Gelisah
“Kapan-kapan aja, deh,” jawab Raka sambil melanjutkan makan steaknya yang sekarang sudah mulai terasa lebih enak karena Mira yang selalu memberi sentuhan kejujuran dalam setiap perkataannya.
Setelah beberapa saat, Mira menyandarkan punggungnya pada kursi, tangan bersilang di dada, dan memandang Raka dengan tatapan serius, tapi juga menyembunyikan senyum kecil.
“Lo tau nggak sih, Raka, di bengkel itu lebih seru loh, kalau dibandingin di sini. Mobil atau motor yang rusak lebih bikin deg-degan daripada steak yang cuma gitu-gitu aja.”
Raka memutar bola matanya, merasa seperti dia baru saja kena tipu. “Gue udah ngundang lo makan malam di tempat fancy, dan lo malah bilang bengkel lebih seru? Gue nggak ngerti lagi.”
Mira mendelik sambil tertawa. "Lo cuma nggak ngerti, Raka. Terkadang yang paling seru itu bukan tempatnya, tapi orang yang nemenin. Lo tau, kan?”
Raka terdiam sejenak. "Jadi... lo bilang gue itu seru?" tanya Raka, agak ragu tapi juga dengan rasa penasaran yang semakin besar.
Mira terkekeh. “Lo sih, nggak ada matinya. Kalau gue harus ngabisin waktu dengan orang, ya mending sama lo daripada yang sok serius atau pura-pura baik. Setidaknya lo ini... nggak ngebosenin.”
“Jadi... lo nyebut gue nggak ngebosenin?” tanya Raka, memunculkan senyum nakal. "Mira, kamu mulai bikin gue penasaran nih."
Mira menatapnya dengan tatapan yang penuh teka-teki, lalu kembali bersikap acuh tak acuh. "Gue nggak bilang lo menarik, Raka. Gue cuma bilang, lo aneh, tapi cukup seru buat diikutin."
Raka tertawa, menyadari bahwa dia menikmati percakapan ini lebih dari yang dia kira. Terkadang, hanya dengan menghabiskan waktu dengan orang yang nggak terlalu peduli dengan siapa lo, membuat dunia ini terasa lebih ringan.
"Yaudah, Mira. Kalau gitu, gue kasih kesempatan buat kita coba lagi makan malam. Tapi, kali ini—lo yang pilih tempatnya," kata Raka dengan senyum lebar.
Mira hanya mengangkat bahu. "Boleh, tapi lo harus siap, ya. Jangan kaget kalau makanannya lebih berantakan daripada steak di sini."
Raka tertawa, lalu bangkit dan membayar tagihan. “Lo tahu nggak, Mira, lo bener-bener bikin gue penasaran. Dan kali ini, gue yang akan coba terima tantangan lo.”
Sebelum pergi, Mira menatapnya dengan senyuman kecil yang penuh arti. “Jangan harap, Raka. Gue nggak kasih kemudahan.”
Mereka keluar dari restoran, masih saling melemparkan kata-kata kecil yang penuh godaan dan tawa. Keduanya mungkin belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti perjalanan ini baru saja dimulai, dan mereka berdua tidak akan bisa menghindarinya.
Hari berikutnya, Raka terbangun dengan perasaan yang agak aneh. Meski tadi malam dia menghabiskan waktu makan bersama Mira yang penuh candaan, tawa, dan perasaan yang sulit dijelaskan, hatinya tetap terasa agak aneh—seperti ada hal-hal yang belum dia pahami sepenuhnya tentang wanita itu. Yang pasti, Mira bukanlah tipe wanita yang mudah dipahami.
Tapi yang lebih aneh lagi adalah, Raka merasa ada sesuatu yang menarik dari ketidaksukaan Mira kepadanya. Sejak pertama kali bertemu, Mira selalu bersikap tenang, bahkan cenderung acuh terhadap semua yang berkaitan dengan dirinya. Tidak ada niat untuk mengagumi, tidak ada tampak usaha untuk menyenangkan hati Raka. Ini adalah tantangan terbesar yang pernah dia hadapi.
Raka memutar kunci mobilnya dan melaju menuju bengkel Mekanik Jantan pagi itu, tempat dia tahu Mira bekerja. Mobilnya memang sudah diperbaiki, tapi itu bukan alasan utama dia ke sana. Ada hal lain yang mengusik pikirannya. Entah itu karena pembicaraan mereka kemarin malam atau karena rasa penasaran yang semakin mendalam tentang siapa Mira sebenarnya.
Begitu sampai di depan bengkel, Raka melihat Mira sedang duduk di bangku kayu, menyandarkan punggungnya dengan santai. Matanya menatap kosong ke jalan, tampaknya tidak terlalu peduli dengan dunia sekitarnya. Rambut hitamnya yang kusut sedikit berantakan, dan wajahnya yang tanpa makeup itu memberikan kesan natural yang sulit untuk diabaikan. Untuk sesaat, Raka terhenti, terpana oleh betapa sederhana dan yet menariknya dia.
Mira menoleh dan melihat Raka keluar dari mobilnya. "Lo kenapa datang ke sini pagi-pagi?" tanya Mira dengan nada acuh tak acuh, meskipun ada senyum kecil yang muncul di bibirnya.
Raka mengangkat bahu, tidak tahu bagaimana menjawabnya. "Nggak ada, cuma mau pastiin mobil gue baik-baik aja. Lagian, lo kemarin bilang makan di warung bakso lebih seru, kan?"
Mira tertawa pelan, lalu menggerakkan tangannya seolah mengusir debu. “Jangan bawa-bawa makan bakso terus, ya. Gue kerja di sini, bukan jadi pelayan lo.”
Raka melangkah mendekat, dan dengan penuh percaya diri, berkata, “Maksud gue, Mira, lo nggak salah tempat kok. Gue ke sini cuma buat ngobrol.”
Mira meliriknya, bingung, tapi juga penasaran. "Ngobrol? Lo serius? Ada apa nih? Biasanya yang kayak gini, cuma orang yang lagi butuh bantuan."
Raka tersenyum. "Iya sih, gue mungkin nggak butuh bantuan mesin lagi, tapi... gue cuma mikirin obrolan kemarin malam."
Mira mengerutkan dahi, tidak langsung mengerti. “Obrolan kemarin malam? Lo ngomong apa?”
Raka menatap Mira lebih dalam, berusaha menilai ekspresinya. “Ngomongin makan malam, tentunya. Tapi juga soal lo... kayaknya lo tuh selalu punya alasan buat nggak mau bikin semuanya gampang.”
Mira menyandarkan tubuhnya ke meja bengkel, lalu mendelik tajam. “Jadi, lo mau ngomongin gue sekarang?”
“Gue cuma penasaran,” jawab Raka, mencoba terlihat santai. “Kenapa lo selalu bertindak seperti nggak ada yang bisa ngertiin lo? Apa lo nggak pernah ngerasa kesepian?”
Mira menatapnya dengan tatapan tajam, lalu tertawa kecil. “Kesepian? Lo salah, Raka. Gue lebih suka sendiri, nggak perlu ada orang yang sok ngerti soal hidup gue. Gue udah cukup nyaman dengan dunia gue.”
Raka tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Ada hal yang membuatnya merasa tertantang untuk lebih mengenal Mira. Mungkin dia terlalu terbiasa dengan dunia yang penuh dengan intrik dan manipulasi, dan Mira adalah salah satu orang yang benar-benar berbeda. Tapi semakin dia mencoba mendekat, semakin sulit untuk memahaminya.
Saat mereka berbicara, seorang pria datang membawa mobil yang terlihat rusak parah. Mesin mobil itu berasap, dan bau terbakar mulai tercium. Mira segera beranjak, berpindah dari meja bengkel ke tempat mesin mobil dengan gerakan cepat.
Raka hanya bisa diam dan mengamati Mira yang bergerak dengan sigap dan cekatan. Wajahnya yang biasa tampak datar kini berubah fokus. Tangan-tangan terampilnya bergerak dengan cekatan, membongkar mesin yang terbakar itu tanpa ragu sedikitpun.
“Lo tahu, Raka,” Mira berkata sambil terus bekerja, “selama gue di bengkel, gue merasa hidup gue lebih jelas. Gue nggak perlu ngurusin hal-hal yang nggak ada urusannya sama gue. Lo ngerti nggak?”
Raka hanya mengangguk pelan, merasakan ada sedikit keterbukaan dalam kata-katanya. "Maksud lo, lo lebih pilih bengkel daripada dunia luar, kan?"
Mira berhenti sejenak, menatapnya. “Ya. Lebih tenang. Nggak ada drama, nggak ada harus pamer ini itu. Gue cuma perlu perbaiki mesin, dan biar orang datang kalau butuh. Simple.”
Raka memandangi Mira yang tengah fokus. Mungkin itu yang dia suka tentang Mira. Tidak ada pretensi, tidak ada permainan, hanya ketegasan dan kesederhanaan. Sesuatu yang sangat asing bagi Raka, yang hidup dalam dunia yang penuh intrik dan rahasia.
Beberapa menit kemudian, mesin mobil itu selesai diperbaiki, dan pemilik mobil yang tadi datang tampak sangat puas dengan hasilnya. Mira hanya mengangkat bahu, lalu menoleh ke Raka. “Gue udah selesai. Kalau lo butuh bantuan lagi, kasih tahu aja.”
Raka tersenyum, merasa sedikit lebih dekat dengan wanita yang satu ini. "Lo hebat, Mira. Lo bikin gue makin penasaran."
Mira meliriknya dengan senyum kecil. "Penasaran tentang apa, Raka?"
"Lo," jawab Raka, jujur, "Lo itu penuh misteri. Gue pikir, mungkin bisa cari tahu sedikit demi sedikit."
Mira hanya terkekeh, lalu kembali mengusap tangannya yang kotor dengan kain. “Ya udah, kalau lo bisa ngertiin gue, mungkin nanti kita bisa ngobrol lebih banyak. Tapi jangan harap gue gampang dibuka.”
Raka merasa seperti ada tantangan lagi di depan matanya. “Gue suka tantangan, Mira. Lo nggak akan bisa nahan rasa penasaran gue lebih lama."
Dengan itu, Mira hanya mengangkat bahu dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Raka tersenyum, menyadari bahwa apa yang baru saja dimulai ini akan menjadi sesuatu yang lebih menarik daripada yang dia kira. Dunia mereka yang berbeda—dunia bengkel dan dunia mafia—mungkin akan bertemu di suatu titik. Dan Raka tahu satu hal pasti: dia tidak akan membiarkan Mira menghindar begitu saja.
Raka memandangi Mira yang kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Dia merasakan perasaan yang sedikit membingungkan. Tadi malam, mereka saling bercanda dan berdebat, dan kini di pagi hari yang cerah ini, mereka seolah berada dalam dua dunia yang berbeda, namun tetap berhubungan. Raka tak bisa memungkiri bahwa setiap kali dia dekat dengan Mira, ada semacam ketegangan yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang daripada biasanya.
Dia baru saja akan melangkah pergi dari bengkel, ketika Mira tiba-tiba berteriak, memanggil namanya.
"Raka! Lo nggak bakal pergi gitu aja, kan?" teriaknya dari balik mobil yang sedang dia perbaiki.
Raka berhenti sejenak dan berbalik, sedikit bingung. "Maksud lo?"
Mira berjalan ke arahnya dengan langkah santai, namun ada nada serius di suaranya. "Lo pikir, gue nggak tahu kenapa lo ke sini? Lo cuma ngelihat mobil lo, tapi ada hal lain, kan?"
Raka terdiam, matanya sedikit menyipit. "Lo mau bilang apa, Mira?"
Mira menatapnya dengan tajam, seolah-olah bisa melihat langsung ke dalam pikirannya. "Lo bukan orang yang datang ke bengkel cuma buat ngecek mobil. Gue bisa baca, Raka. Lo datang ke sini buat sesuatu yang lebih dari sekadar perbaikan mesin."
Raka merasa jantungnya sedikit berdebar. Kenapa Mira bisa tahu begitu banyak tentangnya hanya dalam waktu singkat? Dia berusaha tetap tenang, meski sejujurnya, Mira benar. Ada hal lain yang membuatnya datang ke bengkel itu. Tapi apakah dia siap untuk mengakuinya?
"Lo tahu, Mira, gue datang kesini karena... gue tertarik sama lo," kata Raka, akhirnya membuka diri.
Mira terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Oh, jadi sekarang gue jadi proyek baru lo, ya? Serius, lo nggak tahu kalau gue bukan orang yang mudah ditaklukkan, kan?"
Raka menatap Mira dengan sedikit canggung, tapi kali ini, dia tidak merasa takut. "Gue nggak pernah bilang gue mau menaklukkan lo. Gue cuma... penasaran. Lo tuh seperti teka-teki yang harus gue pecahkan."
Mira tersenyum lebar, kali ini lebih seperti tantangan. "Penasaran? Lo pikir gue ini puzzle yang bisa lo bongkar begitu aja? Gue bukan orang yang gampang banget buka diri, Raka."
Raka hanya mengangkat bahu, merasa sedikit lebih nyaman dengan sikap Mira yang santai. “Gue nggak minta lo untuk buka diri, Mira. Cuma, nggak ada salahnya kalau kita ngobrol, kan?”
Mira menatapnya sejenak dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Obrolan? Gue nggak janji bakal jadi cewek yang ngasih lo jawaban mudah."
Raka tersenyum dan melangkah lebih dekat ke arah meja bengkel, di mana dia melihat alat-alat bengkel berantakan. "Gue nggak minta jawaban yang gampang. Gue cuma pengen tahu siapa lo sebenarnya, Mira."
Mira hanya menggelengkan kepalanya, meski senyum tipis masih ada di bibirnya. "Gue orang biasa, Raka. Punya hidup sederhana. Gue kerja keras setiap hari, nggak ada yang istimewa."
"Tapi itu yang buat lo berbeda, Mira," kata Raka, kali ini dengan suara lebih lembut. "Di dunia yang penuh dengan kebohongan, lo yang paling jujur yang gue temuin."
Mira memandangnya dengan tatapan yang agak terkejut, kemudian tersenyum kecil. "Lo memang nggak ngerti, kan? Lo ngomong kayak gue ini orang yang penting banget buat hidup lo."
Raka menatapnya, tanpa ragu. "Bukan penting banget. Tapi lo punya sesuatu yang gue nggak bisa dapatkan di tempat lain. Kejujuran, keberanian, dan... kekuatan."
Mira menghela napas pelan, lalu melirik Raka dengan tatapan serius. "Lo tahu, Raka, gue nggak suka di gombalin. Kalau lo pikir gue bakal terpesona dengan kata-kata manis lo, lo salah."
Raka tertawa kecil. "Gue nggak nyoba nge-gombal, Mira. Gue cuma ngomong apa yang gue rasain."
Mira menatapnya beberapa saat, seolah mengukur apakah dia harus percaya atau tidak. Kemudian, dengan sedikit senyum sinis, dia berkata, "Gue nggak bisa dipahami sama orang-orang seperti lo. Lo hidup di dunia yang berbeda sama gue. Lo nggak tahu rasanya kerja keras di bengkel ini. Gue nggak punya waktu buat mikirin orang lain."
Raka mengangguk, meresapi kata-kata Mira. "Gue nggak tahu, Mira. Gue mungkin nggak ngerti semua tentang lo. Tapi gue ngerti satu hal: setiap kali gue lihat lo, gue ngerasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang bikin gue nggak bisa berhenti penasaran."
Mira diam sejenak, menatap Raka dengan penuh perasaan yang tak terungkapkan. "Gue bukan tipe yang gampang diturutin. Jangan kira gue bakal jadi cewek yang bisa lo ubah."
Raka hanya tersenyum. “Gue nggak pernah mau ngubah lo, Mira. Gue cuma... ingin berada di dekat lo. Apapun itu.”
Mira melirik Raka dengan ekspresi yang sedikit lembut, tapi tetap penuh tantangan. "Jadi lo cuma mau ngejar gue? Gitu aja?"
Raka tertawa pelan. "Gue nggak nyari sesuatu yang rumit. Gue cuma mau lo tahu, kalau lo ini punya sesuatu yang bisa bikin gue stay."
Ada keheningan sejenak di antara mereka berdua. Mira tampaknya mempertimbangkan kata-kata Raka dengan serius. Tapi dia segera berbalik dan melanjutkan pekerjaannya.
"Lo terlalu serius, Raka," jawabnya, meskipun ada sedikit kehangatan di suaranya yang sempat terdengar datar. "Gue cuma pengen hidup tenang. Nggak usah terlalu banyak drama."
"Kalau itu yang lo mau, Mira, gue akan coba ngasih lo ruang. Gue nggak akan ganggu hidup lo. Tapi kalau lo butuh teman, gue ada."
Mira tidak langsung menjawab. Dia melanjutkan pekerjaannya dengan sedikit senyum di wajahnya yang masih terlihat serius. "Gue nggak butuh teman, Raka. Gue cuma butuh fokus ke bengkel. Tapi... kalau lo masih di sini besok, mungkin kita bisa ngobrol lagi."
Raka merasa ada secercah harapan. "Tunggu gue, Mira. Gue akan balik lagi."
Mira hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari mesin yang sedang diperbaikinya. “Lihat aja nanti, Raka.”
Dengan perasaan campur aduk, antara kebingungan dan harapan, Raka berjalan pergi dari bengkel, tahu bahwa apapun yang terjadi selanjutnya, hubungan mereka akan menjadi sesuatu yang lebih rumit dari yang dia bayangkan.
Bersambung
