Bab 3 Slavko dan Gisha
Tiga minggu setelah kejadian memalukan itu, Gisha mulai bekerja kembali di sebuah agensi kreatif milik temannya. Ia mencoba hidup normal. Bangun pagi, kerja, pulang, tidur. Tapi hampir setiap hari, ada satu hal yang mengganggunya.
Pesan dari Reza.
> “Aku tunggu di depan kantor.” “Kita bisa bicara sebentar aja?” “Aku nggak bisa kehilangan kamu, Gish.”
Mulai dari pesan, kemudian bunga, lalu makanan, bahkan sampai kiriman hadiah ke kantor. Semua karyawan mulai curiga. Mereka mulai bertanya, dan Gisha hanya menjawab singkat, “Orang yang belum paham batas.”
Sore itu, saat Gisha baru saja keluar dari kantor menuju tempat parkir, Reza sudah berdiri di sana. Lagi. Dengan jas yang terlalu rapi dan senyum yang terlalu dipaksakan.
“Gisha—sebentar aja.”
Gisha langsung menghentikan langkahnya. “Kamu mau apa lagi sih?”
“Dengar, aku cuma mau antar kamu pulang. Kita ngobrol sambil jalan. Aku nggak akan maksa.”
“Ngobrol tentang apa? Tentang betapa kamu tetap merasa jadi korban padahal kamu yang bikin semua berantakan?”
Reza melangkah mendekat. “Aku udah minta maaf. Aku juga udah kasih tunjangan buat Serena. Aku enggak akan nikah sama dia.”
“Dan kamu pikir itu bikin semuanya selesai?”
“Gish, aku belum bisa move on dari kamu.”
Gisha mencibir. “Kamu bilang ‘move on’ kayak kita baru putus dua minggu pacaran. Kita batal nikah, Reza. Karena kamu main belakang, dan sekarang kamu nempel kayak benalu.”
Wajah Reza mengeras. “Aku cuma berusaha.”
“Kamu berusaha maksa. Itu beda.” Gisha melangkah cepat ke arah mobilnya.
Reza menyusul dan sempat menarik pergelangan tangannya. “Aku sayang kamu, Gish. Kamu masih satu-satunya buat aku.”
Gisha menghentikan langkah. Menatap tangan Reza yang mencengkeramnya. Lalu pelan-pelan ia melepaskannya paksa.
“Kamu tahu nggak apa yang lebih menyeramkan dari pengkhianatan?” tanya Gisha tenang. “Obsesi. Dan kamu sekarang kayak orang nggak waras.”
Reza terdiam. Tapi matanya tak berkedip menatap Gisha.
“Kamu mau bikin aku kasihan? Mau bikin aku luluh?” lanjut Gisha. “Kamu cuma bikin aku muak.”
Mobil Slavko melintas pelan di belakang. Gisha segera masuk ke dalam mobilnya, dan Reza hanya bisa berdiri menatap.
---
Di dalam mobil, Slavko menoleh tanpa berkata-kata. Ia sudah tahu semuanya. Gisha menarik napas berat.
“Aku enggak tahan lagi, Slav. Dia enggak berhenti.”
“Kamu mau aku turun tangan?”
Gisha menatap Slavko. “Kalau dia muncul lagi… laporin aja. Aku enggak peduli reputasi dia hancur lebih dari sekarang.”
Slavko mengangguk pelan. “Oke. Mulai sekarang, aku yang jagain kamu.”
Gisha tersenyum tipis. “Bukan jagain. Temenin aja. Itu cukup.”
Mobil melaju meninggalkan area kantor.
Tapi dari kejauhan, Reza masih berdiri menatap… dan untuk pertama kalinya, wajahnya bukan terlihat sedih.
Tapi gelap. Penuh dendam.
---
Beberapa hari kemudian, Gisha duduk di ruang meeting bersama timnya. Mereka sedang mempresentasikan proposal penting untuk klien besar. Slide demi slide ditampilkan di layar. Semuanya berjalan lancar.
Sampai…
Tiba-tiba layar menampilkan gambar yang tidak pernah mereka siapkan.
Gambar Gisha dan Reza. Foto lawas. Gisha terlihat sedang tidur di mobil, kepalanya bersandar di bahu Reza. Lalu muncul satu demi satu potongan percakapan pribadi mereka—screenshots lama dari pesan mesra. Semua orang di ruangan membeku.
Manager langsung berdiri panik. “Siapa yang akses file presentasi ini?”
Gisha langsung menyambar laptop, mengganti slide ke hitam. Tapi kerusakan sudah terjadi.
Setelah rapat bubar, bos Gisha memanggilnya ke ruang kerja.
“Kamu punya masalah pribadi sama mantan, Gish?”
“Maaf, Pak. Saya enggak tahu dia bisa nyusup ke file internal kantor.”
“Kita kehilangan klien barusan. Mereka ngerasa enggak profesional.”
Suara sang bos terdengar kecewa. “Saya ngerti kamu punya urusan pribadi, tapi tolong jangan sampai bawa masuk ke lingkungan kerja.”
Gisha keluar dari ruangan dengan napas memburu. Tangannya gemetar. Ia segera menelpon seseorang.
“Slavko… dia masukin foto-foto pribadi ke presentasi kantor. Gue enggak tahu dia bisa dapat akses file internal.”
“Aku yang urus,” jawab Slavko cepat. “Kirim aku semua loginnya. Aku curiga dia pakai orang dalam atau hacker bayaran.”
Belum selesai satu masalah, malamnya Gisha mendengar ketukan pelan di jendela rumah.
Ia tinggal di rumah kontrakan kecil, satu lantai, dengan jendela menghadap ke jalan kecil yang sepi.
Ketukan pelan. Teratur. Seperti kode.
Gisha mengintip perlahan.
Bayangan pria berdiri di luar. Reza.
Ia berdiri diam. Menatap. Tak berkata apa pun. Seperti patung.
Gisha mundur. Menelpon Slavko sambil panik.
“Dia di luar. Di jendela!”
“Aku otw. Jangan buka pintu. Jangan nyalain lampu.”
Gisha mengambil tongkat kayu yang ia simpan di belakang pintu, jaga-jaga. Ketukan di jendela berpindah ke pintu.
“Gish… aku cuma mau ngomong,” suara Reza terdengar pelan dari balik pintu.
“PERGI, REZA!” bentak Gisha.
“Aku tahu kamu masih mikirin aku. Kamu pura-pura kuat, tapi kamu butuh aku.”
Gisha menahan napas. Tangannya menggenggam tongkat semakin kuat.
“Buka, Gisha. Aku cuma pengen ketemu. Satu menit aja. Satu menit aja, Gisha…”
Tiba-tiba, suara mobil berhenti di depan rumah. Pintu dibuka cepat. Slavko keluar.
“REZA! CABUT SEKARANG JUGA!” bentaknya.
Reza menoleh. Ia berdiri, menatap tajam ke arah Slavko. “Kamu pikir kamu bisa gantiin posisi gue, ya? Cuma karena dia lemah?”
Slavko mendekat dengan tatapan dingin. “Langkah kamu berikutnya masuk pasal pidana.”
Reza tersenyum miring. “Gisha milik gue. Sampai kapan pun.”
Lalu ia berbalik dan pergi perlahan, seperti orang yang percaya dirinya belum kalah.
Begitu Reza menghilang dari pandangan, Slavko masuk dan langsung menghampiri Gisha.
“Kita lapor polisi besok pagi. Sekalian pasang CCTV. Dan mulai malam ini, kamu tidur di apartemenku aja. Aman, ada satpam dan sistem keamanan penuh.”
Gisha mengangguk. Suaranya lirih. “Aku pikir dia cuma masih sayang. Tapi ternyata dia gila.”
Slavko menatap mata Gisha. Serius. Tegas.
“Kita enggak boleh kasih dia ruang lagi. Sekarang… dia musuh.”
Malam berikutnya, Gisha mulai tinggal di apartemen Slavko. Apartemen itu berada di lantai 12, dengan keamanan 24 jam dan akses lift yang menggunakan kartu khusus. Tapi meskipun tempat itu aman, Gisha tetap merasa tidak tenang.
Pagi harinya, saat ia hendak ke kantor, seorang satpam menginformasikan bahwa ada pria mencurigakan yang sempat berdiri di depan lobi semalaman, mondar-mandir, seolah menunggu seseorang.
“Ada rekaman CCTV-nya?” tanya Slavko saat mereka turun ke pos keamanan.
Satpam memutar rekaman. Terlihat jelas: Reza. Berdiri dengan hoodie abu-abu dan masker, menunduk sambil sesekali melihat ke atas gedung.
“Dia nyari kamu,” kata Slavko sambil menatap Gisha.
Gisha mengangguk pelan. “Dia benar-benar kehilangan akal.”
---
Di kantor, masalah baru muncul.
Salah satu klien tiba-tiba batal kerja sama. Alasannya: mereka menerima email anonim yang berisi foto-foto Gisha dan Reza di masa lalu, lengkap dengan narasi fitnah bahwa Gisha adalah simpanan pria beristri.
Manager memanggil Gisha ke ruangannya.
“Kamu bisa jujur sama saya, Gish? Ini bukan main-main lagi. Nama kamu tercoreng. Agensi kita juga ikut kena dampak.”
Gisha menggenggam tangan. “Saya tahu siapa yang sebarin itu. Dan saya sedang proses hukum. Saya harap kantor bisa beri saya waktu buat bereskan semuanya.”
Bosnya mengangguk, meski raut wajahnya masih khawatir.
---
Sore harinya, Gisha dan Slavko menemui pengacara.
“Ada dua jalur,” kata pengacara itu. “Pertama, kita lapor polisi atas dasar intimidasi, perusakan nama baik, dan cybercrime. Kedua, kita siapkan gugatan perdata untuk ganti rugi.”
“Lakukan dua-duanya,” tegas Slavko.
Gisha mengangguk. “Saya enggak mau dia pikir saya lemah lagi.”
---
Malam itu, Gisha sedang menyiapkan dokumen untuk bukti tambahan saat ia menyadari sesuatu. Ia mengecek notifikasi emailnya dan menemukan satu pesan aneh:
> "Kamu pikir bisa aman di balik pria lain? Aku selalu tahu kamu di mana, Gisha."
Pesan itu tidak punya nama pengirim. Tapi Gisha tahu, itu dari Reza.
Tangannya langsung gemetar. Ia tunjukkan pesan itu ke Slavko.
Slavko langsung mengambil ponsel dan menelepon seseorang. “Pastikan nomor itu dilacak. Kirim juga ke polisi.”
Gisha berdiri dan mulai berjalan bolak-balik. “Dia sewa orang. Dia punya data aku. Dia tahu di mana aku tinggal, kerja, semua...”
Slavko mendekat, menggenggam bahunya. “Kita akan selesaiin ini. Kamu nggak sendiri.”
Gisha mengangguk. Tatapannya tak lagi penuh takut.
“Aku akan lawan dia sampai akhir.”
