BAB 4: DIJUAL PACAR
Keesokan harinya.....
Gara sesuai janji datang tepat waktu ke kantor Bayu. Teman sejawatnya yang tidak memutuskan pensiun dini seperti dirinya. Bayu justru sedang getol-getolnya memperkuat kerajaan bisnisnya di bidang arsitektur sekaligus interior. Tentu saja, kehadiran Gara sebagai konsultan yang membuatnya semakin percaya diri bahwa ia akan mendulang kesuksesan seperti Gara dulu.
“Apa jadinya aku tanpamu, Bung?” puji Bayu, menepuk pundak Gara dengan bangga. Tender yang baru-baru ini ia menangkan tidak luput dari hasil konsultasi pada Gara.
“Jangan terlalu memuji. Kamu menang karena memang kamu layak. Dan... beruntung,” jawab Gara.
“Sialan, kau Gara!” umpat Bayu lalu keduanya tertawa bersama.
Tok! Tok! Tok!
Seketika tawa dua pria berbau uang itu terhenti. Mereka pun kompak melihat ke arah pintu, sebelum kemudian Bayu berseru mempersilahkan orang di luar ruangannya untuk masuk.
“Masuk!” seru Bayu, sesaat kemudian pintu dibuka oleh seorang wanita berwajah oriental dengan stelan blazer formal tapi ketat.
“Permisi, Mas Bayu! Mas Gara,” sapanya.
Sebelumnya, Yimei memang sudah mengatur janji bertemu dengan Gara dan Bayu. Ke depannya mereka akan terlibat dalam urusan pekerjaan. Bedanya, Yimei akan menjadi bawahan Bayu. Sedangkan dengan Gara, ia hanya penawar jasa dan Gara adalah kliennya, di mana Gara membutuhkan Yimei untuk mendesain interior kantor kecilnya di sebelah paviliun juga beberapa interior di dalam paviliun yang ingin diubah nya.
“Oke lah, aku tinggal dulu. Anggap saja kantor kalian sendiri,” pamit Bayu meninggalkan Gara dan Yimei.
Gara hendak menghentikan kawannya itu, tetapi sungguh ia tidak punya alasan untuk menahan Bayu. Entah mengapa, ia merasa canggung jika harus berdua saja dengan Yimei. Padahal, tadi malam ia begitu penasaran pada wanita ini setelah melihat foto profilnya.
“Gawat, ternyata benar-benar besar,” batin Gara usai berpaling dari tatapannya sebelumnya yang membuat kedua bola matanya melotot karena kagum pada bulatan besar padat milik Yimei.
36B, kira-kira segitu ukurannya, atau mungkin lebih. Gunungan bulat seperti bola itu seperti hendak mencuat keluar. Pantas saja tiga kancing kemeja dibiarkan terbuka oleh si empunya.
“Mas Gara, saya Yimei. Bisa kita mulai diskusinya?” tanya Yimei.
“Ha?! Oh, iya-iya. Silahkan,” jawab Gara spontan gagap karena tersentak dari lamunannya.
Gara duduk di sofa disusul oleh Yimei yang duduk di sebelahnya. Gadis itu kemudian mengeluarkan laptop miliknya dan memperlihatkan desain-desain interior buatannya untuk dipilih oleh Gara.
Alih-alih fokus, Gara berkali-kali melirik gundukan bulat mulus yang menyembul itu. Kedua tangannya tidak tahan ingin meremas-remas dan memainkan ujungnya.
“Panas ya, Mas?” tanya Yimei yang menyadari pria di sampingnya mulai berkeringat. Aneh, padahal ia merasa pendingin udara di ruangan itu bekerja dengan baik. Yimei sendiri sama sekali tidak merasa gerah.
“Iya, nih. Gerah banget rasanya. Anu, desainnya aku pilih dulu. Nanti kita diskusikan lagi perubahan yang aku inginkan,” kata Gara hendak menyudahi diskusi dengan Yimei.
Bukan tanpa alasan. Gara merasa kewalahan dengan fantasinya sendiri. Keperkasaan miliknya mulai bereaksi menggeliat sedikit demi sedikit lama-lama pasti akan membesar dan mengeras. Malu sekali jika sampai Yimei menyadari akan hal itu.
“Baiklah kalau begitu. Kabari saya untuk pertemuan berikutnya ya, Mas,” pinta Yimei.
Huuuffff....!
Gara merasa lega setelah wanita berdada montok itu keluar dari ruangan. Ia langsung menghempaskan tubuh di atas sofa guna membuat dirinya kembali rileks setelah berjam-jam tegang, menahan agar joni miliknya tidak memberontak dan minta dicelupkan ke dalam lubang surga milik Yimei.
Sementara itu di kampus.....
Eva tampak murung di sudut perpustakaan yang amat sangat sepi. Minat baca orang-orang di sana memang sangat minim. Eva sendiri sebenarnya tidak ingin membaca. Ia hanya ingin menghindari teman-temannya.
Pertama, ia malu karena belum bisa membayar hutang dan arisan. Kedua, ia tidak punya uang kalau sampai diajak ke kantin oleh teman-temannya. Meskipun perutnya sangat lapar sekarang. Mi instan terakhir miliknya sudah ia masak untuk Dandy. Jadi, sejak kemarin malam, perutnya sama sekali belum terisi apapun kecuali air putih.
“Gini amat, ya? Tau gitu dulu aku kuliah di kampung aja,” sesalnya.
Nasi sudah menjadi bubur. Dulu, ibunya tidak begitu setuju dengan keputusannya untuk berkuliah di kota besar. Namanya orang tua pasti khawatir. Apa lagi, Eva adalah anak tunggal satu-satunya.
Dibesarkan bagaikan putri raja oleh kedua orangtuanya, tetapi diperbudak oleh pria yang baru dikenalnya setahun.
“Hei, Bro! Sendiri aja? Mana bini lu?” tanya Kunto pada Dandy yang sedang merokok di taman belakang kampus.
“Eva maksud lu?” Dandy balik bertanya.
“Iya lah, siapa lagi? Lu kan ke mana-mana biasanya sama dia,” kata Kunto.
“Ada di perpus,” jawab Dandy.
Kunto tidak datang sendiri. Ia bersama dengan sohibnya, yaitu Beno. Keduanya saling tatap dan melempar senyum seperti sebuah kode. Sementara Dandy terlihat murung di balik kepulan asap rokoknya.
“Dan, gue sama Beno tuh sumpah salut sama lu,” celetuk Kunto. “Ya, nggak men?” tanyanya pada Beno.
“Yo i...!” sahut Beno.
“Salut? Salut kenapa? Jangan ngejek gue lu pada!” kata Dandy bereaksi.
“Loh, iya. Dulu, Eva itu pas baru masuk tuh sederhana, cantik sih iya dari dulu cantik. Tapi sekarang, beeeuuhhh!!! Bohay!” cerocos Kunto.
“Semok, cuy! Montok! Udah nggak sederhana lagi, pakaiannya selalu mengundang... Mengundang apa, Men?” Beno mengkode Kunto.
“Mengundang pengen meng-weuwe, uggh!!!” sahut Kunto.
Dandy langsung meradang dan segera membuang puntung rokoknya yang masih setengah.
“Maksud kalian apa, ha?!” sentak Dandy.
“Eits!!! Sabar, Bro! Sabar....,” redam Kunto. “Gue sama Beno Cuma lagi memuji mekanik lu. Cara lu gedein dada dan pantat tuh cewek, T O P — B G T!!! Top markotop!” lanjutnya.
“Jangan macam-macam lu lu pada sama cewek gue!” berang Dandy.
“Tunggu dulu, Dan! Kalem dong!” Beno membujuk. “Gue sama Kunto nggak mau macam-macam, cukup satu macam aja. Lu ada utang sama gue kapan bisa bayar, ha?” tanya Beno.
Kepalan tangan Dandy mengendur seketika. Ia baru ingat kalau belum bayar utang kepada Beno dan Kunto masing-masing 500 ribu rupiah.
“Kalau lu izinin gue sama Kunto nyicipi lubang cewek lu, gimana?” ujar Beno menawar Eva pada Dandy.
“Lu pasang tarif aja, Dan. Kita bukan mahasiswa kere. Kita Cuma lagi pengen uuughhh, sama kembang desa — Eva Rahayu binti Pak Demang, hehe,” ujar Kunto menimpali.
Dandy terdiam dan berpikir. Eva tidak mungkin setuju dan mau disuruh melayani Kunto dan Beno sekaligus. Tapi, hanya dengan begini ia bisa dapat uang secara cepat.
“Oke, 5 juta,” jawab Dandy. “Masing-masing bayar 5 juta. Jadi totalnya 10 juta. Potong utang gue, jadi 9 juta. Transfer sekarang!” lanjutnya. Tetapi Beno dan Kunto justru tertawa terbahak-bahak.
“Maruk lu, Dan! 5 juta untuk rongsokan? Hahaha!” Kunto tergelak mendengar tarif untuk satu celupan pada lubang surga milik Eva.
“Kalian sendiri yang bilang, kan? Kalau Eva itu semok, montok, bohay? Kalau kalian rasakan jepitannya, pasti bakal ketagihan,” balas Dandy.
“Iya – iya. Tapi seisi kampus juga tahu kalau dia itu bekas lu. Cewek bekas lu minta segitu? Jual noh ke pasar loak, haha!” Beno juga tertawa.
Dandy terlihat cemas, takut kalau sampai Beno dan Kunto tidak jadi make Eva, artinya ia akan gagal mendapatkan uang.
“Ya udah, 3 juta,” ujar Dandy menurunkan tarif bercinta dengan pacarnya.
“Lima juta, berdua. Setuju atau batal,” skak Kunto.
Pemuda itu kembali berpikir. Jika demikian berarti masing-masing 2,5 juta. Potong hutang sejuta, setidaknya ia masih bisa mengantongi 4 juta rupiah.
“Setuju!” ucap Dandy.
To be continued.....
