BAB 3: CURHATAN EVA
Gara masih memantau dari monitor komputernya. Berulang kali menghela napas dan masih tidak habis pikir jika gadis yang berasal dari desa tersebut ternyata bisa sebinal itu. Apakah itu murni naluri manusia saat bercinta atau ada yang mengajarinya.
Lewat tengah malam. Terhitung sudah 3 kali permainan kuda romusha terjadi di kamar itu. Dandy tampak terkulai dan tertidur pulas. Sementara Eva terlihat keluar kamar.
“Ke mana dia?” lirih Gara bertanya pada dirinya sendiri.
Segera Gara beranjak dari tempatnya duduk menonton film dewasa secara live sedari tadi. Namun, karena pemeran utama meninggalkan lokasi syuting, jadi Gara penasaran. Ia pun keluar untuk memeriksa ke mana perginya Eva setelah digenjot habis-habisan oleh Dandy.
Baru saja keluar dari pintu paviliun. Ponselnya berdenting. Ada pesan masuk dari orang yang ia tunggu sejak petang.
[Maaf, Mas Gara. Saya Yimei, desain interior yang direkomendasikan oleh Mas Bayu]
[Maaf baru bisa memberi tahu kalau saya tidak bisa datang ke tempat Mas Gara. Ada sesuatu yang mendesak, masalah keluarga. Apa saya masih diberikan kesempatan jika pertemuan diundur besok pagi?]
Gara mengernyit membaca dua pesan tersebut. Alih-alih segera menjawab, Gara malah membuka foto profil pengirim pesan bahkan memperbesar tampilannya.
“Cantik juga,” lirihnya.
Gadis berparas oriental bermata agak sipit dengan lesung pipit di salah satu pipinya mengenakan dress belahan dada rendah. Rambutnya berponi imut sekali. Begitulah kira-kira gambaran foto profil tersebut.
[Besok pagi aku ada janji ke kantor Bayu. Kalau kamu mau, kita ketemu di sana saja]
Akhirnya, Gara memberikan balasan. Tampaknya ia penasaran dengan wujud asli wanita di foto tersebut.
[Terima kasih, Mas Gara. Saya pastikan datang tepat waktu]
Tersungging senyuman di bibir kelimis pria itu membaca pesan balasan Yimei. Sepertinya ia sudah berhasil membuat gadis itu hendak menebus kesalahan karena tidak datang hari ini.
Benda pipih kembali dimasukkan ke dalam kantong. Gara teringat ia harus menemukan Eva yang tadi keluar dari kamar kos. Jangan sampai terjadi apa-apa di tempat usahanya ini. Gara segera mempercepat langkahnya menuju kolam renang.
Benar saja, gadis manis berkulit eksotis itu tengah duduk melamun di tepi kolam renang.
“Belum tidur, Va?” tanya Gara membuat Eva agak kaget.
“Eh, Mas Gara? Iya, nih. Belum ngantuk,” jawab Eva.
“Kata orang, kalau sudah lewat tengah malam masih belum ngantuk, berarti lagi ada yang dipikirin. Eva ada masalah?” tanya Gara.
Diam. Eva merasa sungkan untuk berbagi cerita pada Gara. Apa lagi, ia sudah tiga bulan belum bayar uang kos. Atau jangan-jangan, Gara menghampiri dirinya untuk menagih uang sewa.
“Om, maaf. Eva belum bisa bayar kos,” katanya kemudian.
“Hahaha!” Gara tergelak, tetapi Eva justru terlihat bingung. “Jadi, itu saja masalah mu?” tanya Gara.
“Ya, Om. Itu salah satunya,” jawab Eva kembali murung.
“Salah satunya? Berarti ada lagi yang lain masalah mu?” tanya Gara yang kemudian dijawab dengan anggukan kepala oleh Eva. “Kalau kamu mau, kamu boleh ceritakan padaku. Yaa, biar lega kalau ada yang dengerin. Lagi pula, semua yang ada di sini sudah aku anggap seperti keluarga,” bujuk Gara.
Eva mengangkat wajahnya, menatap pria matang di hadapannya. Sejak delapan bulan yang lalu tinggal di kosan ini, ia tidak pernah sedekat ini dengan Gara — si pemilik kos.
“Orang tuaku lagi kena musibah, Om. Kios bapak kebakaran, jadi mereka belum kirim uang untuk Eva. Kalau sudah dikirim, pasti Eva bayar uang sewanya,” katanya lagi-lagi mengungkit soal uang sewa. “Eva juga terpaksa pinjam sana sini untuk kebutuhan. Nggak tau mau sampai kapan,” ujarnya sedih.
“Banyak?” tanya Gara terdengar kepo.
“Awalnya kecil-kecil, Om. Seratus, dua ratus. Tapi, makin ke sini semakin besar saja jumlahnya. Salah Eva juga ikut arisan mahasiswa, ikut komunitas ini dan itu, lalu aku mulai nggak bisa mengendalikan kebutuhan. Eva salah, Om. Eva salah karena terlalu menggampangkan sesuatu. Eva pikir kalau bapak di kampung kirim uang, Eva bisa bayar hutang dan lainnya. Ternyata situasi di kampung lebih parah ketimbang yang ada di bayangan Eva. Bapak setelah kebakaran kiosnya. Sekarang, alih-alih mau bayar hutang, Om. Eva lagi pusing mikirin gimana caranya bertahan hidup dan tetap lanjut kuliah dengan cara Eva sendiri,” terangnya yang akhirnya curhat pada pemilik kos ia tinggal.
“Oh, begitu rupanya. Pertanyaannya ku yang tadi belum dijawab. Soal berapa banyak?” Gara menagih.
Eva menggeleng. Sepertinya ia sendiri tidak pasti dengan jumlah hutangnya karena tercecer di sana sini.
“Eva nggak gitu yakin, Om. Tapi, kalau 25 juta mungkin ada, atau mungkin lebih. Entahlah, Om,” jawabnya pasrah.
“Lumayan juga, ya?” sahut Gara. Ekspresinya manggut-manggut seperti itu sebenarnya bukan jumlah yang besar baginya. Namun, untuk mahasiswi usia belia seperti Eva yang datang dari kampung, jelas itu jumlah yang besar. Bisa untuk hidup satu semester kurang lebihnya.
Tidak puas dengan cerita Eva. Pria itu kembali menagih. Yang sebetulnya ingin ia dengar adalah curhatan gadis itu tentang pemuda yang kini tidur di dalam kamar kosnya. Gara merasa jika Eva bukan karena senang hati melakukan setiap adegan panas yang direkam. Pasti ada alasannya.
“Eva yakin hanya itu masalah mu?” tanya Gara.
“Maksud, Om?” tatapnya dengan ekspresi terkejut.
“Nggak, aku Cuma memastikan kalau masalahnya Cuma soal keuangan, aku maklum kalau kamu belum bayar uang sewa,” jawab Gara, berbeda dengan yang ada di dalam pikirannya.
“Terima kasih atas pengertiannya, Om. Ya, memang itu saja masalah Eva,” ujar gadis itu sedikit lega. Tadinya, ia sempat mengira bahwa Gara tahu masalahnya yang lain. Masalah yang jauh lebih besar sebenarnya adalah perbudakan yang dilakukan kekasihnya terhadap dirinya. Tapi, tentu saja Eva tidak akan menceritakan hal tersebut karena malu.
“Iya, sama-sama. Santai saja,” kata Gara. “Terus, tadi kamu ada bawa teman, ya? Menginap?” tanya Gara yang sebenarnya sudah tahu kalau teman yang dibawa Eva adalah ukhti jadi-jadian.
Deg!
Eva langsung gelagapan tidak siap dengan pertanyaan tersebut. Walaupun Dandy sudah menyamar sebagai ukhti bercadar, tapi bagaimana jika tiba-tiba sekarang Gara meminta temannya itu keluar kamar? Padahal ia tahun kalau Dandy saat ini tengah tertidur pulas yang hanya menyisakan celana dalam saja.
“Oh, itu tadi ... anu, Om. Temen Eva dari komunitas peduli lingkungan hidup. Tadi abis ada kegiatan, terus rumahnya jauh. Boleh kan, Om? Dia nginep di sini?” Eva menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya.
“Boleh. Kalau temennya sesama perempuan tentu saja boleh,” jawab Gara.
Deg! Eva kembali tercekat. Seolah pria di hadapannya kini sebenarnya tahu kalau dirinya sedang berbohong.
“Oke lah! Mulai dingin di sini. Aku mau masuk, kamu sebaiknya juga masuk ke kamar mu. Jangan sampai sakit,” kata Gara.
“Terima kasih, Om,” jawab Eva. Lega karena Gara tidak memperpanjang percakapan keduanya, Eva refleks mengendurkan bahu. Namun, tiba-tiba Gara menghentikan langkah dan kembali mendekat.
“A — ada apa, Om?” tanya Eva kembali tegang dan gugup. Pria itu lalu mendekatkan wajahnya ke arah telinga Eva.
“Seperti yang tadi kubilang kalau semua penghuni kos di sini sudah ku anggap sebagai keluarga. Jangan ragu untuk meminta bantuan padaku. Aku hanya nggak ingin, kamu tenggelam lebih dalam lagi, Eva,” bisik Gara.
Gadis itu membeku seketika. Bahkan ketika Gara membelakangi nya lalu pergi, ia masih terbelalak tak bergeming. Netranya berkaca-kaca antara terharu dan juga takut.
“Apa yang telah diketahui Om Gara tentangku?” batinnya.
To be continued.....
