah. Bukan lagi senyap dan tenang seperti tadi pagi. Kini ada gelisah yang perlahan kembali muncul.
“Aku harus pulang,” katanya sambil memutar-mutar tali tas di tangannya.
Slavko bangkit dari dapur, masih mengeringkan tangannya dengan lap. “Aku antar?”
Gisha menggeleng cepat. “Jangan. Nanti makin mencurigakan. Aku bilang ke Reza semalam tidur di apartemen temanku. Kalau kamu muncul, bisa berantakan semuanya.”
Slavko mengangguk pelan. Tapi jelas ada yang ditahannya di ekspresi wajahnya. “Kamu yakin dia nggak mulai curiga?”
Gisha menarik napas dalam. “Reza terlalu sibuk urus proyek pernikahan. Dia pikir aku cuma stres karena banyak tekanan, makanya dia biarin aku menghindar semalam.”
Slavko mendekat. “Tapi kamu bukan cuma menghindar, Gish. Kamu datang ke aku. Kamu tidur di sini. Bersamaku.”
Gisha menatapnya. Dalam. Ragu. Tapi tak menyangkal.
“Aku tahu,” ujarnya pelan. “Dan aku nggak nyesel.”
Tapi kalimat itu tak diikuti pelukan atau kecupan perpisahan. Gisha melangkah ke arah pintu. Langkahnya cepat, tak ingin memberi celah pada perasaan yang bisa membuatnya ragu lagi.
Sebelum membuka pintu, ia menoleh.
“Jangan hubungi aku hari ini,” katanya cepat. “Aku butuh waktu. Dan... aku nggak mau Reza tahu.”
Slavko menatapnya lama, lalu mengangguk sekali. “Tapi kalau kamu butuh aku... kamu tahu harus ke mana.”
Gisha tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, lalu membuka pintu dan pergi.
Pintu menutup perlahan.
Dan Slavko tetap berdiri di sana, menatap pintu yang tak lagi terbuka, bertanya dalam hati: berapa lama lagi mereka bisa sembunyi?
Slavko berdiri lama di ambang pintu yang sudah tertutup. Hening. Apartemennya tiba-tiba terasa terlalu sepi, terlalu luas untuk dirinya sendiri. Padahal beberapa jam lalu, ruangan itu penuh dengan tawa kecil dan suara langkah Gisha di lantai kayu.
Ia berjalan pelan kembali ke ruang tengah, menatap meja makan yang masih menyisakan dua cangkir kopi dan remah roti. Wajahnya menegang. Ia menarik napas berat, lalu duduk di kursi, menyandarkan tubuh, dan mengusap wajah dengan kedua tangan.
Gisha baru saja pergi, tapi pikiran Slavko sudah dipenuhi bayangan tentang Reza.
Reza, pria yang masih berstatus tunangan Gisha secara resmi. Reza yang sedang sibuk merancang pernikahan mewah, seolah tak pernah berbuat salah. Dan Gisha… tetap memilih kembali pulang ke rumah Reza, tetap menyembunyikan apa yang mereka jalani bersama.
Slavko meremas cangkir kosong di depannya. “Dia bilang nggak nyesel,” gumamnya pelan. “Tapi kenapa harus sembunyi terus?”
Bayangan Gisha yang tersenyum pada Reza, duduk di samping pria itu seolah semuanya baik-baik saja, membuat perut Slavko terasa panas. Ia bangkit dengan kasar, berjalan ke jendela dan membuka tirai lebar-lebar, seolah ingin mengalihkan pikirannya.
Tapi tak berhasil.
Ia menatap keluar, melihat lalu lintas kota yang sibuk seperti biasa. Tapi pikirannya tetap di Gisha. Di keberadaan perempuan itu yang saat ini mungkin sedang dalam pelukan pria lain.
Cemburu. Itu yang ia rasakan.
Bukan karena ia tak tahu Gisha belum sepenuhnya miliknya. Tapi karena di matanya, tak ada satu bagian pun dari Gisha yang pantas dibagi—apalagi kepada Reza.
Slavko menghembuskan napas keras. Ia tahu konsekuensi dari semua ini. Tapi ia juga tahu, hatinya sudah terlanjur dalam.
Dan yang paling menyakitkan? Ia harus tetap diam, pura-pura tak peduli, setiap kali Gisha memilih pulang… bukan kepadanya.
Siang harinya, matahari bersinar terik menembus kaca jendela apartemen Slavko. Udara dalam ruangan mulai hangat, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya terasa gerah.
Ia duduk di sofa, laptop terbuka di meja depan, tapi dokumen yang sejak tadi terbuka belum disentuh. Tangannya hanya bermain di sisi cangkir kopi yang sudah dingin, pikirannya melayang entah ke mana.
Ponselnya beberapa kali bergetar—email masuk, pesan dari tim kerja, bahkan satu panggilan dari asisten pribadinya. Tapi tak ada satu pun yang ia jawab. Hanya satu hal yang dinantinya: kabar dari Gisha.
Namun layar tetap sunyi.
Slavko berdiri, berjalan ke arah dapur, lalu kembali ke ruang tengah. Bolak-balik tanpa tujuan jelas. Kepalanya dipenuhi dugaan.
Apakah sekarang Gisha sedang bersama Reza? Makan siang berdua? Tertawa, seolah pagi tadi tak pernah terjadi?
Ia meraih ponsel. Membuka aplikasi pesan, menulis satu kalimat pendek:
"Kamu baik-baik aja?"
Tapi jari-jarinya tak menekan tombol kirim. Ia menatap pesan itu lama, lalu menghapusnya sebelum akhirnya meletakkan ponsel kembali ke meja dengan kasar.
“Kenapa aku harus nanya kabar ke perempuan yang pulang ke tunangannya?” gumamnya sendiri, nada suaranya kesal tapi terdengar getir.
Slavko berjalan ke balkon, menyalakan sebatang rokok. Ia menyandarkan punggung ke dinding, menatap langit yang begitu cerah tapi tak mampu mengusir awan gelap di pikirannya.
Ia bukan pria yang suka menunggu. Tapi untuk Gisha, ia menunggu. Menunggu kabar, menunggu kepastian, menunggu saat di mana Gisha akhirnya berhenti membagi hatinya.
Dan siang itu, meski dikelilingi suara klakson jalanan dan panas matahari yang menyengat, Slavko tahu: hari itu akan berjalan panjang... dan sepi.
