Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Di balik kancut

Thomas terkekeh, “Haruskah? Lalu bagaimana jika aku tidak mau?” Dia malah bersedekap dada, menunggu akan sampai mana Susan berselebrasi.

“Akuuuh ...” Susan memasukkan jemari yang tadi dijilati ke tengah selangkanya dan mulai memainkan miliknya sendiri, “akan sangat tersiksa, Tuan Thomas. Ouggghhhh... ini bisa membunuhku, Tuan THom—assss... ahhh... oughhhh....” Susan terus melakukannya agar Thomas tergoda.

Thomas pun berdiri, dia mendekati Susan, dan berjongkok sambil menopang dagu tepat di depan Susan. Sengaja hanya melihat tak melakukan apa pun, juga tak mengatakan apa pun, dia melakukannya karena ingin tahu, seberani apa Susan di depannya.

“Tu—an Thom—assss, ough, ah, ah, Tu—an....” Susan terus bermain hingga rasanya sudah ada di ujung kepala.

Saat milik Susan terlihat mengeluarkan apa yang diinginkan, Thomas tersenyum, “Aku akan mencobanya lain kali.” Berdiri dan meninggalkan Susan yang malah melongo menatapnya. “Gila! Apa semua orang di sini gila?! Mereka mempermainkanku? Menguji seperti apa kesabaranku?!" Napas Thomas naik turun, dia sudah tak tahan lagi, rasanya semua orang harus dihukum, tapi apa yang pantas? Thomas pria normal, dia juga merendam tubuhnya di air dingin agar gejolaknya menurun, hingga saat semua lebih baik, Thomas berbaring di ranjang. Senyumnya melebar saat menemukan sesuatu yang akan menyenangkan, “Hanya beberapa jam lagi. Sepertinya aku akan tidur agar lebih segar nanti.”

“Tuan Thomas?!” Emy mengguncang pelan tubuh Thomas dan tersenyum saat tuan muda itu bangun.

Rasanya baru beberapa detik dan Emy sudah mengganggu tidur siangnya, “Ada apa, Emy? Aku sangat lelah, tidak bisakah kamu membangunkanku nanti jam enam atau tujuh saja saat Imel datang?” Thomas berbalik dan memunggungi Emy.

Emy tersenyum, “Tapi sekarang sudah jam enam, Tuan Thomas. Imel juga sudah di bawah bersama nona Gracia.”

“Apa?!” Thomas mencari ponselnya, membuang napas kasar saat jam itu malah tak bersahabat dengannya, “Aku akan turun sebentar lagi, suruh Imel mengajar Gracia dulu, aku tidak akan lama.” Thomas segera bangun dan akan ganti baju lebih dulu.

Emy mengangguk, “Iya, Tuan Thomas.” Kembali turun dan menemani Gracia belajar dengan Imel. Setelah Thomas terlihat menuruni tangga, Emy pun berdiri, “Nona Imel, saja ke belakang dulu, kalau ada yang kurang, silakan Anda mencari saya.”

Imel tersenyum sambil mengangguk, “Iya, Bi.” Kembali fokus dengan gracia, “Gunakan dua tangan, Sayang. Seperti ini.” Imel membenarkan posisi tangan Gracia agar tak salah saat menghitung perkalian.

“Apa seperti ini?’ Gracia menunjukkan yang terbaik ke Imel.

“Iya, Sayang. Itu bagus.” Imel mengacak rambut Gracia.

“Hm!” Thomas semakin dekat dengan dua feminin itu, dia berencana akan duduk di sebelah Imel saja agar Gracia lebih fokus belajar, dan tidak manja padanya.

Imel mendongak, tahu ada Thomas yang mendekat, dia segera melempar senyum sambil menyelipkan rambut ke telinga. Apa lagi saat Thomas duduk di sebelahnya, seolah jantungnya mau copot, bagaimana bisa Thomas agresif seperti ini saat di dalam ruangan?

“Apa Gracia merepotkanmu?” Thomas menaruh satu tangan di belakang Imel, itu karena Imel tak menyandar, dan dia ingin melihat hasil pekerjaan Gracia.

“Tentu saja tidak. Aku ini anak yang pandai, Kak. Jangan meremehkanku!” Gracia bersedekap dada sambil memicingkan mata.

Thomas terkekeh, dia menyandarkan punggung dan menarik Imel agar menyandar juga, “Kalau begitu coba kerjakan sendiri. Aku dan Bu Imel akan berbincang sebentar.” Dia mengedipkan sebelah mata agar Imel ikut bersandiwara.

“Iya, Sayang. Coba kerjakan sendiri, nanti Bu Imel akan membuat gambar bintang di buku tugasmu.” Imel tak tahu apa rencana Thomas.

“Ooookkeeeeyyyy ...aku akan membuat Bu Imel dan Kakak terkejut setelah ini!” Gracia kembali ke bukunya dan mengabaikan kekehan di belakangnya.

“Kamu datang dengan siapa? Aku bisa mengantarmu kalau kamu naik taksi.” Thomas akan basa basi lebih dulu.

Imel tersenyum sambil mengangguk, “Kalau tidak merepotkanmu.”

“Kurasa kita seumuran, apa aku benar?” Saat Imel mengangguk, Thomas malah tertawa, “Kamu sudah menikah? Punya pacar atau tunangan?”

“Tidak. Aku masih guru sukuhan. Aku ingin fokus ke pekerjaanku dan sepertinya itu yang membuatku masih jomlo sampai sekarang.” Imel terkekeh. Satu jurus harus dilesatkan tetap sasaran.

Thomas tersenyum, “Aku juga. Selama SMA di asrama aku hanya bertemu dengan teman pria dan wajib militer juga membuatku sibuk, aku juga tidak punya pacar.” Thomas melirik Gracia, adiknya masih sibuk menghitung, dan dirinya segera mendekati Imel lagi. Menatap Imel setengah mengunci dan segera menyambar bibir Imel singkat, “Apa aku boleh melakukannya kalau kamu tidak punya pacar?”

Imel tersenyum, ternyata menarik perhatian Thomas sangat mudah, “Ya, kita bisa lebih dekat kalau kamu mau.”

Thomas tersenyum lalu berdiri, “Gracia, aku akan ke atas sebentar, sebelum kamu selesai aku akan kembali, okey?” Adiknya hanya mengacungkan jempol saja. Thomas segera mengulurkan tangan ke Imel.

“Mengajakku?” Imel tak paham dengan maksud Thomas.

“Ya. Ikutlah denganku.” Thomas mengajak Imel ke ruang TV, di sana akan banyak pelayan yang bisa melihatnya, dan itu membuat Thomas langsung menarik Imel hingga terjatuh ke pangkuannya, “Aku senang bisa dekat denganmu secepat ini. Apa aku boleh melakukannya?”

Imel tak paham dengan kalimat Thomas, tapi untuk melepas kesempatan emas juga tidak mungkin, dia hanya mengangguk agar kesempatannya untuk menikah dengan pria kaya segera terkabul.

Thomas tanpa segan segera memagut bibir Imel, tangannya juga merayap ke dada Imel dan meremasnya, dia harus memperlihatkan kekuasaannya di rumahnya sendiri.

Emy menyuruh Tuti mengantar teh herbal untuk Thomas, katanya di ruang tamu, tapi baru sampai ruang tengah Tuti sudah tak berani melangkah, “Ya, Tuhan. Tuan Thomas?” Seolah siaran langsung di depannya sangat mengasyikkan untuk dilewatkan.

Mata Thomas terlalu tajam, dengan cepat dia menemukan Tuti dari arah dapur, ditambah dengan Imel yang menengadah, Thomas mulai menjilat leher itu, “Kamu panas sekali, Imel?”

“Hm... terus la... kukan saja, Thomas. Aaahhhh... aku suka, hmmm... sentuhamu....” Imel memejamkan mata. Tak sabar menunggu serangan Thomas yang lebih liar.

Thomas tersenyum, kaos yang longgar itu segera dinaikkan, tak susah membuat bra Imel tak di tempatnya, dan Thomas juga segera mengucup ujung menegang Imel yang berwarna coklat muda itu.

“Oughhh... Thomas. Apa yang kamu... lakukan? Kenapa nikmat—aahhhh... sekali, ahhhh, oughhhh....” Imel memejamkan mata. Dia ingin lebih dari ini kalau sudah digoda begini.

Thomas terkekeh, “Aku hanya melakukan apa yang kamu suka, Imel. Tapi aku ingin kamu merasa nyaman juga, bagaimana jika begini?” Thomas menarik Imel kembali, biar saja di pangkuan sambil mengangkang karena Thomas ingin menyentuh apa yang ada di balik kancut Imel sekarang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel