Kejadian di kandang
Thomas mengetuk pintu kamar mandi, “Kau masih lama? Aku akan pergi kalau belum selesai?"
Tahu itu suara Thomas, Bara malah terkekeh, “Kau ...duluan saja, Thom. Aku, ahhhh ...akan menyelesaikan ini dulu, oughhhh, Baby.”
Thomas menggeleng mendengar tamparan yang diyakini pasti di bilah bo kong meski entah di sisi yang mana. Dia tak ingin ketinggalan menjemput Gracia. Tapi bukan adiknya, malah Imel yang ke luar sambil tersenyum untuk menyambutnya, “Adikku belum ke luar?”
Imel mengangguk sambil tersenyum, “Pasti sebentar lagi, tapi sepertinya Gracia memerlukan jam belajar tambahan, dia kurang lincah di nilai matematika dan akan sangat memberatkan kalau dibiarkan begitu saja. Aku bisa membantu kalau kamu tidak keberatan.”
“Tapi Gracia akan tidur di siang hari, kurasa dia juga butuh waktu untuk bermain, bukankah begitu? Terus belajar akan membuatnya pusing.” Thomas tak yakin dengan ucapan Imel.
“Aku bisa ke sana malam hari, sekitar jam enam atau tujuh, bagaimana? Belajar sebelum tidur lebih bagus untuk perkembangan belajar Gracia.” Imel tak akan menyiakan kesempatan ini.
“Kakak!” Gracia berlari mendekat dan memeluk Thomas, “Ayo pulang! Aku sudah lapar.”
Thomas tersenyum, adiknya sangat manis sekali, “Ya, datanglah nanti malam. Tidak akan sulit mencari rumahku, kan?” Thomas langsung mengajak Gracia pulang sebelum Imel menjawab. Dia membiarkan Gracia disuapi oleh Emy, sedangkan dirinya ke belakang untuk melihat kuda, mungkin berkuda akan menyenangkan sore-sore begini.
Tempat jerami dan palung kuda cukup jauh, Thomas sudah menemukan mana yang paling gagah untuk ditunggangi, dia akan memberinya jerami sebelum dinaiki agar lebih bersemangat saat membawanya keliling kebun.
“Ahhhh ...hari ini aku sangat lelah. Kapan semua pekerjaan ini selesai?” Joko, pekerja yang bertanggung jawab di kandang, masuk sambil menggerutu.
Thomas malah bersembunyi, dia sengaja melakukannya karena ingin tahu apa saja yang akan dikeluhkan Joko, dan mungkin akan mengetahui ada apa sebenarnya di rumahnya ini.
“Joko! Kenapa mengeluh? Bukankah gaji kita sangat besar?” Reni menggoda Joko dari jendela di kandang, dia menopang dagu sambil tersenyum, tangannya juga dia gunakan untuk menyebar jerami kering di sisi jendela, itu adalah jerami sisi semalam.
Joko terkekeh, “Kamu ini, Ren. Kapan di sini? Kamu gak sibuk metik jeruk?” Joko masih sibuk mengeruk kotoran kuda dan sisa jerami di lantai agar kandang lebih bersih.
“Jeruk apa? Mendingan rukku lebih menggoda dan legit. Hehehehe.” Reni tertawa sambil menutup mulut, “Joko, kamu tahu gak kalau tuan Thomas tadi pagi sangat aneh.”
Thomas merasa tak suka karena namanya disebut. Sepertinya banyak kesalahan yang harus dibenarkan di rumah ini. Hanya satu yang dia sayangkan, adiknya harus tinggal sendiri dalam waktu yang lama, semoga itu tak membuat adiknya salah arah.
Joko mendekati Reni, “Aneh gimana?” Dia menopang dagu dengan bersandar di jendela yang terbuka itu, berbagi tempat dengan Reni, dia melakukannya sambil memikirkan sebuah permainan yang kiranya akan seru.
“Iyaaaa. Tuan Thomas makan sambil cemberut dan dia—“
Joko malah tertawa, “Sudah! Jangan suka membicarakan yang tidak seharusnya. Bagaimana pun juga tuan Thomas itu juragan kita, tidak pantas bicara seperti itu, bantu aku saja.” Joko pun berbalik dan berniat mengambil garuknya lagi untuk melanjutkan pekerjaan.
“Iya ...iya ...bantu apa?” Reni cemberut sambil menopang dagu dengan ke dua tangan.
Joko menoleh, “Itu kan ada jerami yang mau jatuh, ambil saja, taruh di meja, nanti biar kubersihkan.”
Reni segera meraih jerami di sisi kanan dan kiri papan meja yang terbuka.
Joko terkekeh melihat Reni, segera mendekat dan menutup palungan atas, dan itu sukses membuat Reni terjebak.
“Joko! Apa yang kamu lakukan, Joko! Lepas!” Reno berusaha mengeluarkan dirinya sendiri dari palungan yang menutup itu. Dia tak mau dijagal oleh Joko.
Joko malah tertawa. Dia segera ke luar, memelorotkan celananya, dan membangunkan burungnya secara paksa. Tak menunggu lama, Joko juga meludahi tangan dan menyelusupkan miliknya ke Reni setelah menyibak rok Reni dan memelorotkan kancut tak penting itu.
“Ahhhh! Tolong! Tolong, Joko! Jangan seperti itu! Joko! Ahhhh ...oughhhh, Joko!” Reni malah merancu keenakan merasakan burung Joko yang mulai membelahnya dari belakang.
Thomas tentu saja kaget dengan teriakan Reni. Dia segera berdiri dan berlari mendekati Reni, “Apa? Bagaimana kau bisa seperti ini?” Thomas mencoba membuka palung yang tertutup untuk mengeluarkan Reni dari sana agar tak terus berteriak. Reni terlihat kesakitan dan itu membuat Thomas panik.
“Tuan Thomas! Apa yang Anda lakukan?! Pergi, Tuan Thomas! Oughhhh... gila kau, Joko! Pergilah, Tuan Thomas. Oughhhhh... pergi, Tuan!” Reni sedang tak ingin diganggu sekarang.
Thomas sebenarnya masih ingin membantu Reni, tapi teriakan itu menyakiti hatinya, dan sukses membuat Thomas tersinggung. Dia pun ke luar. Tak akan lagi dia membantu siapa pun dari pada dilempar kotoran seperti ini.
Plak! Joko tertawa, “Milikmu legit sekali, Reni.” Merapikan celananya setelah memukul bokong Reni karena miliknya baru saja muntah. Saat dia ingin masuk kembali ke kandang, malah bertemu dengan Thomas, “Tuan Thomas?!” Kaget, dia pikir hanya berdua dengan Reni tadi, tapi yang dia lihat sekarang?
Thomas hanya menatap Joko tajam, “Selesaikan pekerjaanmu, Joko.” Berlalu pergi. Thomas semakin yakin kalau rumah ini isinya hanya orang sinting. Dia pun ke lantai atas, berharap menemukan udara lebih segar di sana, saat sedang marah seperti ini rasanya tak ingin bertemu dengan Gracia.
“Tuan Thomas?” Susan, wanita yang bertugas mengurus kebersihan perabot sedang memukuli kasur, dia memang sedang menjemurnya tadi. Setiap seminggu sekali semua kasur harus dijemur dan itu sesuai dengan perintah nyonya besar agar kasur tetap nyaman digunakan.
Thomas menghela napas agar emosinya turun, “Kau di sini? Apa masih lama? Aku ingin menikmati angin sore.” Thomas duduk di kursi panjang dan mengambil ponselnya di saku.
Susan tersenyum sambil mengangguk, “Iya, Tuan Thomas. Saya akan turun sebentar lagi.” Bukannya mempercepat pekerjaan, Susan malah kembali memukuli kasur, bahkan dia tak malu menungging di depan Thomas, dia sengaja melakukannya hanya karena ingin menggoda. Selama ini, tukang kebun, sopir, penjaga kadang, dan satpam pun tak ada yang membuatnya puas. Kalau tuan mudanya mampu, meski harus kerja seumur hidup tanpa digaji pun dia akan rela.
Thomas mengerutkan kening melihat tingkah Susan, tapi dia tak mau menegur, hanya penasaran akan sampai mana Susan berani menggodanya.
Tangan Susan menggapai kancing kemejanya, sengaja melepas agar dadanya yang montok terlihat jelas ketika berbalik, dan dia melakukannya sambil tersenyum ke Thomas. Tangannya yang tadi memegangi pemukul, kini merogoh paha, menurunkan kancutnya sendiri, dan mengangkang di kasur sambil menjilati jari telunjuknya sendiri. “Tuan Thomas, apakah Anda mau menolong saya? Saya mohon.”
