Pustaka
Bahasa Indonesia

Godaan Cinta Terlarang

80.0K · Ongoing
Ayu Andita
69
Bab
215
View
9.0
Rating

Ringkasan

Dia tunangan sahabatku. Tapi hatiku tak peduli. Gisha Delia Arsyana selalu percaya pada cinta yang sederhana—hangat, setia, dan pasti. Tunangannya adalah pria yang baik, stabil, dan mencintainya sepenuh hati. Tapi semua keyakinannya mulai runtuh saat ia bertemu Slavko Gerrald Dominick—sahabat sang tunangan yang penuh pesona, dingin, dan tak seharusnya mengguncang dunia Gisha sedalam itu. Slavko tak pernah berniat merebut apapun dari sahabatnya. Tapi saat Gisha hadir, dengan luka yang tersembunyi di balik senyumnya, batas antara moral dan keinginan perlahan kabur. "Aku tahu ini salah, Gisha. Tapi kenapa kamu satu-satunya yang bisa membuatku lupa pada dunia?" Cinta mereka adalah larangan. Tapi bisakah hati benar-benar memilih untuk berhenti?

RomansaPresdirBillionairePerselingkuhanOne-night StandPengkhianatanPernikahanTuan MudaTersesat/ObsesifModern

Bab 1 Salah Rasa

"Gisha, kamu yakin tetap mau menikah tahun ini?" tanya Vina sambil menyeruput kopi hangatnya.

Gisha menatap Vina, lalu mengangguk pelan. "Yakin sih... tapi tetap saja, rasanya seperti ada yang kurang."

"Apa maksudnya kurang? Kamu ragu sama Reza?"

"Bukan ragu. Reza baik, perhatian, selalu ada. Tapi akhir-akhir ini, semua terasa... hambar. Kayak rutinitas, bukan hubungan."

Vina meletakkan gelas kopinya. "Itu bukan hal kecil, Gish. Menikah dengan orang yang membuatmu merasa datar bisa jadi masalah besar nanti."

"Aku tahu. Tapi menikah juga bukan cuma soal getaran cinta. Reza orang yang stabil, dan keluargaku juga suka dia."

"Apa kamu bahagia?"

Gisha diam sejenak. "Entahlah. Aku nyaman. Tapi bukan berarti selalu bahagia."

Ponsel Gisha bergetar. Sebuah pesan masuk.

Slavko Gerrald Dominick

“Aku di depan. Cepat turun.”

"Vina, aku pulang dulu."

"Naik apa? Taksi?"

"Slavko jemput."

Vina langsung menaikkan alis. "Slavko? Sahabatnya Reza yang ekspresinya selalu kayak baru kehilangan uang miliaran itu?"

Gisha tersenyum tipis. "Sebenarnya dia tidak sejudes itu. Cuma memang tidak suka basa-basi."

"Justru yang kayak gitu lebih berbahaya. Pendiam, tapi kalau sudah bicara, langsung kena."

Gisha hanya mengangkat bahu dan meraih tasnya. Ia melangkah keluar, dan seperti pesan di ponselnya, mobil hitam Slavko sudah terparkir. Pria itu berdiri santai di samping pintu, mengenakan kemeja hitam yang digulung rapi di bagian lengan.

"Kenapa lama banget?" tanya Slavko begitu Gisha mendekat.

"Tadi ngobrol sebentar sama Vina. Kaget juga kamu beneran jemput."

"Reza masih di kantor, katanya kamu capek. Dia minta aku antar kamu pulang."

Gisha masuk ke mobil dan mengenakan sabuk pengaman. Perjalanan dimulai dengan sunyi. Tidak ada percakapan, hanya suara mesin dan AC.

"Kamu sudah lama bersahabat sama Reza, ya?" tanya Gisha akhirnya.

"Sejak kuliah. Kami dulu satu kos."

"Kenapa kamu jarang cerita soal masa lalu kalian?"

"Karena tidak semua hal layak diceritakan."

"Itu termasuk masa lalu kamu?"

Slavko melirik sekilas. "Termasuk. Aku bukan tipe pria baik seperti Reza. Jadi wajar kalau masa lalu kami beda jauh."

Gisha memutar kepala menatap jendela. "Tapi kamu tidak seburuk yang kamu bilang."

"Aku bisa lebih buruk dari yang kamu pikir."

Gisha terdiam. Tapi ia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela.

"Reza pilihan yang tepat buat kamu, Gisha."

"Aku tidak pernah bilang aku sedang memilih."

Lampu merah menyala. Mobil berhenti. Slavko menarik napas pelan.

"Kalau kamu bukan tunangannya, mungkin aku tidak akan sedingin ini."

Gisha menoleh cepat. "Apa maksudmu?"

Slavko tidak menatap balik. "Aku tidak berniat merusak hubungan orang. Tapi kamu bukan perempuan biasa, Gisha. Setiap kali kamu bicara, rasanya semua hal di sekitarku jadi... kacau."

Gisha menunduk. Tangannya menggenggam tas di pangkuan.

"Aku tahu ini salah," bisik Slavko. "Tapi apa kamu benar-benar tidak merasakannya juga?"

Gisha tidak menjawab.

Mobil melaju lagi. Suasana kembali hening sampai mobil berhenti di depan apartemen.

Sebelum Gisha membuka pintu, Slavko berkata pelan, "Kalau kamu anggap semua ini salah, bilang saja 'berhenti'. Tapi kalau kamu diam, aku akan tetap di sini. Dekat."

Gisha menatapnya sesaat. Tapi tetap diam, lalu turun tanpa sepatah kata pun.

Slavko menatap pintu apartemen yang tertutup. Tidak ada senyum. Tapi matanya tidak lagi sedingin tadi.

Sudah tiga hari sejak kejadian itu. Gisha berusaha bersikap biasa setiap kali bertemu Reza, seolah tidak ada yang berubah. Tapi di dalam kepalanya, suara Slavko terus terulang.

"Kalau kamu diam, aku akan tetap di sini. Dekat."

Dan memang benar. Slavko tetap ada. Tiga hari ini, selalu muncul—mengantar, menjemput, bahkan kadang hanya untuk memastikan Gisha makan siang.

“Bukan aku yang minta dia datang,” ujar Gisha di depan kaca, berbisik pada bayangannya sendiri.

Suara bel pintu membuatnya tersentak. Gisha berjalan cepat ke pintu apartemen, dan saat dibuka, seperti sudah bisa ditebak.

"Slavko?" tanyanya pelan.

"Aku enggak akan lama," kata Slavko tanpa basa-basi. Ia berdiri dengan satu kantong plastik berisi makanan.

"Aku sudah makan."

"Aku tahu. Tapi kamu sering bohong soal itu."

Gisha membuka pintu lebih lebar. “Masuklah.”

Slavko melangkah masuk. Aroma makanan cepat saji langsung memenuhi ruangan. Ia meletakkan plastik di meja makan, lalu duduk santai.

“Reza masih di kantor?” tanyanya.

Gisha mengangguk. “Kamu sudah tahu jawabannya.”

Slavko tidak langsung bicara. Ia membuka satu kotak makanan dan mendorongnya ke arah Gisha. “Makan saja. Aku enggak akan tanya macam-macam.”

Gisha mengambil satu sendok. Diam-diam, ia memang lapar.

“Kenapa kamu terus datang?” tanya Gisha tiba-tiba.

“Karena Reza memintaku.”

“Kamu tahu itu bukan alasan sebenarnya.”

Slavko menatapnya lekat. “Karena kamu membiarkanku.”

Gisha menelan ludah. “Kamu sahabat tunanganku. Ini tidak masuk akal.”

“Tapi kamu juga tidak menyuruhku pergi.”

“Aku masih mencoba waras.”

Slavko berdiri. Ia berjalan mendekat, berdiri tepat di samping kursi Gisha. “Aku juga. Tapi tiap kali lihat kamu sendirian, aku nggak bisa pura-pura enggak peduli.”

Gisha mendongak. Tatapan mata mereka bertemu. Tegang. Sunyi.

“Ini bisa merusak segalanya, Slavko.”

“Kalau memang semua ini tidak pantas, bilang sekarang. Aku akan pergi. Tapi kalau kamu diam—”

“Jangan pakai kalimat itu lagi,” potong Gisha cepat.

Slavko tertawa kecil. “Berarti kamu ingat.”

Gisha berdiri. Suaranya mulai tinggi. “Bukan soal ingat atau tidak. Tapi kamu makin keterlaluan. Seharusnya kamu jaga jarak.”

“Aku mencoba. Tapi kamu yang membuka pintu.”

Gisha terdiam.

Slavko mendekat beberapa langkah lagi. “Aku tahu aku salah. Tapi aku tidak bisa pura-pura enggak merasa apa-apa.”

Gisha menatap ke lantai. Tangannya mengepal. “Aku akan menikah. Dua bulan lagi.”

“Masih ada waktu untuk jujur sama diri sendiri.”

“Jujur? Atau egois?”

Slavko memandangnya dengan tenang. “Kamu putuskan sendiri.”

Setelah itu, ia mengambil jaketnya dan berjalan ke pintu. Sebelum pergi, ia menoleh.

“Aku enggak akan paksa kamu. Tapi jangan anggap aku cuma main-main.”

Begitu pintu tertutup, Gisha duduk kembali. Nafasnya berat. Ia menatap makanan yang sudah dingin di meja.

Pikirannya kacau.

Dan untuk pertama kalinya, ia takut pada pilihannya sendiri.

Baik, ini lanjutan langsungnya tanpa bab, tetap dengan dialog dominan dan suasana yang makin rumit:

---

Ponsel Gisha berbunyi. Nama Reza muncul di layar. Ia menjawab dengan cepat, berusaha mengatur nada suaranya agar terdengar normal.

“Halo?”

“Kamu di rumah?”

“Iya.”

“Aku otw. Ada yang mau aku bawain?”

“Enggak. Tadi Slavko sempat mampir, bawain makanan.”

Hening sebentar di seberang sana.

“Slavko ke sana lagi?”

“Iya. Katanya kamu minta dia ngecek aku.”

Reza menghela napas. “Aku minta dia antar kamu pulang kemarin. Bukan mampir terus tiap hari.”

Gisha menggigit bibir. “Aku juga nggak minta dia datang. Dia cuma muncul tiba-tiba.”

“Dan kamu biarkan?”

“Reza, kamu kenapa nadanya kayak nuduh?”

“Aku nggak nuduh. Aku cuma... ngerasa ada yang berubah.”

Gisha terdiam. Reza melanjutkan.

“Dulu kamu selalu cerita semuanya. Sekarang banyak hal yang kamu simpan. Kamu kelihatan bingung, Gish.”

“Aku capek. Itu aja.”

“Aku tahu kamu capek. Tapi aku butuh tahu, kamu masih mau jalanin ini, kan?”

“Reza... jangan ngomong kayak gitu.”

“Aku serius. Kalau kamu mulai ngerasa ragu, tolong bilang dari sekarang.”

Gisha menarik napas panjang. “Aku butuh waktu. Buat mikir, bukan buat pergi.”

“Oke,” jawab Reza. “Aku nggak akan maksa. Aku cuma minta satu hal.”

“Apa?”

“Jangan biarkan orang lain ngisi ruang yang seharusnya buat aku.”

Setelah telepon ditutup, Gisha terduduk di sofa. Ia merasa bersalah, tapi juga marah pada dirinya sendiri. Kenapa semua jadi rumit begini?

Malam harinya, Slavko mengirim pesan.

“Aku nggak akan datang kalau kamu nggak mau. Tapi kalau kamu butuh aku, kamu tahu harus hubungi siapa.”

Gisha tidak membalas.

Tapi ia juga tidak menghapus pesannya.

Keesokan paginya, saat Gisha membuka pintu untuk berangkat kerja, ia terkejut. Slavko berdiri di sana. Lagi.

“Kamu gila?” tanya Gisha dengan suara pelan tapi tajam.

“Tenang aja. Aku cuma lewat. Mau kasih ini,” katanya sambil menyerahkan jaket Gisha yang pernah tertinggal di mobilnya.

“Kamu bisa tinggalin di lobi.”

“Aku tahu. Tapi aku pengen lihat kamu langsung.”

Gisha menahan napas. “Kenapa kamu ngelakuin ini?”

Slavko menatap matanya. “Karena aku sadar satu hal.”

“Apa?”

“Aku datang buat temani kamu karena diminta Reza. Tapi sekarang, aku datang karena aku ingin sendiri.”

Gisha menggeleng. “Kamu harus berhenti.”

“Kamu yakin mau aku berhenti?”

Gisha tidak menjawab. Lagi-lagi.

Dan seperti sebelumnya, Slavko mengerti diamnya itu bukan jawaban yang menolak.