Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bayang-bayang

Malam itu, Raka tidak bisa menahan kegelisahannya. Berita yang diterimanya dari anak buahnya terus terngiang di kepala. Mira—cewek yang selama ini hanya dilihatnya sebagai sosok keras kepala yang berusaha bertahan dengan cara sendiri—ternyata sedang menghadapi masalah besar. Utang yang harus dibayar, tekanan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan sepertinya, ini bukan sekadar masalah kecil.

Raka tahu, di dunia yang dia jalani, tidak ada yang bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu. Bahkan, seorang anak bengkel sepertinya tidak akan bisa terhindar dari tangan panjang bisnis gelap yang melibatkan orang-orang yang tak kenal ampun.

Dengan pengawal di belakangnya, Raka melaju menuju bengkel Mira dengan kecepatan tinggi, berpikir tentang apa yang bisa dia lakukan. Kalau ada satu hal yang dia tahu pasti, itu adalah dia tidak akan membiarkan Mira sendirian dalam masalah ini. Meski dia tidak tahu persis apa yang sedang terjadi, dia merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik semua ini—sesuatu yang bahkan Mira sendiri mungkin enggan untuk ungkapkan.

Sesampainya di bengkel, suasana agak sepi, dan lampu bengkel hanya menyisakan sedikit cahaya. Raka keluar dari mobil, menatap bengkel dengan serius. Tak lama setelah itu, seorang pria berbadan besar keluar dari dalam bengkel, menghalangi langkah Raka. Raka mengamati pria itu—tatapan matanya tajam dan gerakannya tidak menunjukkan tanda-tanda ramah.

“Lo cari siapa?” tanya pria itu dengan suara berat.

Raka tidak terkecoh. Ia mengenal tipe orang seperti ini. "Gue cari Mira. Lo harusnya tahu, kan?"

Pria itu mendengus, masih menghalangi jalan Raka. “Mira nggak ada di sini. Lo nggak perlu ikut campur urusan kami.”

Raka tersenyum dingin, tidak terpengaruh. "Gue nggak peduli urusan apa yang lo bawa, gue cuma mau pastikan kalau Mira nggak dalam bahaya. Kalau lo merasa ini urusan lo, gue sarankan lo minggir, karena lo nggak mau berurusan sama gue."

Pria itu memandang Raka sejenak, mencoba menilai situasi. Tapi akhirnya dia mengalah dan mundur sedikit. “Jangan salah paham, bro. Kita cuma ngasih tahu dia kalau ada hutang yang harus dibayar. Kalau dia nggak bisa bayar, ya, kita punya cara untuk menyelesaikannya.”

Raka merasa darahnya mendidih. "Hutang? Lo tahu siapa gue?"

Pria itu mengangkat bahu, tidak terlalu peduli. "Gue nggak peduli siapa lo. Yang penting Mira bayar, atau lo yang harus bertanggung jawab."

Raka tahu bahwa untuk saat ini, dia tidak bisa membuang waktu. "Kalau lo mau masalah, lo udah ngundang masalah. Tapi lo nggak bakal dapet apa-apa dari gue. Gue di sini cuma buat Mira."

Dia melangkah maju, dan pria itu akhirnya mundur, memberi jalan bagi Raka. Begitu langkah Raka memasuki bengkel, dia melihat Mira sedang duduk di meja kerjanya, tampak sangat kelelahan. Matanya tidak lagi tajam seperti biasa, tetapi penuh kecemasan yang sulit disembunyikan.

Melihatnya seperti itu, Raka merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kekhawatiran. Mira, yang biasanya tangguh dan bisa menghadapinya dengan kepala tegak, kini tampak rapuh. Sejenak, Raka merasakan dorongan kuat untuk melindunginya, apapun yang terjadi.

“Mira,” suara Raka berat dan penuh perhatian. “Ada apa?”

Mira menoleh dengan terkejut, seolah baru menyadari kehadiran Raka. Matanya yang semula terlihat kosong kini memancarkan keraguan, dan dia segera bangkit dari kursinya. "Raka, kenapa lo datang ke sini?" suaranya cemas, hampir terdengar panik.

“Ada apa dengan lo, Mira? Gue dengar ada masalah besar, dan gue nggak mau lo berurusan sama orang-orang itu sendirian,” kata Raka, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya berdebar. “Lo nggak perlu jawab sama mereka. Gue bisa bantu lo.”

Mira menatap Raka, kebingungannya semakin jelas. "Lo nggak tahu apa yang lo omongin, Raka. Ini bukan urusan yang bisa lo selesaikan dengan cara lo sendiri. Gue nggak bisa bikin lo terlibat lebih dalam."

"Tapi lo nggak bisa ngelakuin semuanya sendiri, Mira," kata Raka, sedikit lebih keras. “Lo harus tahu, gue nggak akan tinggal diam. Lo punya masalah ini karena lo dipaksa, kan?”

Mira hanya diam, lalu menunduk. Raka bisa merasakan kepedihan yang dia sembunyikan. Akhirnya, Mira menghela napas panjang. "Gue nggak mau lo terjebak dalam masalah gue, Raka. Gue tahu lo orang baik, tapi ini dunia yang berbeda. Lo nggak bisa bertahan di dunia gue."

Raka meraih bahunya, memaksanya untuk menatapnya. "Lo nggak sendirian, Mira. Gue bukan orang yang bakal lari dari masalah. Kalau lo butuh bantuan, gue ada di sini, dan gue nggak akan mundur."

Ada keheningan sejenak, sebelum Mira akhirnya mengangkat wajahnya. "Lo nggak ngerti. Mereka bukan orang yang bisa kita hadapi dengan mudah. Mereka punya koneksi, dan... gue nggak ingin lo jadi target mereka."

Raka menggenggam tangan Mira dengan lembut. "Gue nggak takut sama mereka, Mira. Gue punya orang-orang yang bisa bantu kita. Dan gue lebih takut kehilangan lo daripada apapun yang ada di luar sana."

Mira terpaku beberapa saat, menatap Raka dengan mata yang penuh dengan perasaan campur aduk. Ada keraguan, ada rasa takut, tapi juga rasa hangat yang muncul. Akhirnya, dia mengangguk perlahan, meski ragu.

"Lo bener, gue nggak bisa melawan ini sendirian. Gue... gue nggak tahu harus bagaimana lagi."

"Lo nggak sendirian, Mira," jawab Raka dengan keyakinan. “Sekarang, kita akan hadapi ini bersama-sama.”

Mira hanya diam, tetapi Raka bisa melihat matanya mulai lebih tenang. Mungkin, inilah titik awal mereka, ketika mereka akhirnya bisa berbicara lebih terbuka dan lebih saling memahami.

Raka menatapnya dengan serius. “Jadi, kita cari cara untuk menyelesaikan ini. Jangan khawatir, gue nggak akan biarkan mereka menguasai lo.”

Mira menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit lega. “Baiklah, Raka. Gue serahin semuanya ke lo.”

Raka mengangguk, lebih yakin dari sebelumnya. “Gue janji, Mira. Gue akan pastikan semua ini berakhir dengan baik.”

Malam itu, mereka berdua duduk bersama di bengkel, merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Meskipun banyak tantangan yang harus mereka hadapi, satu hal yang pasti: Raka takkan membiarkan Mira menghadapi semuanya sendirian. Dan untuk pertama kalinya, Mira mulai merasakan sedikit harapan bahwa mungkin, dia akhirnya bisa mempercayakan seseorang untuk berbagi beban hidupnya.

Keesokan harinya, Raka dan Mira duduk di ruang bengkel yang sunyi, membuat rencana. Di luar, matahari mulai terbenam, dan suasana itu seperti menciptakan ketegangan yang semakin mendalam. Raka bisa merasakan adanya sesuatu yang mengganggu dalam diri Mira—sesuatu yang dia simpan rapat-rapat. Tapi sekarang, mereka harus fokus pada satu hal: menyelesaikan masalah itu.

Mira duduk di atas meja kerja, masih tampak gelisah meskipun Raka berada di sisinya. "Lo benar-benar mau turun ke masalah gue ini?" tanya Mira, suaranya lebih rendah, seperti khawatir Raka tidak mengerti besarannya. “Lo harus tahu, ini bukan cuma soal utang biasa. Ada orang-orang yang nggak bisa diajak main-main di belakang semua ini.”

Raka mengangguk, tetap tenang meski di dalam hatinya muncul rasa khawatir yang besar. "Gue tahu, Mira. Gue udah cukup lama di dunia ini, dan gue nggak takut sama siapa pun. Lo udah bantu gue banyak, dan sekarang giliran gue buat bantu lo."

Mira menatapnya, ada perasaan campur aduk yang terlihat di wajahnya. "Lo pikir gampang untuk keluar dari masalah kayak gini? Mereka nggak main-main, Raka. Kalau lo terus-terusan ikut campur, gue nggak bisa jamin lo akan selamat."

Raka mengerti kekhawatiran Mira, tapi dia juga tahu, kalau tidak bertindak sekarang, dia bisa kehilangan kesempatan untuk membantu. "Gue nggak akan mundur, Mira. Kita mulai cari informasi, coba selesaikan masalah ini dari sumbernya."

Mira tampak ragu, tetapi melihat kegigihan Raka, dia akhirnya mengangguk. “Lo mungkin benar... Gue nggak punya banyak pilihan.”

Setelah beberapa hari, Raka dan Mira mulai melangkah lebih dalam ke masalah itu. Raka menggunakan koneksinya untuk mencari tahu siapa yang berada di balik utang bengkel Mira. Dan semakin lama, semakin jelas bahwa ini bukan sekadar masalah utang. Ada seseorang yang sengaja menekan Mira untuk alasan lain—mungkin untuk mengontrol bengkel, atau lebih buruk lagi, menguasai seluruh bisnis yang telah dibangun Mira.

Mira sebenarnya sudah lama mencurigai siapa yang terlibat, tapi dia terlalu takut untuk mengungkapkannya. Ada sebuah nama yang selalu disebut di dunia bawah tanah yang berhubungan dengan bisnis gelap dan mafia lokal—Anton Suryanto, seorang pengusaha yang terlibat dalam banyak urusan yang meragukan. Dan ternyata, dia juga yang menekan Mira.

"Apa lo tahu siapa Anton Suryanto?" tanya Raka, setelah dia berhasil mengumpulkan informasi dari beberapa sumber yang bisa dipercaya. "Dia itu bukan orang yang bisa lo hadapi sendirian."

Mira menatap Raka dengan serius. "Anton... dia bukan orang sembarangan. Dia punya koneksi di hampir setiap bisnis di sini. Dan lo nggak akan bisa menang kalau lo main langsung dengan dia."

Raka merasakan betapa dalamnya ketakutan yang ada di mata Mira. Tapi dia tahu, dia tidak bisa mundur sekarang. "Kita nggak harus melawan dia langsung, Mira. Gue punya cara lain. Kita bisa cari celah dan atur semuanya supaya dia nggak merasa menang begitu saja."

Mira mendengus, tampak bingung dan lelah. "Tapi dia nggak bakal berhenti. Gue udah kenal dia cukup lama, Raka. Gue udah coba negosiasi, tapi setiap kali gue buat tawaran, dia malah makin menekan gue."

Raka menatap Mira, merasa bahwa inilah saatnya untuk mengatakan sesuatu yang penting. "Lo nggak sendirian, Mira. Lo nggak perlu berjuang sendiri. Gue ada di sini, dan gue nggak akan biarkan lo menghadapi semuanya sendirian."

Mira terdiam, matanya mulai lembut, seakan baru pertama kali merasa ada seseorang yang benar-benar peduli. Tapi secepat itu juga, dia menarik napas dalam-dalam dan kembali bersikap keras. "Lo nggak paham, Raka. Lo nggak tahu apa yang akan terjadi kalau lo sampai terlibat terlalu jauh."

Raka tidak terganggu oleh sikapnya. "Biar gue yang paham, Mira. Gue udah tahu apa yang bakal gue hadapi. Lo bisa terus ngelawan sendirian, atau kita hadapi semua ini bersama."

Ada jeda panjang sebelum Mira akhirnya mengangguk, setuju untuk mengikuti langkah Raka. Mereka tahu bahwa jalan ini akan penuh bahaya, tapi satu hal yang pasti: mereka tidak akan mundur.

Hari berikutnya, Raka merencanakan pertemuan dengan Anton Suryanto. Mereka berdua tahu ini adalah langkah yang berisiko, tapi mereka tidak punya pilihan lain. Mira masih terlihat ragu, tetapi Raka berusaha meyakinkannya bahwa ini adalah kesempatan mereka untuk menyelesaikan semuanya.

Malam itu, mereka bertemu di sebuah restoran yang tidak terlalu mencolok, tempat Anton biasa berurusan dengan orang-orang. Raka masuk lebih dulu, diikuti Mira yang berjalan dengan langkah yang lebih mantap meskipun jelas masih merasa cemas.

Ketika Anton Suryanto masuk ke dalam ruangan, suasana seketika berubah. Pria itu tampak karismatik, namun tatapannya yang tajam mengingatkan Raka bahwa ini bukan orang yang bisa diperlakukan sembarangan.

"Raka, Mira," Anton menyapa mereka dengan senyum tipis, meskipun ada kesan bahwa dia tidak terlalu senang dengan kedatangan mereka. "Ada apa malam ini?"

Raka memulai percakapan dengan nada yang tidak terburu-buru, menunjukkan bahwa dia tidak takut. "Kami cuma ingin ngobrol, Anton. Tentang urusan yang nggak terlalu bagus buat semua orang."

Anton tertawa kecil, lalu duduk dengan santai di kursinya. "Lo pikir lo bisa ngatur gue, Raka? Gue nggak main-main, lo tahu itu."

Raka menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Anton tanpa ragu. "Gue nggak takut sama lo, Anton. Tapi kalau lo terus-terusan neken Mira, gue bisa pastiin lo bakal nyesel."

Mira menatap Raka dengan sedikit terkejut, tetapi dia tidak menginterupsi. Meskipun takut, dia mulai merasa sedikit tenang dengan kehadiran Raka yang terlihat begitu yakin.

Anton terdiam beberapa detik, lalu menyeringai. "Oke, Raka, kalau lo mau main keras, gue juga bisa. Tapi jangan nyalahin gue kalau semuanya jadi lebih rumit."

Raka tahu ini baru awal dari permainan besar yang akan datang, tapi dia tidak peduli. Yang penting, dia akan melindungi Mira, apapun yang terjadi.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel