Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Rencana Licik Slavko

Tiga minggu kemudian, gedung hotel berbintang lima di pusat kota sudah penuh dekorasi elegan. Nuansa putih-emas mendominasi. Lighting dipasang sempurna. Semua serba modern: photobooth digital, tamu-tamu bergaun desainer, iringan live music dari orkestra profesional. Sebuah pernikahan yang jadi impian banyak orang.

Tapi bukan mimpi Gisha.

Ia duduk di ruang rias pengantin. Gaun putih bertabur kristal sudah membalut tubuhnya, rambut disanggul rapi, makeup flawless. Tapi pandangannya kosong.

“Semua sudah sesuai rencana,” ujar Mama Reza yang masuk mendadak. “Tinggal tunggu kamu keluar, Gisha.”

Gisha mengangguk pelan. “Baik, Tante.”

Satu per satu orang keluar. Tinggal Gisha sendiri. Ponselnya bergetar.

1 pesan masuk dari: Slavko

"Kalau kamu bahagia, aku enggak akan ganggu lagi. Tapi kalau ini bukan yang kamu mau, cukup angkat teleponku. Sekali aja."

Gisha memandang ponsel itu lama. Tangannya nyaris menyentuh ikon hijau, tapi seseorang masuk.

“Sayang?” Reza muncul di ambang pintu. Dasi kupu-kupunya belum terpasang sempurna.

Gisha langsung berdiri. “Kamu enggak boleh lihat pengantin sebelum acara mulai.”

“Peduli amat sama mitos,” jawab Reza datar. “Aku cuma mau pastiin kamu enggak kabur.”

Gisha menghela napas. “Kamu masih takut aku berubah pikiran?”

“Bukan takut. Cuma realistis.”

Reza mendekat. “Aku tahu kamu masih mikirin dia. Aku lihat tatapan kamu setiap kali Slavko datang ke rumah. Tapi sekarang aku minta satu hal: hadapi aku sebagai suamimu. Bukan pilihan darurat yang kamu sesali.”

“Kamu serius ngomong kayak gitu sebelum kita resmi menikah?”

“Karena aku juga manusia, Gish. Aku punya harga diri.”

Gisha menatapnya tajam. “Kalau kamu tahu aku enggak sepenuhnya yakin, kenapa kamu tetap lakuin semua ini?”

“Karena aku pengen kamu lihat, aku bisa jadi lebih dari cukup.”

Sunyi. Reza menarik napas panjang, lalu berkata lebih pelan.

“Aku tahu dia dekat. Tapi aku yang akan jadi suamimu. Aku yang akan bangun pagi di samping kamu tiap hari. Bukan dia.”

Gisha duduk kembali. “Kamu yakin ini bukan sekadar ambisi buat menang?”

“Kalau memang iya, setidaknya aku berjuang.”

Detik berikutnya, panitia masuk. “Maaf mengganggu. Lima menit lagi, Mbak Gisha harus standby untuk prosesi.”

Reza berdiri. Ia memandangi Gisha sekali lagi. “Kalau kamu tetap berdiri di altar nanti, aku anggap kamu siap. Tapi kalau enggak datang, aku enggak akan kejar. Aku akan tahu jawabannya.”

Setelah Reza pergi, Gisha kembali memandangi ponselnya. Jemarinya gemetar.

Tamu sudah berdatangan.

MC sudah siap.

Musik pengiring sudah dimainkan.

Dan semua orang menanti kedatangan satu orang.

Gisha Delia Arsyana.

Apakah dia akan keluar... atau tidak?

Di balik panggung dekorasi, Slavko berdiri bersama seorang wanita muda bergaun hitam panjang. Riasan minimalis, tapi wajahnya tegang. Ia menggenggam perutnya yang belum terlalu terlihat menonjol. Usia kandungannya sekitar tiga bulan.

“Kamu yakin siap?” tanya Slavko pelan.

Wanita itu mengangguk, meski ragu terlihat jelas. “Namaku akan hancur. Tapi dia yang mulai.”

“Kalau kamu nggak muncul sekarang, dia akan terus kelihatan bersih di depan semua orang. Termasuk Gisha.”

Wanita itu menatap ke arah pintu ballroom yang terbuka. “Serena,” Slavko mengingatkan. “Ini waktu kamu.”

Sementara itu, di dalam ballroom…

Gisha mulai berjalan diiringi musik lembut. Semua tamu berdiri. Kamera dan ponsel mengarah padanya. Reza tersenyum percaya diri di altar. Ia merasa telah memenangkan pertarungan.

Sampai seorang wanita menerobos masuk dari pintu samping.

“Berhenti!” suara Serena menggema. Suara sound system langsung dipotong oleh kru, tak ingin terjadi kekacauan. Semua orang menoleh.

Serena berjalan tegap, menatap langsung ke arah Reza.

“Aku punya alasan kenapa pernikahan ini harus dihentikan.”

Panitia berusaha menghalangi, tapi Slavko sudah di belakang mereka. Ia menunjukkan kartu identitas pers, lalu memberi kode pada Serena untuk lanjut bicara. Keadaan hening.

“Aku Serena. Mungkin nama ini asing. Tapi tidak asing buat Reza.”

Wajah Reza langsung berubah tegang. “Serena, jangan mulai—”

“Aku hamil, dan anak ini anak kamu!” bentak Serena.

Gema suaranya memukul keras semua tamu. Kamera-kamera menyorot. Mama Reza langsung berdiri kaget. Gisha, yang berdiri setengah jalan menuju altar, membeku.

Semua mata beralih dari Serena ke Reza.

Reza melangkah maju. “Dia bohong! Aku—”

“Kalau aku bohong, kenapa kamu terus bayar biaya hidupku diam-diam selama dua bulan terakhir?” Serena mengeluarkan kertas bukti transfer. “Kenapa kamu sempat bilang jangan datang ke acara ini? Kamu takut aku muncul, Reza.”

Gisha masih terpaku. Tangannya gemetar. Slavko mendekatinya perlahan.

“Kamu bisa tetap lanjut kalau mau. Tapi kamu akan menikah dengan pria yang bahkan tidak bisa jujur tentang anaknya sendiri.”

Reza berusaha menahan situasi. “Gisha, aku bisa jelaskan semuanya.”

Gisha menggeleng. “Jangan sentuh aku.”

Ia berjalan ke sisi ruangan. Para tamu mulai bergumam. Beberapa berdiri, beberapa diam mematung. Reza mengejar, tapi Gisha sudah ditarik perlahan oleh Slavko keluar dari ballroom.

Begitu pintu ditutup, Gisha jatuh terduduk.

“Selama ini dia masih main belakang. Aku enggak sebodoh itu, tapi ternyata aku terlalu percaya.”

Slavko berjongkok di hadapannya. “Sekarang kamu bebas.”

“Kenapa kamu lakukan semua ini?”

“Karena aku enggak mau kamu jadi istri dari orang yang lebih jahat dari yang kamu kira. Bukan karena aku pengen kamu milik aku. Tapi karena kamu layak tahu kenyataan.”

Gisha menatapnya. Luka dan lega tercampur jadi satu.

Sementara di dalam ballroom, pesta megah berubah jadi bencana.

Dan Serena? Ia berjalan keluar ruangan sambil menatap Reza untuk terakhir kalinya. “Selamat menikmati kehancuranmu.”

Dua hari setelah kejadian itu, nama Reza masih jadi bahan omongan di mana-mana. Media sosial penuh potongan video Serena yang menerobos pernikahan mewah. Semua undangan bicara. Semua keluarga syok. Pernikahan yang seharusnya jadi lambang cinta—jadi bahan tertawaan.

Di sebuah rumah kontrakan sederhana, Gisha duduk sendiri. Tanpa makeup, tanpa gaun putih, hanya kaos lusuh dan mata bengkak karena kurang tidur. Ia menyewa tempat itu diam-diam, tanpa memberitahu siapa pun kecuali satu orang—Slavko.

Teleponnya berdering lagi.

Nama di layar: Reza.

Gisha hanya menatap layar itu, lalu mematikan suara. Sudah puluhan kali ia abaikan.

Tak lama kemudian, pintu diketuk. Perlahan. Tak terburu-buru.

Gisha berdiri ragu. Ia membuka pintu sedikit.

Yang berdiri di sana—bukan Slavko. Tapi Reza.

Dengan kemeja kusut dan wajah yang terlihat jauh lebih kurus dibanding dua hari lalu.

“Gisha… tolong, aku cuma mau bicara.”

Gisha menatapnya tajam. “Bicara soal apa? Mau bilang semua itu salah paham?”

“Aku salah, oke? Aku enggak mau bohong lagi. Serena memang pernah dekat sama aku. Tapi—”

“Kamu menghamili dia.”

Reza terdiam.

“Kamu pikir aku akan tetap berdiri di altar sama pria yang bahkan enggak bisa jaga komitmen sebelum nikah?”

“Aku khilaf. Tapi aku tetap pilih kamu, Gisha.”

“Pilih aku?” Gisha tertawa miris. “Kamu pikir ini sayembara?”

Reza mendekat. “Aku sayang kamu.”

“Sayang enggak cukup buat bangun rumah tangga, Reza. Apalagi kalau dasarnya penuh kebohongan.”

“Slavko pasti senang kamu batal nikah, ya?”

“Jangan tarik nama orang lain. Ini tentang kamu dan aku.”

Reza menggenggam pintu. “Aku siap tanggung jawab sama Serena, tapi aku tetap pengen nikah sama kamu.”

Gisha menahan napas. Matanya mulai berkaca.

“Kamu enggak bisa punya dua hidup, Reza. Dan aku enggak akan jadi istri yang harus pura-pura bahagia di depan anak yang bukan darahku, hasil pengkhianatan kamu.”

Reza menarik napas panjang. Suaranya mulai parau.

“Jadi… ini akhir?”

Gisha menatapnya dalam-dalam. “Aku enggak tahu ini akhir atau awal. Tapi yang pasti, aku enggak akan berdiri di samping kamu lagi.”

Ia menutup pintu perlahan.

Brak.

Hening.

Di luar, Reza masih berdiri. Terdiam di depan pintu yang sudah tertutup rapat. Tak ada lagi pesta. Tak ada gaun pengantin. Tak ada Gisha.

Hanya penyesalan yang tersisa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel