Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Rencana Slavko selanjutnya

Sore mulai merayap perlahan saat ponsel Slavko akhirnya bergetar di atas meja. Bukan notifikasi kerja. Bukan dari siapa pun—tapi dari Gisha.

“Aku butuh ketemu. Tapi nggak bisa lama.”

Hanya itu. Singkat, tanpa penjelasan. Tapi cukup membuat Slavko langsung berdiri, mengambil kunci mobil, dan berjalan keluar apartemen tanpa pikir panjang.

Setengah jam kemudian, mereka bertemu di parkiran basement sebuah pusat perbelanjaan. Tempat yang jauh dari perhatian. Aman, tapi sempit untuk kata-kata yang belum sempat diucapkan sejak pagi.

Gisha duduk di kursi penumpang mobil Slavko, memakai jaket jeans dan masker, rambutnya digerai menutupi sebagian wajah. Matanya sembab, tapi tatapannya tetap tenang.

“Kamu kenapa?” tanya Slavko pelan, menyandarkan tubuhnya ke setir.

Gisha diam sejenak. Lalu menoleh. “Reza mulai curiga.”

Slavko menegang. “Karena kamu pergi semalam?”

Gisha mengangguk. “Dia tanya-tanya terus. Bahkan nanya lokasi temanku. Aku bilang cuma pengen sendiri. Tapi dia mulai ngecek pesan-pesan di HP-ku.”

Slavko menatap lurus ke depan. “Jadi sekarang kamu takut ketahuan?”

“Bukan takut,” ucap Gisha cepat. “Aku cuma... belum siap. Aku juga bingung.”

Slavko tersenyum miring. “Tiap kali kamu ngomong ‘bingung’, yang terluka aku.”

Gisha menarik napas dalam. “Aku nggak ke sini buat debat. Aku cuma pengen bilang kalau untuk sementara, aku harus jaga jarak dulu. Setidaknya sampai semuanya tenang.”

“Jaga jarak?” Slavko menoleh, suaranya rendah. “Setelah semua yang terjadi antara kita?”

Gisha menunduk. “Aku tahu ini nggak adil. Tapi aku juga nggak bisa ninggalin semua ini begitu aja.”

Slavko menatapnya lama. Matanya tajam, tapi tak ada amarah. Hanya luka yang sulit dibungkam.

“Kalau kamu balik lagi ke dia, berarti kamu memang nggak pernah milih aku dari awal.”

“Aku nggak balik ke siapa-siapa,” ucap Gisha tegas. “Aku cuma lagi bertahan di tempat yang sekarang, sambil cari jalan keluar. Aku belum kuat ninggalin semuanya. Tapi itu bukan berarti aku milik Reza sepenuhnya.”

Sunyi. Suara kendaraan di luar hanya samar terdengar.

Akhirnya, Slavko mengangguk pelan. “Oke. Kalau itu yang kamu mau. Tapi aku nggak akan pura-pura nggak peduli. Kalau kamu butuh tempat untuk berhenti lari… kamu tahu aku di mana.”

Gisha menoleh, menatap mata lelaki itu. Ada rasa bersalah. Ada keinginan untuk tetap tinggal. Tapi waktu berjalan, dan situasi memaksa mereka untuk saling menahan diri.

“Aku cuma butuh waktu. Jangan benci aku,” bisiknya.

Slavko menoleh kembali ke depan. “Aku nggak bisa benci kamu, Gisha. Itu masalahnya.”

Dan sore itu, tanpa pelukan, tanpa sentuhan, mereka berpisah dalam diam. Masih saling ingin, tapi tak tahu kapan bisa benar-benar saling memiliki.

Slavko memandangi punggung Gisha yang menjauh dari mobilnya. Langkah perempuan itu cepat, seperti ingin segera menyingkir dari godaan. Tapi Slavko tahu, Gisha masih menyimpan sesuatu untuknya—kalau tidak, dia tak akan repot-repot datang sore ini.

Slavko menyalakan mesin mobil. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, matanya menatap lurus, tapi pikirannya kacau.

Ia merasa seperti sedang menahan sesuatu yang bisa meledak kapan saja. Gisha bilang dia hanya butuh waktu. Tapi waktu seperti apa? Sehari? Seminggu? Sampai Reza benar-benar menang?

Mobil melaju pelan meninggalkan basement, naik ke jalan utama. Di radio, lagu pop lokal mengalun pelan, tapi Slavko tak benar-benar mendengarnya. Ia membuka kaca jendela, membiarkan angin masuk, mencoba menetralisir isi kepalanya yang gaduh.

Saat berhenti di lampu merah, ia menoleh ke sisi kiri, melihat seorang perempuan menyebrangi jalan sambil menggandeng anak kecil. Wajahnya lelah, tapi matanya penuh tekad. Pemandangan sederhana, tapi cukup menampar kesadarannya.

Dia, Slavko Gerrald Dominick, pria dengan posisi kuat dan segala kelebihan—ternyata bisa juga dibuat gelisah oleh seorang perempuan yang tak bisa ia miliki sepenuhnya.

Setibanya di apartemen, Slavko langsung menuju dapur, menuang air dingin, dan meminumnya dalam sekali teguk. Ia lalu duduk, membuka laptop yang tadi ditinggal begitu saja. Tapi pikirannya belum bisa fokus ke kerjaan.

Akhirnya ia membuka folder tersembunyi di laptopnya. Di sana, ada puluhan foto Gisha—beberapa candid, beberapa selfie yang dikirim diam-diam. Ia klik satu per satu, menatap setiap ekspresi Gisha dengan tenang, tapi juga marah.

“Kalau memang kamu nggak bisa ninggalin dia,” bisiknya pelan, “kenapa kamu biarkan aku berharap sejauh ini?”

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Bukan dari Gisha. Tapi dari seseorang yang tak asing lagi: Serena.

Slavko menatap nama itu. Mendadak pikirannya beralih. Ia mengingat sesuatu—rencana yang belum selesai.

Ia mengangkat telepon.

“Halo?”

“Slavko, kamu janji bantu aku urus masalah Reza, kan? Dia masih belum mau tanggung jawab penuh. Aku capek main petak umpet terus.”

Suara Serena terdengar tegas, meski agak panik.

Slavko menyeringai kecil.

“Tenang, Serena. Justru ini saatnya kita main langkah berikutnya. Kamu masih simpan semua bukti soal kehamilan itu, kan?”

“Ada semua. Lengkap. Kamu mau aku lakuin apa?”

Slavko berdiri, menatap keluar jendela apartemennya.

“Kita akan buat Reza nggak bisa lari lagi. Dan Gisha… akan tahu, siapa yang sebenarnya dia pertahankan selama ini.”

Nada suaranya dingin. Matanya tajam.

Cinta boleh rumit. Tapi permainan ini belum selesai.

Senja mulai turun saat Slavko duduk di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja. Telepon Serena masih tersambung di telinga.

“Kita ganti rencana,” ucap Slavko tenang, meskipun nada suaranya terdengar penuh perhitungan.

“Ganti? Maksud kamu gimana?” tanya Serena dari seberang sana, terdengar tak sabar. “Kamu janji akan bantu bongkar semuanya biar Gisha tahu siapa Reza sebenarnya.”

“Aku tetap akan lakukan itu,” jawab Slavko, menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. “Tapi bukan dengan cara frontal. Bukan sekarang. Kalau kamu langsung muncul dan meledakkan semuanya, Gisha bisa saja balik membela Reza. Apalagi kalau Reza berhasil memutarbalikkan keadaan.”

Serena diam. Lalu, dengan suara lebih pelan, ia bertanya, “Lalu kamu maunya gimana?”

Slavko menatap monitor laptopnya yang masih menampilkan foto-foto Gisha. Tatapannya mengeras.

“Aku butuh kamu pura-pura nurut dulu. Jangan cari masalah. Jangan kontak dia dulu. Kita mainkan ini pelan-pelan.”

Serena terdengar tak yakin. “Aku nggak ngerti.”

“Gampangnya begini,” Slavko melanjutkan, “aku ingin Gisha sendiri yang membuka mata. Kalau dia lihat sendiri bukti-bukti kelakuan Reza—dari sumber lain, dari keadaan yang tak bisa disangkal—baru dia akan benar-benar pergi. Aku butuh kamu sabar. Tunggu sampai aku siapkan semuanya.”

Serena mendesah. “Dan selama itu, aku harus pura-pura diem?”

“Ya. Tapi bukan pasif. Aku akan kirim kamu ke satu tempat. Ada jurnalis yang biasa main belakang. Kita kerja sama. Biar kasus kamu masuk media, tapi bukan kamu yang nyebar. Kita bikin jejak digitalnya kuat.”

Serena terdiam beberapa saat, lalu berkata, “Kamu yakin ini akan berhasil?”

Slavko menyeringai kecil. “Yakin. Reza nggak akan bisa lari ke mana-mana. Dan Gisha… dia akan datang padaku, bukan karena digoda, tapi karena dia sadar sendiri siapa yang pantas dia pilih.”

“Aku ikut kalau kamu yang atur,” kata Serena akhirnya.

Slavko mengangguk meski tahu Serena tak bisa melihat. “Bagus. Siapkan dokumenmu. Besok pagi asistanku akan hubungi kamu.”

Begitu sambungan telepon ditutup, Slavko bersandar lebih dalam ke kursinya. Matanya tajam menatap layar laptop yang menampilkan foto Gisha tersenyum.

Kali ini, ia tidak akan sekadar jadi pelarian.

Ia akan jadi tempat Gisha pulang. Setelah semua kebohongan Reza terbongkar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel