Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sesuai keinginanmu

Tuti jadi gelisah. “Kenapa tuan Thomas melakukannya di sini? Bukankah itu tidak sopan? Bagaimana kalau aku jadi ....” Tuti menutup mulutnya.

“Oughhhh... Thomas!” Imel memejamkan mata. Tangan itu sampai pangkal, menyisikan kancutnya dan kini menyelusup ke lembah yang mulai membasah.

Thomas tersenyum, dia menarik Imel dan memagut bibir itu menuntut, “Aku tidak pernah bertemu dengan wanita secantik dirimu, Imel. Kau sangat baik ke pada Gracia. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi dariku.” Kembali menyambar bibir Imel, mengisapnya kuat dengan tangan tetap ke luar masuk di sisi basah di bawah sana.

Imel mengangguk. Kalimat yang begitu indah dan merdu. Saat Thomas berhenti, dia malah menuntut karena belum tuntas sedikit pun.

Thomas terkekeh, dia menurunkan celana kolornya, membuat apa yang menegang segera tertangkap oleh retina mata, “Apa kita akan melakukannya? Demi cinta kita?”

Imel mengangguk, dia pun melepas kancutnya lebih cepat dari yang dia perkirakan, dan naik kembali untuk menunggang dengan kesenangan penuh. “Ough... milikmu... besar, Thomas.” Imel terus mendorong agar sempurna ada di dalamnya.

Thomas terkekeh kembali, “Pelan-pelan, Imel. Kita masih punya banyak waktu.” Dengan bantuan kecilnya, Thomas memastikan Imel nyaman, menjadi koboi di pangkuannya, dengan desah demi desah yang semakin memenuhi ruang.

“Oh, Tuhan.” Tuti memegangi nampan semakin erat. Dia tak bisa mundur apa lagi maju. Ditambah dengan gejolak oleh siaran langsing ini, beranjak pun juga akan sayang sekali, dan menelan ludah adalah pilihan satu-satunya yang dia miliki.

Bagi Thomas, Imel kurang bertenaga, dia pun menggendong dan menurunkannya di kursi panjang. Sayang, dengan posisi seperti ini dia tak bisa melihat Tuti. Thomas malah melepas miliknya, “Bangun, Imel. Kita akan terbang lebih tinggi lagi.” Thomas menarik pinggul Imel, membuat guru Gracia itu menungging dengan bertumpu sandaran kursi, “Milikmu sangat indah, Imel.” Thomas meremas, memutar beberapa kali pantat Imel.

Membuat Imel tersenyum, tersipu mendengarnya, “Itu untukmu, Thomas. Akh!” Imel tak menyangka kalau Thomas malah memukul pantatnya cukup keras.

“Akh!” Bukan hanya Imel yang memekik, bahkan Tuti ikut memekik, serasa dirinyalah yang ditampar pantatnya, “Aku sangat menginginkan pukulan itu, seperti apa rasanya? Urat-urat itu akan memenuhi kehangatan di bawah sana. Oh, Tuhan ....” Tuti yakin suhu tubuhnya meninggi.

‘Plak!’ Thomas kembali menampar. Hanya sedikit kemerahan di sana dan dia segera memasukkannya lagi, “Hm ....” Tanpa malu, Thomas segera menarik rambut Imel, sedangkan matanya malah mengunci Tuti, membuka mulut agar Tuti yakin kalau ini sangat nikmat, dan Thomas suka melihat Tuti yang salah tinggal di bawah tatapannya.

Gracia berdiri, “Mbak Susan, apa kamu melihat kakak? PR-ku sudah selesai.”

Susan tersenyum, “Saya akan mencarinya, Nona Gracia. Tunggu sebentar.” Susan yang tadi akan mengganti seprei, berbalik arah ke ruang tengah, mungkin saja Thomas sedang makan atau apa pun. “Oh, ya ampun!” Susan menutup mulutnya, dia melihat Thomas sedang bermain gila di ruang TV, dan pantat itu menegang tengah ereksi.

“Apa kamu melihat kakakku?” Gracia menarik ujung rok Susan.

“Oh! Tuan Thomas tidak ada di sini, Nona Gracia. Mari kita mencarinya di luar!” Segera merangkul Gracia menjauh dari ruang TV. Susan cukup terkejut saat pertanyaan Gracia meluncur begitu saja dan kini ke duanya ke mes belakang dan menyapa semua pekerja di sana.

“Kenapa Mbak Susan mengajakku ke sini?” Gracia ingin segera memamerkan PR-nya ke kakaknya dan Imel.

Susan meringis, “Saya tadi melihat tuan Thomas di sini, Nona. Apa aku salah lihat?” Susan gelisah menjawabnya. Dia masih ingin memberi alasan lain, tapi ponselnya berdering, dan itu dari Emy, “Ya? ...okey aku akan ke sana.” Susan kembali tersenyum ke Gracia, “Anda ditunggu tuan Thomas di ruang tamu, Nona. Sepertinya tuan Thomas sudah kembali.” Tersenyum lebar ke Gracia agar tak curiga.

Gracia cemberut, “Kamu membuang waktuku!” Berbalik dan berlari pergi. Kembali secepat mungkin ke ruang tamu.

Susan tentu saja mengejar dan segera tersenyum saat melihat Thomas dan guru Gracia sudah duduk berjajar di ruang tamu. Tak ada yang dia katakan selain menunduk hormat. Segera ke dapur sepertinya pilihan terbaik. Susan heran dengan Tuti yang diam sambil duduk di dapur, “Ada apa denganmu?”

Tuti menggeleng, “Apa aku masih hidup?”

Susan menyentuh kening Tuti dengan punggung tangannya, “Apa kau demam?”

Tuti menoleh dan menatap Susan tajam, “Kau tidak tahu? Kau tidak melihatnya? Tuan Thomas sangat panas di ruang TV tadi. Aku tidak bisa bergerak dan tidak tahu kenapa tuan Thomas melakukan itu.”

Susan duduk di seberang meja Tuti, “Aku... melihatnya.”

“Apa?!” Tuti menggeleng. Tak percaya dengan apa yang dia dengar.

Reni yang baru masuk dapur, ikut duduk untuk bergabung, “Kalian membahas apa? Wajah kalian pucat.” Menuang teh dan meneguknya.

“Tuan Thomas bercinta dengan guru nona Gracia di ruang TV.” Tuti mengatakannya dengan cemas.

‘Uhuk. Uhuk.’ Reni tersedak dan segera mengusap mulutnya, “Kau gila?!” Menggeleng karena tak percaya sedikit pun dengan ucapan Tuti.

“Aku juga melihatnya.” Susan membenarkan.

Reni menggigit bibir bawahnya, “Apa... apa karena ....”

Thomas tersenyum ke Imel, dia baru saja mengantar Imel pulang setelah Gracia selesai belajar, dan tak langsung pulang karena ada janji untuk bertemu dengan Bara di bar. “Aku baru tahu, ternyata setelah wajib militer, hidup kita lebih bahagia. Hahahaha.” Thomas mengangkat gelas dan bersulang dengan Bara.

“Kapan kita akan bermain gila bersama?” Bara hanya rindu saat berebut lubang sempit milik sipir tercantik beberapa bulan yang lalu dengan Thomas. Meski temannya terlihat lebih pendiam, semua orang tertipu dengan wajah berengsek itu, kecuali dia.

Thomas menggeleng, “Aku tidak tahu. Aku masih menjalankan misi. Rumahku seperti neraka dan aku tidak ingin Gracia tercemar.”

“Kau butuh bantuanku? Aku akan siap kapan pun kau membutuhkannya.” Bara terkekeh sambil menenggak minumannya lagi.

“Beri aku kejutan dan aku tak ingin terlalu manis, Rehan.” Sambil mengacungkan jari telunjuk, tak surut senyum yang dia pamerkan dalam balut bibir bergincu merah merona.

Rehan, sang bartender senior itu pun mengacungkan jari jempolnya, “Sesuai keinginanmu, Lylia.”

Percakapan itu cukup keras, mampu membuat Thomas menoleh karena nama yang terlalu menarik perhatiannya, dan saat bertemu tatap dengan siapa yang diingin ketahui, Thomas tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata. Thomas menggoyang gelas, meneguknya dalam sekali tenggak, dan kembali menoleh, “Bukankah ini artinya semesta merestui kita ...Lylia?”

Lylia menarik salah satu sudut bibir, merapikan rambut ke belakang telinga, dan memilih memperhatikan Rehan dari pada menanggapi ucapan Thomas. “Terkadang angin yang mengembus bukan agar kamu merasakan segar setelah gerah, tapi karena dia tahu kau yang membutuhkan udara lebih, dan kurasa semua hanya kebetulan saja. Jadi jangan terlalu mendewakan restu semesta.” Lylia menerima minuman pesanannya dari Rehan, “Terima kasih."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel