Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Momen Slavko dan Gisha 21+

Gisha duduk di sebuah café kecil sore itu. Reza datang dengan ekspresi penuh harap. Ia tak banyak bicara, hanya menatap Gisha seolah sedang melihat peluang terakhir dalam hidupnya.

“Aku... mikir ulang semuanya,” ucap Gisha pelan. “Aku capek terus bermusuhan. Capek takut, capek marah.”

Reza langsung menegakkan badan. “Jadi maksud kamu...”

“Aku mau coba kasih kesempatan lagi,” lanjut Gisha. “Tapi pelan-pelan. Kita mulai dari awal. Nggak langsung serius.”

Wajah Reza seketika berubah. Matanya berbinar. “Gisha, kamu nggak tahu betapa aku nunggu ini. Aku janji, aku akan buktiin aku berubah. Serius. Nggak akan ngecewain kamu lagi.”

Gisha hanya mengangguk. “Mulai sekarang, jangan ganggu pekerjaanku lagi. Jangan kirim hadiah ke kantor. Jangan ganggu temanku. Kita ketemu cuma kalau aku bilang ya.”

“Oke. Oke. Apa aja. Asal kamu nggak pergi lagi.”

---

Malamnya, di apartemen Slavko, Gisha membuka pintu dengan tenang. Lelaki itu sudah duduk di sofa, tangan kiri memegang gelas anggur, mata menatap tajam.

“Jadi kamu balik lagi ke dia,” kata Slavko tanpa basa-basi.

Gisha menghela napas dan melepas jaketnya. “Aku balik bukan karena cinta. Tapi karena aku tahu cara paling ampuh jatuhin dia…”

Slavko memicingkan mata. “Dengan pura-pura jadi miliknya?”

Gisha mendekat, duduk di sebelahnya. “Dia pikir aku pasrah. Tapi sekarang aku tahu, semua yang dia lakuin bisa dijadikan bukti. Aku bisa kumpulin dari dekat. Ngorek semua yang dia sembunyiin.”

“Dan aku?”

Gisha menatapnya. “Kamu tetap bagian dari hidup aku. Tapi harus diem. Harus sabar.”

Slavko mendekat. “Dan kamu pikir aku bisa sabar tiap malam kamu pergi sama dia? Berpura-pura mencintai dia?”

“Aku nggak mencintai dia,” balas Gisha cepat. “Aku cuma… pakai dia. Sama seperti dia pernah pakai aku.”

Slavko menggenggam leher Gisha pelan, mendekatkan wajah mereka.

“Aku nggak suka berbagi, Gisha.”

Gisha menatap mata Slavko. “Aku bukan buat dibagi. Tapi aku juga bukan milik siapa pun.”

Dan malam itu, lagi-lagi, mereka melebur dalam kebisuan. Hubungan mereka tak punya nama. Tapi intens, gelap, dan saling butuh.

---

Beberapa hari kemudian…

Reza dan Gisha terlihat makan malam bersama di sebuah restoran mewah. Banyak mata memandang. Banyak gosip bermunculan. Tapi Reza bangga. Ia merasa berhasil merebut Gisha kembali.

“Orang-orang sekarang tahu kita bareng lagi,” kata Reza sambil menyentuh tangan Gisha di meja.

“Bagus,” jawab Gisha sambil tersenyum tipis. “Biar mereka tahu siapa yang kamu pilih, dan siapa yang harusnya takut.”

Reza tertawa, tak paham maksud kalimat itu.

Tapi Gisha… menyimpan semuanya rapi di ponsel, di ingatan, di balik senyum palsunya.

Dan malamnya, setelah Reza mengantarnya pulang dan mencium keningnya penuh bangga—Gisha menunggu beberapa jam, lalu mengambil tas kecilnya dan keluar lewat pintu belakang.

Menuju tempat yang sudah ia hafal betul.

Menuju pelukan pria yang diam-diam mulai ia cintai… dengan cara yang jauh berbeda.

---

Hujan turun deras malam itu. Jendela apartemen Slavko dipenuhi embun, lampu kota terlihat samar dari lantai dua belas. Gisha berdiri di balik kaca, memeluk tubuhnya sendiri sambil memandangi langit yang gelap.

Slavko mendekat tanpa suara. Ia berdiri di belakangnya, hanya berjarak satu langkah. Hening.

“Kamu gemetar,” katanya pelan.

“Aku capek,” bisik Gisha. “Pura-pura tersenyum ke Reza, menahan jijik setiap dia menyentuh tangan aku, mendengar janji-janji yang bahkan dia sendiri nggak percaya.”

Slavko menyentuh bahu Gisha. Hangat. Pelan. “Kamu nggak harus kuat sendiri.”

Gisha membalik tubuhnya perlahan. Menatap mata Slavko. Dalam. Tajam. Tapi penuh pengertian. Tatapan seseorang yang tahu luka-luka lama tanpa harus diucap.

“Aku cuma tenang kalau sama kamu,” lirih Gisha. “Di sisimu, aku bisa bernapas.”

Slavko menggenggam wajahnya. Ibu jarinya menyentuh pipi Gisha yang dingin.

“Aku akan jagain kamu. Biar dunia tahu kamu bukan milik siapa-siapa. Tapi kamu... pulang ke aku.”

Tak ada kalimat lain. Hanya gerakan pelan yang mempertemukan bibir mereka. Awalnya hati-hati, tapi cepat berubah dalam. Penuh perasaan. Seperti mereka menumpahkan semua emosi yang tertahan terlalu lama.

Ciuman itu berubah jadi pelukan. Napas mereka saling beradu. Langkah kaki bergeser menuju kamar, tanpa perlu bicara.

Saat tubuh mereka menyatu di atas ranjang, tak ada lagi keraguan. Hanya kehangatan dan kepercayaan. Di balik semua konflik dan rahasia, hanya di pelukan Slavko Gisha merasa dirinya dihargai… tanpa syarat.

Malam itu tak butuh kata-kata. Hanya desahan pelan dan bisikan yang tak terucap. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama... Gisha tidur dalam keadaan damai.

Pagi itu matahari belum sepenuhnya muncul, tapi sinar oranye sudah menyelinap lembut melalui celah tirai jendela kamar. Ruangan masih sunyi, hanya terdengar suara detik jam dan napas tenang dari dua tubuh yang terbaring.

Slavko membuka mata perlahan. Ia tidak langsung bangun. Matanya langsung jatuh pada wajah Gisha yang tertidur di sebelahnya, sebagian tubuhnya terbalut selimut putih, rambutnya berantakan menutupi sebagian pipi.

Ia tersenyum kecil.

Pelan, ia mendekat. Mencium kening Gisha dengan lembut. Lalu turun ke pelipis, pipi, dan hidung. Gisha menggeliat kecil, masih setengah sadar.

“Hmm…” gumamnya pelan, matanya belum sepenuhnya terbuka.

Slavko terkekeh ringan. “Pagi.”

“Pagi,” jawab Gisha tanpa membuka mata. Ia menarik selimut lebih tinggi menutupi dada, hanya menyisakan bahunya yang telanjang.

Slavko menarik tubuhnya mendekat. Tangannya melingkari pinggang Gisha yang hangat. Ia kembali mengecup bahu perempuan itu. “Kalau setiap pagi seperti ini, aku nggak akan pernah mau bangun.”

Gisha membuka mata sedikit dan menatapnya sambil tersenyum lelah. “Kamu mulai manis pagi-pagi, itu tanda bahaya.”

Slavko mencium bibirnya sekali, singkat tapi dalam. “Bukan bahaya. Ini bentuk syukur.”

Gisha terkekeh pelan dan menyandarkan kepala di dada Slavko. Mereka kembali diam, hanya mendengarkan suara jantung satu sama lain.

Tak ada rencana terburu-buru hari ini. Tak ada ancaman, tak ada ketakutan—setidaknya untuk beberapa saat. Yang ada hanya pagi yang damai, selimut yang hangat, dan dua orang yang mencoba bersembunyi sejenak dari dunia.

Uap hangat memenuhi kamar mandi saat air mulai mengalir dari shower. Slavko menarik Gisha pelan ke dalam bilik kaca, tangan kirinya masih menggenggam jari-jari perempuan itu seolah tak mau melepaskan.

Langkah Gisha ragu sejenak, tapi tatapan Slavko tenang. Tak ada paksaan. Hanya kebersamaan yang sudah mereka bagi sejak malam sebelumnya.

Air hangat membasahi rambut mereka. Gisha berdiri di bawah pancuran, membiarkan air menyapu sisa kantuknya. Slavko mendekat, mengambil sabun cair dan menyapukannya ke bahu Gisha dengan gerakan perlahan.

“Kamu kelihatan lebih tenang pagi ini,” gumam Slavko sambil menyeka busa di kulitnya.

“Aku rasa... aku butuh momen seperti ini. Yang nggak ribut, nggak ada tekanan,” balas Gisha, matanya terpejam menikmati sensasi air dan sentuhan lembut di punggungnya.

Slavko berdiri di belakangnya, membiarkan dahi mereka bersentuhan saat Gisha bersandar ke dadanya. Tangan mereka saling mencari, bukan dengan tergesa, tapi seperti dua orang yang menemukan tempat paling aman.

Beberapa detik kemudian, keduanya saling menatap dalam diam. Air terus mengalir, mengisi keheningan dengan ritme lembut yang menenangkan.

Gisha mengusap wajah Slavko pelan. “Kamu nggak pernah nanya aku nyesel atau nggak.”

“Aku tahu jawabannya dari cara kamu lihat aku,” balas Slavko tenang.

Keduanya tertawa kecil. Tak ada janji. Tak ada definisi hubungan. Hanya momen singkat di bawah air hangat, ketika dua hati yang lelah bisa beristirahat—tanpa gangguan dari dunia luar.

Mereka berdiri lama di sana. Kadang bicara pelan, kadang hanya saling diam sambil menikmati detik-detik keintiman yang sederhana, tapi berarti.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel