Pustaka
Bahasa Indonesia

Gelora Panas Tuan Muda

154.0K · Tamat
Luphie Gun
127
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Jauh dari orang tua tak pernah membuatku tenang. Meski banyak pelayan yang mencukup semua kebutuhanku, uang banyak, dan mudah mencari pacar, tak ada satu pun hal yang membuatku puas. Apa yang ada di sekitarku, itulah yang ingin kutiru dan jelajahi, apa salah? Aku hanya menjalankan hidup yang kurasa paling benar, Sayang ....

Novel MemuaskanTuan MudaCinta PaksaLicikDinginGentlemanTersesat/ObsesifMemanjakanDewasaBaper

Desah tak wajar

Jauh dari orang tua tak pernah membuatku tenang.

Meski banyak pelayan yang mencukup semua kebutuhanku, uang banyak, dan mudah mencari pacar, tak ada satu pun hal yang membuatku puas.

Apa yang ada di sekitarku, itulah yang ingin kutiru dan jelajahi, apa salah? Aku hanya menjalankan hidup yang kurasa paling benar, Sayang ....

***

“Ah, ah, ough, Tuannn, oughhh ....”

Thomas, baru malam ini dia mendengar kalimat semacam itu, dan membuatnya langsung terbangun. Suara itu tak reda, bahkan lebih keras dan ditambah dentingan juga, apa itu?

Dengan tubuh agak lemas dan malas, dia turun dari ranjang, membuka pintu dan berniat untuk ke luar, tapi malah menemukan hal yang seharusnya tak dia lihat. “Bukankah itu Tuti? Apa yang dia lakukan? Kenapa berteriak semalam ini? Keras dan berisik, nampan itu?” Thomas berpikir keras, nampan di tangan Tuti sangat berisik dan isinya hampir tumpah, getarannya juga semakin tak beraturan.

Thomas ingin memperingatkan Tuti setelah kegiatan itu selesai. Baru selangkah dan Tuti malah ditarik oleh pria dari pintu lainnya.

“Ough, Tuan. Ough, pel—lan, pel—an saja, Tu—an, ough!”

Thomas menggeleng, dia menutup pintu dan mengurungkan niatnya, dia menutupi kepala dengan bantal agar tak mendengar teriakan Tuti lagi.

***

“Tuan Thomas, nyonya besar telepon Anda tadi pagi, mungkin subuh, Anda tidak mengangkatnya, kenapa?” Emy, kelapa pelayan bertanya pada tuannya.

“Aku lupa tidak menyalakan dana dering, katakan ke mama kalau menelepon lagi, kapan mama pulang, ada hal penting yang harus dibicarakan.” Thomas melahap makanannya dan menoleh ke Gracia, adiknya yang masih SD, “Kamu belum terlambat?”

Gracia menggeleng, “Apa Kakak akan mengantarku?” Ini adalah hari ke dua kakaknya pulang dari wajib militer selama hampir dua tahun setelah kakaknya lulus SMA dan tinggal di asrama.

Thomas mengangguk, “Ya. Kakak akan ke kampus setelah mengantarmu.”

Gracia semakin bersemangat menghabiskan makanannya.

Emy yang duduk di samping Gracia ikut tersenyum, “Bagaimana menurut Tuan Thomas keadaan di sini? Apa ada yang perlu kami benahi?”

“Ya, itu pasti, tapi aku ingin santai dulu selama beberapa hari, dan ...kenapa hampir pekerja tidur di rumah? Bukankah seharusnya ada mes sendiri untuk mereka. Aku membahas mereka bukan membahasmu, Emy.” Thomas tak ingin Emy salah paham.

“Nyonya besar ingin Nona Gracia tak kesepian, karena itu hampir semua pekerja tinggal di rumah, kecuali beberapa pekerja kebun yang sudah menikah, mereka tetap tinggal di mes dekat kebun.” Emy tersenyum kembali.

Thomas mengangguk, “Sudah selesai, Sayang?” Gracia mengangguk sambil tersenyum, “Emy, siapkan tas Gracia, aku sendiri yang akan mengantarnya ke sekolah.” Thomas berdiri dan mengajak Gracia berangkat bersama, memilih mobil yang menurutnya terbaik, dan segera meluncur ke sekolah, “Hati-hati, Sayang. Kalau ada yang membuatmu kesal, telepon aku, okey?” Thomas membuka telapak tangannya untuk mengajak tos Gracia.

“O yei, Kapten!” Gracia bersikap hormat dan memeluk Thomas, baru setelahnya dia berlari masuk.

“Tunggu!”

Thomas berbalik kembali mendengar teriakan itu, tapi dia tak mengenal siapa yang berjalan mendekatinya.

“Namaku Imel, aku gurunya Gracia, apa aku boleh tahu siapa kamu?” Imel mengulurkan tangan sambil tersenyum.

“Thomas, aku kakaknya Gracia.” Thomas bersalahan dengan Imel.

“Aku tidak pernah melihatmu, apa—“

“Aku baru pulang dari wajib militer dan kurasa tidaklah perlu untuk pernah melihatku atau tidak. Kerjakan saja apa yang menjadi tugasmu dan beri tahu aku kalau Gracia membutuhkan sesuatu.” Thomas tersenyum simpul dan pergi. Dia tidak boleh terlambat di hari pertamanya ke kampus.

Imel menahan napas, bagaimana bisa Gracia punya kakak tampan dan sepanas itu? Sepertinya Imel harus memikirkan banyak cara untuk mendapatkan Thomas.

“Untung saja dosennya belum datang, dari mana saja kau?!” Bara, teman sewajib militer Thomas, cukup kawatir sejak tadi.

“Aku nganter Gracia dulu dan semalam tidurku juga gak nyenyak.” Thomas membuka tasnya, hanya untuk berjaga jika dosen tiba-tiba masuk.

“Tidak nyenyak? Kenapa? Kasurmu jadi keras karena tidak pernah kau tiduri? Hahahaha.” Bara terpingkal dengan kalimatnya sendiri.

“Kau tidak akan percaya, aku melihat pembantuku bermain di depanku, dan tanpa malu. Apa kau pikir aku masih bisa tidur juga?” Thomas menggeleng. Dia ingin menambahkan, tapi dosen masuk dan cukup menarik perhatiannya.

“Aku akan mengabsen kalian dulu.” Lylia, bu dosen itu mulai memanggil satu persatu mahasiswanya.

“Lylia.” Nama itu menempel di dada dosen di depannya. “Aku seperti pernah melihatnya, tapi di mana?” Thomas merasa otaknya gatal.

Bara malah terkekeh, “Dia anak pak Broto, komandan yang kemarin membuatmu mandi lumpur selama lima hari sebelum wajib militer kita selesai.” Bara tahu karena pernah suatu masa dia melihat Lylia datang ke tempat wajib militer untuk mengirim makanan ke pak Broto. Bahkan pak Broto sendiri yang mengenalkan Lylia waktu itu karena bukan jam serius, tapi di jam istirahat, dan itu pula yang membuat pak Broto jadi ramah. Tak seperti singa yang sedang kelaparan dan membutuhkan mangsa.

Thomas terkekeh. Sepertinya menyenangkan mendekati Lylia, dan itu seperti yang dia lakukan saat ini, di jam istirahat, “Lylia, boleh aku minta waktumu sebentar?”

Lylia yang baru saja akan meninggalkan kelas, mengerutkan kening sambil melihat pria asing di depannya, “Bukankah kamu seharusnya memanggilku ‘bu’?”

Thomas terkekeh, di kelas ini hanya tinggal dirinya dan Lylia, terlebih lagi tangan Lylia penuh dengan map hasil tugas tadi. Thomas malah semakin berani mendekat dan mengulurkan tangan untuk memainkan rambut Lylia, “Aku yakin umur kita tak jauh berbeda, lagi pula kau tidak pantas dipanggil bu di usiamu, dan nama Lylia juga sangat indah. Kenapa kau harus mengkhawatirkan hal remeh seperti itu?”

Lylia menelan ludah, “Jaga sikapmu. Apa lagi ini di kampus dan kamu masih baru, kan? Hanya karena uang jangan menghinakan setiap orang yang ada di depanmu.”

Thomas terkekeh kembali, “Namaku Thomas, aku hanya ingin kamu tahu dan mengenalku lebih baik,” Thomas menatap Lylia tajam lalu berbisik di telinga Lylia, “dengan begitu sebuah cerita bisa dimulai.” Mencuri satu ciuman di pipi Lylia dan pergi.

Lylia melirik tajam. Tak ingin mengejar atau mengolok, dia hanya mengumpat dalam hati dan berjalan kembali ke kantor, acuh seolah tak pernah terjadi apa pun, karena sadar pria bernama Thomas itu hanya mempermainkannya saja atau bahkan sedang taruhan saat ini.

Thomas ke kamar mandi, memang dan Bara mengatakan akan ke tempat ini tadi, dan apa yang dia temukan malah membuat kepalanya pening kembali.

“Ough! Bara, ah, ya, ya di sana, Bara. Di sana. Oughhhhh, Ba—ra. Aku akan sampai, Bara. Oughhh ...ya, ya, ya, oughhhh ....”