Di Pecat
“Saya bisa cari angkot lain saja. Terima kasih tawarannya. Mohon maaf sekali lagi untuk yang tadi,” ujar Naldo dengan tulus.
“Tidak apa-apa, jika perjalanan kita searah bareng saja, ayok.”
“Eh.”
Seketika Om itu menarik tangan Naldo dan membawanya ke dekat mobil. “Ayo masuk,” ujarnya sembari membukakan pintu untuk Naldo. Naldo jadi tidak nyaman di paksa bareng dengan om-om.
Sementara supir itu nampak mematung melihat bosnya memaksa Naldo ikut. Tidak biasanya.
“Kamu kenapa diam saja?”
“Eh, I-iya.”
“Om, aduh saya jadi tidak enak.”
“Kenapa harus tidak enak?”
“Nanti kalau sepatu saya mengotori mobil, Om bagaimana?”
Naldo melihat sepatunya yang ujung dari sepatu itu sudah ada beberapa robekan kecil. Telapak sepatu Naldo memang kotor karena debu, tapi tidak kotor banget sampai Naldo harus merasa tidak enak. Namun, karena sering di olok-olok dan di anggap seperti debu membuat Naldo selalu hati-hati ketika berada di tempat-tempat tertentu, seperti ada trauma dalam dirinya hingga Naldo takut di perlakukan sama oleh orang baru.
“Sepatumu tidak kotor.” Ia ikut memperhatikan sepatu Naldo dan mengusap bahu Naldo.
Naldo melirik, Om itu juga melirik Naldo. Hingga pandangan mereka bertemu. “Jika kau menggangap sepatumu kotor, lantas bagaimana dengan sepatu saya?” Om itu tersenyum hingga membuat perasaan Naldo sedikit tenang.
“Oh, iya. Kita belum saling mengenal.”
Menyodorkan tangannya. Naldo melihat tangan itu, ia lantas mengelap tangannya pada celanannya lalu menerima sodoran tangan om itu. Hal yang membuat pria yng tidak Naldo kenal itu tersenyum semakin lebar.
“Saya Naldo, Om.”
“Saya Vincent William,” jawabnya. “Sudah lama bekerja di sana?”
“Lumayan lama, Om.”
Rentetan pertanyaan pun masuk ke telinga Naldo, Naldo tidak sama sekali curiga atau apa pun karena mungkin itu adalah hal wajar untuk sebuah pertemuan pertama agar saling lebih mengenal. Dan Naldo juga menjawab sewajarnya saja dengan hati-hati. Tentu saja Naldo sangat menjaga privasi, ia tahu mana yang harus di ceritakan dan mana yang harus di ungkapkan.
Sepanjang perjalanan menuju tempat Naldo berbincang-bincang, Naldo tidak banyak bicara selain menjawab pertanyaan Om William. Namun, ia mendengarkan setiap cerita Om William.
“Om punya istri, tapi dia meninggal saat melahirkan.”
“Lalu anak, Om?” Naldo tidak ingin bertanya sebenarnya, apalagi melihat wajah sedih Om William. Namun, karena Om William sendiri yang menceritakannya membuat Naldo penasaran.
“Anak, Om hilang saat pemakaman ibunya. Padahal Om sudah menyuruh suster dan sodara Om untuk menjaga, tapi mereka juga ikut menghilang,” jawabnya terdengar rilih.
"Maaf," rilih Naldo.
"Kenapa harus minta maaf?"
"Aku membuat Om teringat masa lalu," ujar Naldo.
Naldo sebenarnya penasaran mengapa anak Om William bisa hilang, ia ingin bertanya lagi, tapi ia juga tidak ingin membuat Om William semakin sedikit, jadi ia urungkan.
"Om yang menceritakannya. Tidak tahu mengapa Om merasa nyaman bercerita dengan mu," ujarnya sembari menatap netra Naldo dalam.
Ada sesuatu yang membuat ia merasa nyaman dengan lelaki muda yang baru saja ia temui ini. Meski di saat ia menanyakan keluarganya Naldo tidak menceritakannya, tapi tiba-tiba dia yang malah menceritakan keluarganya. Naldo menjadi pendengar yang baik, ditambah lagi wajah Naldo memiliki kemiripan ya almarhum istrinya membuat Om William merasa ada sesuatu yang janggal dengan Naldo.
Naldo memalingkan mukanya tidak berani terus-menerus menatap Om William. Ia tidak mengerti mengapa Om William terus menatapnya.
Sampai di depan restoran Naldo bicara. "Mari, Om."
"Kamu duluan aja," ujar Om William.
"Kenapa?"
"Bukannya kamu buru-buru?"
"Ah, iya." Naldo cengengesan dan segera melepaskan salbetnya.
"Terima kasih, ya. Sudah jadi pendengar yang baik."
"Iya, Om. Kalau, Om butuh teman cerita Om bisa temui aku di sini. Aku siap jadi teman cerita yang baik untuk, Om. Hehe."
Naldo terkekeh di akhir ucapnya karena ia juga tidak tahu kalau ini adalah hari terakhirnya bekerja di sini atau tidak. Pasalnya ia sudah sangat terlambat.
"Tentu."
"Terima kasih tumpangannya, Om."
Naldo segera turun dan setengah berlari ia masuk. Sampai di dekat kasir Naldo bertemu dengan Mokai.
"Do, Lo baru datang?"
"Iya, sorry. Gua telah," ujar Naldo dengan panik.
"Lo di tungguin bos tuh di ruangannya."
"Aduh."
"Lo pake telat sih."
"Ya gimana. Yasudah, ya. Gue ke sana dulu."
"Tenanglah."
Mokai mengusa bahu Naldo, mencoba menenangkan Naldo agar Naldo tidak panik.
"Thanks."
Naldo segera datangi ruangan bos-nya. Ia menunduk saat sudah ada di depan Bu Kinan.
"Kau tahu jika ini adalah kesempatan terakhir yang ku berikan?"
"I-iya, Bos. Tolong jangan pecat saya, Bos. Saya minta maaf. Tadi saya tidak mendapatkan angkot," ujar Naldo.
Bu Kinan adalah manajer di restoran itu, ia yang mengatur semua karyawan dan ia berhak memecat karyawan mana saja yang tidak dapat disiplin seperti Naldo. Dia wanita berusia 35 tahun yang sebutannya ingin di panggil bos oleh semua pekerja, entah kenapa. Bu Kinan menatap Naldo, ia sebenarnya kasihan pada Naldo, tapi karena kesalahan Naldo sudah begitu banyak membuatnya tidak bisa mempertahankan Naldo lagi.
"Ini ambillah, saya sudah memberikan lebih. Carilah pekerjaan yang tidak memberatkan mu," ujarnya sembari menyodorkan amplop putih di depan Naldo.
Bu Kinan tahu dari Mokai kalau Naldo bekerja untuk pengobatan ibu, Bu Kinan juga tahu siang Naldo harus berkuliah. Ia merasa kasihan dengan Naldo karena Naldo pasti sangat lelah dengan semua yang ia kerjakan. Bukan tidak ingin memberi kesempatan lagi, selain Naldo tidak disiplin Naldo juga berhak mendapatkan pekerjaan yang tidak melelahkan seperti ini.
Lihatlah kantung mata Naldo, sudah seperti panda saja karena kurang tidur. Padahal jika Naldo bisa tidur dengan teratur dan pandai merawat diri, Naldo pasti terlihat sangat tampan.
"Tapi, Bos. Saya sangat butuh pekerjaan ini."
"Keputusan saya sudah bulat dan tidak bisa di ganggu gugat. Salah sendiri Kenapa kamu tidak disiplin dalam bekerja."
Sepertinya sia-sia saja Naldo memohon. Ia pelan mengambil amplop itu. "Terima kasih, Bos. Atas kesempatannya dan semuanya."
Naldo pergi, ia dengan lesu keluar dari ruangan Bu Kinan. Lantas, ia menemui Mokai yang sedang ada di dapur.
"Gimana?"
Naldo menggeleng-gelengkan kepalanya. Mokai langsung memeluk Naldo. Bagaimana lagi, Naldo sudah di beri peringatan sedari awal. Mokai hanya bisa memberi semangat pada Naldo sebelum akhirnya ia meninggalkan tempat itu.
Naldo pulang lewat belakang. Ia berjalan dengan lesu menyelusuri jalan raya. "Maaf, Tan. Sepertinya aku bukan suami yang bisa bertanggung jawab. Bahkan untuk mahar saja kau yang siapkan, lalu sekarang. Aku mungkin tidak bisa menafkahi setelah setiap saat saja kau yang memberikan ku uang," sesal Naldo.
Naldo tidak langsung pulang ke rumah Tante Chika, sebelum Naldo berangkat Tante Chika mengatakan Naldo harus pulang ke rumahnya, tapi Naldo pergi dulu ke rumah sakit untuk melihat keadaan ibunya. Setelahnya baru Naldo pulang ke rumah Tante Chika setelah mampir sebentar ke rumahnya untuk mengambil baju. Beruntungnya di rumah itu tidak ada siapa-siapa, entah kemana Taksa jadi Naldo bisa bebas.
Sampai di rumah Tante Chika, Naldo langsung masuk. Baru jam 10 malam, tapi Naldo merasa segan untuk pergi ke kamar Tante Chika.
"Nyonya sudah menunggu Anda, Tuan."
Mendengar ucapan Bibi yang membukakan pintu untuknya saja sudah membuat Naldo kalut.
"I-iya, Bi."
Naldo berjalan dengan ragu mendekati kamar Tante Chika. Jantungnya bergemuruh hebat seiring langkah yang membawanya. Ia mengetuk pintu kamar Tante Chika dengan ragu.
"Masuk." Suara dari dalam membuat Naldo menggigit bibir bawahnya.
"Tenanglah Naldo," gumam Naldo sembari menekan kenop pintu.
