Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Mulai nyaman

Setelah percakapan dengan Mira di bengkel berjalan dengan cara yang cukup biasa, setidaknya, untuk Raka. Setiap kali dia berusaha untuk mendekati Mira lebih jauh, dia merasa ada tembok yang terus dibangun di antara mereka. Mira, dengan cara yang sangat halus, selalu menjaga jarak, seolah tidak ingin memberi ruang untuk Raka lebih dalam mengenalnya. Tapi yang membuat Raka semakin penasaran adalah, seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap dinginnya itu, sesuatu yang dia tidak bisa ungkapkan.

Raka memutuskan untuk kembali ke bengkel, kali ini lebih dini, berharap bisa berbicara lebih banyak dengan Mira. Dia tidak tahu apa yang ingin dia bicarakan, hanya saja, dia merasa tidak bisa membiarkan kesempatan itu lewat begitu saja. Begitu tiba di depan bengkel, dia melihat Mira sedang mengelap bagian depan mobil tua yang ada di luar, dengan tampilan yang sama sekali tidak berubah—santai, serius, dan sepertinya sangat menikmati pekerjaannya.

Ketika Raka mendekat, Mira baru saja selesai membersihkan kaca depan mobil dan menoleh ke arah Raka dengan ekspresi yang datar.

"Lo lagi ngapain di sini?" tanya Mira, tanpa ekspresi, tapi matanya mengandung sedikit keingintahuan.

"Datang buat lihat-lihat, siapa tahu ada yang bisa gue bantu," jawab Raka dengan sedikit senyum, berharap bisa mencairkan suasana. "Jangan bilang gue nggak bisa sekedar ngobrol."

Mira meliriknya dengan nada setengah bercanda, namun tetap ada ketegangan. "Lo nggak capek, ya, sering-sering datang ke sini? Gue cuma kerja, Raka, nggak ada yang spesial."

Raka sedikit mendekat, memperhatikan bagaimana Mira bekerja dengan penuh konsentrasi, tangan-tangannya yang cekatan memegang alat-alat dengan sangat terampil. "Lo tahu, Mira, gue sering datang ke sini karena gue menikmati suasana yang lo buat. Gue nggak ngerti, setiap kali gue deketin lo, gue merasa... ada yang berbeda."

Mira menatapnya, dan untuk sesaat, ada kilasan emosi di matanya. Dia kemudian menarik napas dalam-dalam. "Lo ngomong apa sih? Gue nggak ngerti, Raka."

Raka tersenyum, merasa semakin tertarik pada dirinya. "Maksud gue, setiap kali gue liat lo kerja, gue merasa kayak ada yang... lebih dari sekadar bengkel ini. Lo bisa jadi orang yang penuh misteri, Mira. Gue cuma pengen tahu lebih banyak."

Mira menggelengkan kepala, lalu menghapus keringat di dahinya dengan lengan. "Lo masih aja nggak ngerti, ya? Gue bukan orang yang suka diomongin kayak gini, Raka. Gue cuma punya satu tujuan di hidup gue: kerja, hidup, dan nggak perlu drama."

Raka sedikit terdiam, merenung. “Tapi lo nggak pernah merasa terkekang, gitu? Selalu berusaha keras dan nggak pernah ada yang ngerti?”

Mira menatapnya tajam. "Lo mau nyuruh gue berhenti kerja keras? Lo tahu, ini yang bikin gue bisa hidup. Gue nggak butuh orang lain buat bantuin gue. Gue bisa sendiri."

Raka melihat betapa tegasnya Mira, dan untuk pertama kalinya, dia merasakan bahwa bukan hanya sikap dinginnya yang membuat Mira menarik—tapi juga keteguhan dan kekuatan dalam dirinya. Ada sesuatu di dalam diri Mira yang membuat Raka ingin tahu lebih dalam.

"Lo bukan orang yang gampang dimengerti, Mira," kata Raka, kali ini suara serius. "Tapi gue tetep penasaran. Apa lo nggak pernah mikir buat punya teman atau seseorang yang bisa bikin hidup lo lebih gampang?"

Mira terdiam sejenak, lalu dengan nada sedikit lebih lembut, ia berkata, “Lo masih belum ngerti kan? Gue nggak butuh orang buat ngebantu gue, Raka. Gue bisa hidup sendiri. Jangan pikir gue ini orang yang nggak tahu apa-apa tentang hidup.”

Raka tidak bisa menahan rasa penasaran itu. "Tapi lo juga nggak bisa terus sendiri, Mira. Semua orang butuh seseorang. Bahkan lo pun."

Mira hanya diam, lalu mengalihkan pandangannya ke mobil yang sedang diperbaikinya. "Mungkin lo benar," jawabnya pelan. "Tapi itu nggak berarti gue harus langsung percaya sama orang yang baru gue kenal."

Raka menyadari bahwa Mira, dengan semua kekuatannya, ternyata juga memiliki ketakutan. Dia tidak hanya tertutup, tetapi mungkin juga terluka oleh sesuatu yang belum dia ceritakan. Dan meski Mira berusaha keras untuk menjaga jarak, Raka bisa merasakan bahwa ada potensi untuk mereka menjadi lebih dekat, jika saja dia tahu bagaimana cara membuka hati Mira.

Saat suasana hening beberapa saat, tiba-tiba sebuah mobil masuk ke bengkel dengan kecepatan yang agak berlebihan, menimbulkan suara berdecit keras. Mobil itu tampaknya baru saja mengalami kecelakaan ringan, dan pengemudi tampak panik.

Mira langsung berdiri dan berlari ke arah mobil itu, menilai keadaan dengan cepat. Raka mengikuti dengan langkah cepat, merasa sedikit cemas dengan situasi yang tiba-tiba berubah.

"Tenang, Pak, saya akan bantu," kata Mira dengan tegas, membuka kap mesin dan segera memeriksa bagian yang rusak. "Gue bisa benerin ini, nggak usah panik."

Raka memandangi Mira yang begitu tenang dalam menghadapi situasi tersebut. Di balik sikap kerasnya, dia bisa melihat bahwa Mira adalah orang yang penuh dedikasi dan sangat kompeten dalam pekerjaannya. Tanpa ragu, dia melangkah mendekat untuk membantu, meskipun Mira lebih memilih bekerja sendiri.

"Lo masih aja ngotot buat bantuin?" Mira melirik Raka sambil tersenyum kecil, jelas merasa terganggu dengan kehadiran Raka di situasi darurat ini.

Raka tersenyum tipis, merasa bangga bisa melihat Mira dalam elemennya. "Gue cuma ingin jadi bagian dari tim lo. Jangan kira gue cuma datang buat nonton doang."

Mira hanya mengangkat bahu, meskipun ada sedikit rasa hangat di matanya. "Lo memang aneh, Raka. Tapi kalau lo terus-terusan ngikutin gue, lo bakal tahu bahwa di sini, semuanya bukan soal drama atau basa-basi."

Mereka bekerja bersama-sama, meski Raka tahu Mira masih menahan diri. Tapi di setiap percakapan kecil dan tatapan yang mereka lemparkan, dia mulai merasakan bahwa hubungan mereka mungkin akan berubah—dan bukan hanya karena dia tertarik pada Mira, tapi karena dia bisa merasakan bahwa Mira pun mulai membuka sedikit hati untuknya.

Ketika pekerjaan selesai, dan mobil itu kembali ke jalan, Raka merasa puas, meski Mira tidak mengatakan banyak kata terima kasih. Dia tahu bahwa ini hanya awal dari sebuah perjalanan panjang untuk mengenal Mira lebih dalam.

"Sampai nanti, ya?" kata Raka saat Mira kembali ke bengkel, matanya penuh dengan harapan.

Mira menatapnya tanpa berbicara, hanya mengangguk kecil. Tapi entah kenapa, kali ini, Raka merasa bahwa mungkin—hanya mungkin—Mira mulai sedikit mempercayainya.

Raka berjalan keluar dari bengkel dengan perasaan campur aduk. Satu sisi, dia merasa seperti telah mendekati Mira sedikit lebih jauh, tetapi di sisi lain, rasa cemas yang terus menghantui tidak juga hilang. Meski Mira hanya memberikan sedikit perhatian padanya, dia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang menghubungkan mereka—sesuatu yang lebih dari sekadar rasa ingin tahu Raka.

Namun, hari itu, tidak seperti biasanya, Mira tidak langsung sibuk dengan pekerjaannya begitu pengunjung pergi. Dia justru duduk di bangku kayu di sudut bengkel, memandangi langit sore dengan tatapan yang lebih kosong dari biasanya. Raka, yang baru saja keluar dari bengkel, melihat Mira yang tampaknya sedang melamun, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tanpa berpikir panjang, Raka melangkah kembali ke dalam bengkel.

“Lo kenapa?” tanya Raka, mencoba terdengar santai meski hatinya sedikit cemas. “Gue lihat lo kayak... lagi nggak enak.”

Mira menoleh ke arahnya, sedikit terkejut, namun tidak menunjukkan tanda-tanda marah. Ada kesan lelah di wajahnya, seolah sudah lama dia menyimpan sesuatu di dalam dirinya.

“Gue nggak apa-apa,” jawab Mira dengan suara pelan. “Cuma, kadang hidup ini ngebuat gue mikir, gitu. Gue di sini, kerja keras tiap hari, tapi ada saat-saat gue merasa kayak nggak maju-maju.”

Raka duduk di samping Mira, mencoba memberi ruang tanpa mengganggunya. "Lo nggak sendirian kok, Mira. Kadang semua orang butuh seseorang untuk mendengarkan."

Mira terdiam, menatap Raka dengan pandangan yang sulit diartikan. "Gue nggak pernah minta siapa pun buat ngerti gue," kata Mira pelan. "Dan gue nggak mau orang tahu kalau gue pun pernah merasakan kayak gitu."

Raka mengangguk, mencoba memahami. "Tapi itu bukan berarti lo harus terjebak sendirian. Kadang, kita butuh bantuan, Mira. Itu nggak berarti lo lemah."

Mira tertawa pelan, meskipun suaranya terdengar agak kecut. "Lo nggak tahu, kan? Dunia gue bukan dunia yang mudah. Lo bilang gue nggak lemah, tapi hidup gue tuh penuh dengan keputusan-keputusan berat. Lo pikir gue bisa minta bantuan orang lain? Nggak gampang, Raka."

Raka menatapnya, merasa ada rasa sakit yang tersembunyi dalam kata-kata Mira. Dia mencoba untuk lebih sensitif, lebih memperhatikan perasaan Mira, yang jelas tidak mudah terbuka.

"Lo pikir gue nggak tahu, Mira?" jawab Raka, lebih pelan kali ini. "Gue pernah berada di posisi lo, merasa kayak nggak ada tempat untuk berbagi. Gue tahu rasanya. Tapi lo nggak perlu merasa sendirian dalam itu."

Mira mengalihkan pandangannya, menarik napas dalam-dalam. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengalir di mata Mira—sebuah kesedihan yang tampaknya sulit dia sembunyikan. Tapi sebelum Raka bisa mengatakan lebih banyak, Mira bangkit berdiri, mengibaskan tangannya.

"Ada banyak hal yang nggak bisa lo pahami, Raka. Gue nggak mau bikin hidup gue lebih rumit lagi," katanya, suaranya kembali keras dan tegas. "Lo bisa pergi sekarang."

Raka terdiam, menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut. Dia tahu Mira sedang berjuang dengan sesuatu yang besar, tapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa memaksanya untuk membuka diri. Meskipun hati Raka ingin terus membantu, dia mengerti bahwa kadang orang seperti Mira membutuhkan waktu untuk menerima orang lain.

“Gue nggak akan paksa lo untuk cerita, Mira. Tapi ingat, lo nggak perlu nahan semua itu sendirian. Kalau lo butuh sesuatu, gue ada di sini,” kata Raka dengan tulus, lalu bangkit dan berjalan keluar dari bengkel.

Namun, begitu Raka melangkah keluar, Mira melihat ke belakang dan berkata dengan suara pelan, “Terima kasih, Raka. Cuma... jangan harap gue bakal mudah menerima bantuan, oke?”

Raka menoleh, dan kali ini dia melihat kilasan kelembutan di mata Mira—meskipun sekilas dan cepat hilang begitu saja. Raka mengangguk, sedikit tersenyum. “Gue paham. Gue nggak akan ganggu lo lagi. Tapi kalau suatu saat lo butuh seseorang, gue di sini.”

Raka melangkah pergi dengan hati yang penuh pertanyaan. Mira bukan hanya menutup dirinya dari orang lain, dia juga menyembunyikan banyak hal yang mungkin tak pernah dia ceritakan. Tapi sesuatu dalam dirinya, entah itu rasa penasaran atau keinginan untuk melindunginya, mendorong Raka untuk terus berusaha.

Setelah beberapa hari berlalu, Raka memutuskan untuk tidak langsung datang ke bengkel lagi. Dia tahu Mira butuh ruang. Tapi, beberapa hal yang terjadi dalam hidup Raka membuatnya merasa bahwa dia harus segera melakukan sesuatu, untuk membuktikan bahwa dia bisa menjadi lebih dari sekadar orang yang lewat di kehidupan Mira.

Suatu malam, Raka menerima telepon yang membuatnya terkejut. Itu adalah panggilan dari salah satu anak buahnya. Ada sesuatu yang terjadi dengan bisnis yang melibatkan kelompoknya, yang ternyata berhubungan langsung dengan bengkel tempat Mira bekerja.

“Ada masalah, bos,” suara anak buahnya terdengar panik. “Ada orang yang coba paksa bengkel itu bayar utang mereka. Mereka menekan si Mira buat bayar, dan kita harus cepat turun tangan.”

Raka terdiam, seakan semua perasaan dan ketegangan yang ia rasakan selama ini berubah menjadi sesuatu yang lebih besar. Mira... ternyata terjerat dalam masalah yang lebih besar dari yang dia kira.

Dia tahu satu hal pasti, jika Mira benar-benar dalam bahaya, dia tidak akan membiarkannya sendirian.

Dengan langkah pasti, Raka mengambil jaketnya dan memanggil pengawal untuk segera pergi ke bengkel. Kali ini, dia akan menunjukkan bahwa dia tidak hanya hadir dalam hidup Mira untuk sekadar berbicara. Dia akan melakukan apa saja untuk melindunginya.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel