Pustaka
Bahasa Indonesia

Geng Mesin dan Hati

29.0K · Tamat
Novita Ledo
18
Bab
33
View
9.0
Rating

Ringkasan

Raka, seorang mafia kejam yang selalu memegang kendali, terpaksa menghentikan mobil BMW hitamnya di tengah hujan deras saat mesinnya mati. Tanpa pilihan lain, dia menuju bengkel Mekanik Jantan, tempat yang dikenal di dunia kriminal. Di sana, dia bertemu Mira, pemilik bengkel yang bertubuh kecil tapi memiliki reputasi besar. Berbeda dengan orang-orang yang biasanya tunduk padanya, Mira sama sekali tak terpengaruh oleh status Raka. Dia hanya peduli pada pekerjaannya dan tidak tertarik pada siapa Raka sebenarnya. Saat Mira memperbaiki mobilnya, Raka mulai melihat sesuatu yang berbeda dalam dirinya, seseorang yang tidak bisa dibeli dengan uang atau ditakuti dengan kekuasaan. Ketertarikan Raka pada Mira tumbuh, meskipun dia enggan mengakuinya. Namun, Mira tetap menjaga jarak, tidak membiarkan dirinya terjebak dalam pesona mafia itu. Ketika perbaikan selesai, Raka mencoba mengajaknya makan malam, tapi Mira hanya memberikan jawaban samar.

RomansaBillionaireCinta Pada Pandangan PertamaSuspenseWanita CantikTuan MudaKehidupan SosialCinta PertamaPlot Twist

Awal mula

Hujan mengguyur deras di jalanan gelap itu. Raka menghentikan mobil BMW hitamnya di pinggir jalan, tepat sebelum mesinnya benar-benar mati. Dengan napas terengah, dia keluar dari mobil dan menatap ke arah asap tipis yang keluar dari kap mesin.

Sial, pikirnya. Di dunia ini, dia selalu memegang kendali. Raka adalah nama yang ditakuti di kalangan mafia, pria yang tangannya penuh darah dan kantongnya penuh uang. Tapi sekarang? Dia hanya seorang pria dengan mobil mati di tengah jalan yang sepi.

Satu nama muncul di pikirannya si Mekanik Jantan.

Bengkel itu terkenal sebagai tempat yang hanya didatangi oleh mereka yang berada di sisi gelap kehidupan, entah bandit, mafia, dan penjahat kecil. Mira, pemilik bengkel itu, adalah nama yang sering disebut. Wanita muda, berbadan kecil, tapi dengan reputasi sebesar gunung.

Tanpa pilihan lain, Raka melajukan mobilnya pelan-pelan, berusaha mencapai bengkel tersebut.

Begitu Raka membuka pintu bengkel, dia mendapati Mira sedang membungkuk di atas mesin motor tua. Tangan mungilnya yang penuh oli bergerak lincah, memperbaiki sesuatu. Saat dia mendengar suara langkah Raka, Mira hanya menoleh sekilas, tanpa ekspresi, sebelum kembali bekerja.

“Gue butuh lo,” ucap Raka, mencoba menguasai keadaan seperti biasa.

Mira menegakkan tubuhnya, menyeka tangannya dengan kain lap. “Kalau lo bawa masalah, gue gak punya waktu buat itu.”

“Mobil gue. Rusak.” Raka menunjuk ke luar, ke BMW hitamnya yang parkir di depan.

Tanpa berkata banyak, Mira mengambil alat-alatnya dan berjalan ke arah mobil Raka. Gerakannya tenang, seperti dia tak peduli siapa yang berdiri di depannya. Raka mengikutinya dari belakang, menatap cara Mira bekerja dengan penuh konsentrasi.

Selama beberapa menit, hanya suara hujan dan alat-alat yang terdengar.

“Ini butuh perbaikan besar,” ujar Mira akhirnya. Dia menatap Raka dengan dingin. “Kalau lo mau cepet, lo cari mekanik lain.”

Raka menghela napas. Dia bukan pria yang suka menunggu, tapi kali ini, dia tak punya pilihan lain. “Lo bisa selesaiin?” tanyanya.

Mira hanya mengangkat bahu. “Kalau gue mau.”

Saat Mira sibuk memperbaiki mobilnya, Raka tak bisa berhenti memperhatikan. Ada sesuatu tentang wanita ini yang berbeda. Tidak seperti wanita lain yang biasa dia temui—yang selalu mencoba mendekatinya karena kekuasaan atau uang—Mira sama sekali tak peduli siapa dia.

“Lo selalu dingin kayak gini?” Raka mencoba memecahkan keheningan.

Mira menoleh, sedikit mendongak untuk menatapnya. “Gue gak punya waktu buat basa-basi.”

Raka tertawa kecil, meskipun tidak ada humor di baliknya. “Lo tahu gue siapa?”

“Enggak penting,” jawab Mira datar.

Jawaban itu membuat Raka terdiam. Dia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, tetapi Mira memperlakukannya seperti pelanggan biasa. Ada rasa kagum yang mulai tumbuh di dalam dirinya—meskipun dia benci mengakuinya.

---

Saat perbaikan selesai, Mira menutup kap mesin dengan satu gerakan kuat. “Udah selesai. Cek sendiri kalau mau.”

Raka berjalan mendekat, menatap Mira dengan senyum kecil. “Gue gak nyangka, lo lebih dari sekadar mekanik.”

Mira hanya mengangkat bahu, lalu berkata, “Gue cuma kerja. Jangan bikin ini ribet.”

Namun, sebelum Raka sempat membalas, Mira melanjutkan, “Lo bisa bayar pake uang. Gue gak butuh omong kosong lo.”

Raka tersenyum, kali ini lebih lebar. Wanita ini benar-benar berbeda. “Kalau gue bayar lo dengan makan malam, lo bakal terima?” tanyanya, setengah menggoda.

Mira menatapnya lama, lalu tersenyum kecil—senyum yang hampir tak terlihat. “Kalau lo nggak nyusahin, mungkin gue pikirin.”

Dan untuk pertama kalinya, Raka merasa seperti pria biasa. Di depan Mira, dia bukan mafia yang ditakuti. Dia hanya seorang pria yang ingin tahu lebih banyak tentang seorang wanita yang begitu berbeda dari dunia gelap yang dia kenal.

Hari itu, di bawah hujan deras dan di tengah bengkel yang penuh dengan bau oli, Raka menemukan sesuatu yang baru. Atau mungkin, seseorang.

Raka kemudian berjalan menuju mobilnya, menatap mobil BMW hitamnya yang kini tampak seperti kendaraan biasa, berbeda dengan sebelumnya. Dulu, dia selalu melihat mobil ini sebagai lambang kekuasaannya, sebagai simbol dari siapa dirinya. Tapi sekarang, setiap kali dia memandangnya, dia hanya teringat pada Mira—dan apa yang mungkin terjadi antara mereka.

Perasaan yang sulit dijelaskan itu semakin tumbuh. Tapi Raka tahu satu hal: Dia tidak akan pernah bisa lepas dari Mira begitu saja. Dengan segala kekerasannya, dunia mafia yang dia jalani terasa jauh lebih kosong tanpa wanita ini.

Dia melangkah ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan pergi meninggalkan bengkel. Tapi kali ini, langkahnya terasa lebih ringan. Seperti ada sesuatu yang baru saja mulai tumbuh di dalam dirinya—sesuatu yang bernama harapan.

"Ada apa?"

Degh.

**

Raka duduk di meja restoran yang cukup mewah, matanya melirik ke kiri dan kanan, tidak yakin dengan pilihan tempat makan yang dia pilih. Seharusnya dia tahu, memilih tempat makan untuk Mira itu seperti memilih baju untuk orang yang nggak pernah peduli soal mode. Mira, yang biasanya terlihat nyaman dengan pakaian kotor dan sepatu boot bengkel, duduk di seberangnya dengan ekspresi yang lebih datar daripada biasanya.

"Jadi, lo pilih tempat makan kayak gini?" Mira memulai, matanya mengelilingi restoran, seolah dia sedang memeriksa kemungkinan apakah ada alat-alat bengkel tersembunyi di sini. "Kok, kayaknya... nggak cocok banget ya?"

Raka menyandarkan punggungnya dengan santai di kursi, mencoba terlihat percaya diri. "Lo pikir gue nggak tahu selera makan lo, Mira? Tempat ini bagus, kan? Kayak tempat makan yang orang-orang... berkelas gitu."

Mira mengerutkan dahi, lalu memandangi menu di depannya seperti membaca buku yang bahasanya asing. "Berkelas? Gue cuma lihat makanan yang kayaknya susah dicerna, dan orang-orang yang kelihatan terlalu serius untuk makan burger."

Raka mencoba menahan tawa, walaupun itu sedikit memalukan. "Ya, lo kan, Mira. Emang nggak cocok di tempat kayak gini, ya? Harusnya gue ajak makan di bengkel aja, biar lo bisa makan sambil beresin mesin."

Mira meliriknya tajam. "Tahu nggak, lo aneh banget, Raka. Kenapa lo bisa punya ide aneh kayak gini? Lo pikir gue nggak bisa makan di restoran kayak gini?"

“Gue pikir, mungkin lo nggak terlalu suka makan di tempat yang kelihatan ‘bersih’ gitu,” jawab Raka dengan senyum nakal. “Lo kan lebih suka yang... berkarat.”

Mira mendengus pelan, lalu melipat menu yang dia pegang. "Lo ini bener-bener, deh. Gue bisa aja makan di tempat kayak gini, kalau makanannya nggak terlalu ribet kayak ini." Dia menunjuk ke berbagai hidangan yang tampak mewah, dengan berbagai macam bahan yang bahkan Mira belum pernah dengar sebelumnya.

Pelayan datang dengan anggukan, dan Mira langsung bertanya dengan nada yang sangat serius, “Gue cuma mau tanya. Ada nggak yang makanannya bisa langsung dimasak pakai palu?”

Pelayan itu menatapnya bingung, lalu menoleh ke Raka, yang hanya bisa mengangkat bahu dengan canggung. “Ehm, kita nggak punya itu, Bu. Tapi ada steak yang empuk kalau Anda suka...”

Mira mengangguk, seolah sedang memutuskan apakah steak itu cukup keras untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak bisa dipenuhi dengan halus. “Yaudah, gue pesan itu. Tanpa saus aneh-aneh. Kalau ada saus yang pake... apa sih, truffle? Gue nggak bakal makan.”

Raka yang mendengar itu hanya bisa tertawa tertahan. "Lo nggak ngerti betapa sulitnya cari restoran yang bener buat lo, Mira. Harusnya gue bawa lo makan di tempat yang punya mesin potong rumput buat masukin ke menu."

Mira hanya mendelik tajam. “Jangan bercanda soal mesin, Raka. Gue di sini cuma pengen makan tanpa denger suara mesin gergaji. Lo yang aneh.”

Keduanya terdiam sejenak, dan Raka merasa semakin canggung. Mira memang benar—ini aneh. Dari awal dia mengundangnya makan malam, dia sudah merasa bahwa ini mungkin bukan ide yang bagus. Tapi ada sesuatu dalam diri Mira yang membuatnya terus ingin mengundangnya. Setiap kata yang keluar dari mulut Mira membuatnya terpingkal, tapi juga merasa seperti pria yang harus belajar kembali bagaimana berbicara dengan wanita.

Sebelum Raka bisa melanjutkan percakapan lebih lanjut, pelayan kembali membawa makanan mereka. Steak untuk Mira, yang tampaknya lebih besar dari yang Raka bayangkan. Dan untuk Raka? Sebuah hidangan dengan bahan-bahan yang tampak seperti karya seni. Ada saus berwarna gelap yang melimpah, sayuran yang disusun rapi, dan daging yang dipotong dengan sangat presisi.

Mira memandang makanannya dengan tatapan tidak percaya. "Apa ini? Kenapa steak gue lebih besar dari tempat makan lo?" Dia mengambil garpu dan pisau, lalu dengan cepat memotong steak-nya, seolah-olah ini adalah sebuah proyek yang sedang dia perbaiki.

Raka mencoba menahan tawa. "Lo emang aneh, Mira. Bisa-bisanya ngerusak suasana makan malam cuma karena steak."

“Gue nggak rusak suasana,” jawab Mira dengan serius, setelah mengunyah steak-nya dengan cepat. “Tapi, lo nggak tahu gimana rasanya makan kalau makanan lo cuma ada buat dipamerin.”

Mira kemudian melirik hidangan Raka dengan cemas. "Lo makan apa itu? Apa sih namanya? Kayak disusun-susun pake tangan ahli atau gimana."

Raka mendekatkan hidangan ke wajahnya, lalu mencium bau saus itu dengan cermat. “Entah. Tapi ini katanya hidangan khas di sini. Coba lo cicip."

Mira mengangkat alis, mengambil garpu dan memotong sedikit dari hidangan Raka. Begitu dia mencicipinya, ekspresinya berubah drastis. “Ini... enak sih,” katanya, sedikit ragu. “Tapi kenapa harus pake bahan yang nyeleneh gitu sih? Lo bener-bener harus belajar pilih makanan, Raka.”

Raka tertawa lepas. "Gue kira lo bakal protes, tapi ternyata lo malah suka. Udah ketahuan, lo ada sisi manisnya juga."

Mira meliriknya tajam. "Lo gak usah lebay, ya. Gue cuma makan karena nggak ada pilihan lain."

Tapi di dalam hatinya, Raka tahu—ini adalah salah satu momen yang tidak akan dia lupakan. Mira, dengan segala kekasarannya, dengan sikapnya yang tak peduli pada dunia luar, ternyata punya sisi yang tak terduga. Dan itu membuatnya semakin ingin mendekatinya.

“Lo kalau makan, jangan kayak anak bengkel ya,” kata Raka dengan setengah bercanda, setengah serius.

Mira hanya mendengus. “Bengkel aja lo bawa-bawa. Kalau lo terus-terusan kayak gini, gue pikir lo mesti belajar tentang bagaimana bertahan hidup di dunia nyata, Raka."

Raka hanya tertawa, karena dia tahu, Mira hanya bisa menggoda—tapi dia tahu, perasaan aneh ini sudah mulai tumbuh. Dan mungkin, hanya mungkin, Mira adalah masalah yang ingin dia hadapi.

**

Setelah menyantap makanannya dengan sikap yang jauh dari anggun, Mira meletakkan garpu dan pisau di atas piring, lalu mengusap mulutnya dengan serbet yang disediakan. Dia menatap Raka dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah sedang menilai apakah pria ini cukup layak untuk dia habiskan lebih banyak waktu.

"Lo tahu nggak sih, Raka, makan di tempat kayak gini tuh jadi bikin gue mikir dua kali," Mira berkata santai, seolah-olah dia sedang memberi kuliah kepada Raka. "Kok bisa ya orang kaya kayak lo enjoy gitu makan di tempat yang harus pakai setumpuk alat makan?"

Raka hanya terkekeh, mengangkat bahu. "Gue sih nggak masalah, Mira. Yang penting makanannya enak. Mau steak pake garpu, sendok, atau pake obeng juga gue santai aja."

Mira terkekeh pelan. "Obeng? Beneran, lo tuh... kadang-kadang, gue nggak ngerti deh, Raka."

Raka memandangi Mira, matanya penuh tantangan. “Gue ngerti banget, lo nggak peduli sama makanan ini. Lo pasti lebih nyaman kalau gue ajak makan di warung bakso, kan?”

Mira tersenyum kecil, menatapnya dengan tatapan penuh keinginan untuk menggoda. “Gue sih nggak pernah menolak bakso, tapi lo nggak akan bisa tahan panasnya sambil nyemil bakso. Lo kan cuma jago di bengkel, bukan di warung.”

Raka mengangkat alis, sedikit merasa terpojok. "Oh ya? Lo yakin bakal lebih enak makan bakso ketimbang steak?”

“Lo nggak ngerti,” kata Mira sambil mengangkat bahu. “Makanan tuh bukan soal harga, bukan soal tempat. Tapi soal kepraktisan. Kalau bakso, lo bisa makan sambil jalan. Kalau steak, lo harus duduk diam berjam-jam.”

Raka tertawa mendengar alasan Mira yang sepenuhnya bertentangan dengan pemikirannya. "Kamu sih, Mira, selalu aja nyari alasan buat nggak nyantai. Gue kira di dunia ini, orang kaya itu harus makan dengan penuh gaya, gitu. Tapi lo bener-bener beda."

Mira melirik Raka dengan tatapan yang cerdas. “Tahu nggak, lo kayaknya kebanyakan nonton film tentang orang kaya. Hidup itu bukan tentang gaya, Raka. Hidup itu tentang nyaman.”

Raka terdiam sejenak, seolah merenung. Mira benar. Selama ini dia terjebak dalam citra dunia yang penuh kesan mewah dan tampak sempurna, tetapi dia lupa bahwa hidup sebenarnya lebih sederhana daripada itu. Makan bakso sambil ngobrol tanpa peduli apapun—itu bisa jadi lebih memuaskan daripada makan steak yang disajikan dengan piring berlapis perak. Dan Mira, dengan segala keunikan dan cara berpikirnya yang sangat berbeda, membuatnya merasa jauh lebih nyaman daripada yang dia kira.

"Jadi," kata Raka sambil tersenyum, "kapan-kapan lo mau ajak gue makan bakso di pinggir jalan, ya?"

Mira mengangkat bahu, kemudian mencibir dengan malas. "Kalau lo nggak takut kebanting sama sepeda motor yang lewat, gue ajak. Tapi kalau lo takut kotor, ya... tinggal pilih. Mau makan steak lagi atau lo ikutin saran gue.”

Raka terkekeh, menyadari bahwa dia tidak pernah merasa begitu dekat dengan seseorang dalam waktu yang sangat singkat. Mira memang berbeda dari semua orang yang dia kenal. Semua wanita yang pernah dia temui selalu berusaha untuk mencari cara agar bisa mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang-orang besar seperti dia, tapi Mira? Dia malah memperlakukannya seperti orang biasa, tanpa basa-basi atau embel-embel.

Bersambung