Perjanjian Pra Nikah
“Ku rasa ucapan ku tadi sudah cukup jelas. Setuju tidak setuju kau harus menandatanganinya.”
“Kenapa sekarang, Tante sangat berbeda?” tanyana menatap nanar Tante Chika.
“Ha-ha-ha, lucu sekali pertanyaanmu.” Tante Chika sampai mengusap matanya karena embun yang muncul seketika karena tertawa.
Lucu dari mananya?
Tante Chika menghentian tawanya. “Kau harusnya tahu jika aku bukan yang dulu,” jawabnya tanpa menatap Naldo. Lantas ia menegakkan tubuhnya dan menatap Naldo dengan senyum tipis yang mengerikan bagi Naldo. “Pikiran ku yang sempurna dibalik kenyataan adalah sebuah program. Kau tidak akan pernah mengerti,” ujarnya dan mengalihkan pandangannya pada map yang di pegang Naldo.
Entah apa yang terjadi selama ini pada Tante Chika sampai ia bersikap seperti itu.
“Bukankah akan sangat menguntungkan bagimu menandatanganinya?”
Memang banyak hal yang menguntungkan bagi Naldo di Perjanjian pra nikah itu. Namun, ada beberapa hal yang membuat Naldo tidak setuju, yaitu. Jika Naldo melanggar satu saja dari perjanjian itu, Naldo akan berurusan dengan hukum dan kehilangan masa depannya. Ibunya, bahkan kuliahnya akan sia-sia. Sementara salah satu di antara perjanjian itu Naldo seperti di kekang untuk melakukan sesuatu. Naldo tidak boleh beteman dengan wanita sementara Amerta, Naldo menyayangi gadis itu, sulit bagi Naldo menghapus pertemanan yang sudah lama terjalin, apalagi tidak masalah di antara mereka dan hanya Amerta teman satu-satunya.
Naldo terpaku dengan balpen di tangan yang bergetar.
“Kau begitu mudah menandatangani surat perjanjian saat kau mendapatkan beasiswa. Lantas, mengapa kau terlihat ragu dengan surat perjanjian pra nikah kita? Padahal kau akan menyelamatkan nyawa ibumu?”
Tante Chika menggeser duduknya semakin mendekati Naldo. Ia mendekatkan wajahnya pada telinga Naldo hingga Naldo merasakan hembusan napas Tante Chika di telinganya sampai ketika bisikan terdengar lembut, tapi mematikan.
“Bukankah yang kau dapatkan ketika kau melanggar perjanjian saat kau mendapatkan beasiswa adalah ancaman jika beasiswa mu di cabut. Apa bedanya dengan ini yang itu artinya nyawa ibumu di cabut dengan cepat?”
Jantung Naldo bergemuruh hebat . Ia dengan ragu berkata, “Aku hanya punya satu teman di kampus. Amerta satu-satunya teman yang merangkul ku di saat orang lain menindasku, jadi ku mohon izinkan aku berteman dengannya. Aku berjanji tidak akan pernah menaruh perasaan cinta padanya.”
“Tidak akan ada pertemanan wanita dan lelaki yang tidak melibatkan perasaan.”
“Aku berjanji.”
Naldo menatap Tante Chika menghelas. Naldo tidak ingin merusak hubungan baiknya dengan seseorang. Mungkin akan sangat menyakitkan bagi Amerta ketika tiba-tiba Naldo menjauhinya tanpa alasan yang jelas. Apalagi pernikahan ini di rahasiakan yang itu artinya Naldo tidak bisa menjelaskan pada Amerta jika ia menjauhinya karena larangan istrinya.
Tante Chika akhir menghela napas dalam. Ia melihat ketulusan di mata Naldo, terlihat sekali ia sangat menyayangi temannya itu hingga membuat Tante Chika khawatir Naldo memiliki peasaan lebih pada gadis itu. Tante Chika sudah menunggu Naldo sangat lama dan Tante Chika selama ia menikah dengan suaminya ia terus memikirkan bayang-bayang Naldo. Ia bersembunyi di balik sikap tulus, mencintai suaminya adalah konspirasi terbesar dalam hidupnya demi harta warisan.
Nyatanya hatinya sudah terpaut begitu dalam pada koponakannya sendiri sejak lama.
"Aku akan memberikan kesempatan, tapi jika itu terjadi. Aku harap kau tahu resikonya," sahut Tante Chika pada akhirnya.
"Aku tidak akan pernah mengecewakan kesempatan itu."
Naldo tersenyum tipis. Tanpa ragu ragi ia langsung menandatangani perjanjian pra nikah itu. Naldo tahu batasannya, sekarang ia adalah suami dan ia harus bertanggung jawab dengan hatinya. Ia harus menerima Tante Chika walau sulit.
Lagi pula meski Naldo berteman dengan Amerta, ia tidak sedekat itu sampai menceritakan latar belakangnya. Amerta hanya mengetahui Naldo mahasiswa miskin yang baik dan bisa kuliah di sana karena kualitas diri dan kepintarannya hingga Naldo mendapatkan beasiswa.
"Ini." Naldo menyerahkan kembali map di tangannya.
Dengan perasaan kecewa Tante Chika meraih map itu. Ia berharap memang hanya Amerta teman dan bisa di pastikan tidak ada rasa di antara mereka.
Naldo berlarian mencari angkot. Susah sekali, ia harus pergi ke jalan raya dulu untuk mendapatkan kendaraan. Banyak taksi berlalu lalang, tapi itu bukan tujuan. Karena Naldo tidak sanggup membayar taksi.
"Aku pasti akan telat," ujarnya dengan menghela napas kasar.
Naldo melihat angkot di sebrang jalan. Ia segera datang ke sana, nyaris saja ia tertabrak kalau mobil yang lewat itu tidak mengerem mendadak.
"Mas, kalau nyebrang itu liat-liat dong." Seorang supir keluar dari dalam mobil mewah dengan seragam supir yang ia kenakan sudah dapat di tebak jika ia supir.
"Ma, Pak. Saya buru-buru," Naldo ingin pergi saja, tapi ia merasa bersalah. Terlebih angkot yang ia perhatikan sudah jalan. Naldo tidak sempat mengejarnya.
Sepertinya hari ini akan menjadi akhir dari pekerjaannya setelah akhir dari prinsip yang ia pegang.
"Buru-buru sih buru-buru, Mas. Tapi gimana kalau terjadi kecelakaan karena kecerobohan, Mas yang nyebrang sembarangan?!"
Supir itu terlihat marah. Pasalnya ia membawa seseorang yang sangat penting.
"Saya benar-benar minta maaf, Pak." Naldo menangkapkan tangannya di dada berharap supir itu memaafkannya.
Seseorang mempehatikan Naldo dari dalam mobil, ia menyerengit melihat wajah Naldo. Lantas, entah apa yang membawanya turun seiring tatapan yang tidak henti menatap Naldo.
"Eh, Pak."
Sopir itu nampak kaget ketika seorang pria berjas keluar dari dalam mobil dan menghampirinya.
"Kenapa tidak menunggu di dalam saja, Pak. Biar ini saya yang urus ini."
Namun, seorang pria dengan tubuh tegap dan setelan jas ini tidak menghiraukan supirnya, tapi tatapannya malah terus menatap Naldo.
Dengan segala kewibawaan orang itu membuat Naldo takut dan menundukkan kepalanya.
"Sa-saya minta maaf, Om. Saya tidak tahu kalau akan ada mobil lewat, saya sedang buru-buru untuk mengejar angkot," ujar Naldo.
Seketika pula ada yang berdesir seiring ia melihat pria senja di depannya, suaranya basnya berhasil menggetarkan hati Naldo. Hey, Naldo lelaki normal, tapi kenapa merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya berhadapan dengan pria itu.
Apa karena kewibawaannya membuat Naldo merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya.
"Kamu mau kemana?" tanyanya sembari memindai penampilan Naldo dari atas sampai bawah.
"Sa-saya mau pergi ke restoran tempat saja bekerja, Om."
"Dimana?"
"Di jalan simpang."
"Yaudah mari barengan, saya juga mau mampir di ke sana," ajaknya hingga membuat supirnya membuka matanya tidak percaya.
Bukannya bosnya ini akan pulang dan rumahnya di kompleks daerah sini. Tapi kenapa malah mau mampir ke restoran yang jelas jalannya saja jauh dari sini.
"Ta-tapi." Naldo terlihat ragu ikut dengan orang asing.
