Map Biru
Naldo di bawa ke ruangan yang di sana ada beberapa orang sedang duduk di karpet, duduk di samping Tante Chika. Naldo seperti pengantin perempuan yang datang terlambat sementara pengantin prianya sudah menunggu. Salahkan tantenya yang membuat semua ini terjadi yang bahkan tidak memberikan Naldo kesempatan untuk bicara.
“Jadi bisa kita mulai saja sekarang,” ujar bapa-bapa tambun yang memakai setelan jas dan peci hitam di kepalanya.
“Tentu saja, Pak,” jawab Tante Chika.
Jantung Naldo berdetak semakin cepat. “Tante,” rilih Naldo berbisik.
“Kenapa?”
“Tidakkah kita bicara dulu?”
“Tidak!”
Naldo menelan saliva dengan susah payah. Aura Tante Chika terasa sangat dingin, Naldo seharusnya tahu jika sedari di perjalanan tadi sikap Tante Chika memang sudah memancarkan aura kutub utara.
Naldo jadi merinding sendiri, lagi pula mengapa ia harus menikah dengan wanita semacam macan tutul itu. Sudah tua, kejam lagi.
Naldo menangis dalam hatinya. Perinsip yang ia jaga sepertinya akan patah sebentar lagi.
"Sudah siap?" tanya penghulu itu.
Naldo menganggukan kepalanya dengan ragu. Ia menjabat tangan wali hakim Tante Chika. Tidak banyak orang di sana, hanya wali hakim yang itu artinya penghulu itu dan empat saksi juga bibi.
Keringat dingin bermunculan dari dahi Naldo, sepertinya suhu ruangan yang terasa dingin karena AC tidak berlaku apapun pada Naldo. Buktinya ia sampai berkeringat dan telapak tangan yang basah.
Setengah melirik tante Chika yang nampak tidak peduli dengan diamnya membuat Naldo semakin kebingungan, pernikahan macam apa ini?
"Saya nikahkan sodara Naldo Roy Purba bin ...."
"Sa-sa-saya." Untuk kedua kalinya Naldo tergagap mengucapkan ijab kabul hingga membuat Tante Chika kesal dan khawatir Naldo gagal.
"Aku tidak akan segan untuk membuat mu gagal dalam perjuangan mu mengobati ibumu," ancam Tante Chika.
Naldo menelan salivanya dengan susah payah mendengar bisikan dengan suara lembut, tapi menakutkan itu di telinganya. Ia melihat catatan yang di serahkan Penghulu.
"Ini kesempatan terakhir, saya harap bisa lancar. Sambil baca juga tidak apa-apa."
Naldo menjabat tangan Penghulu itu kembali. Dengan perasaan takut gagal ia melihat cacatan itu.
'Demi Ibu, jangan sampai kegagalan kembali terjadi,' batin Naldo.
Sembari melihat cacatan itu, Naldo akhirnya bisa dengan lantang mengucapkan ijab kabul sampai kata Sah terucap dari para saksi. Meski Naldo merasa pernikahan ini tetap tidak sah. Bagaimana bisa sah, sementara salah satu persyaratan menikah adalah keikhlasan dari dua mempelai. Sedangkan Naldo melakukan ini karena terpaksa.
Sampai doa selesai Tante Chika mengambil tangan Naldo dan mengecupnya. Terasa sangat aneh bagi Naldo karena dulu, Naldo kecil yang mengecup tangan itu.
Usia mereka terpaut jauh, Tante Chika jelas 11 tahun lebih tua dari Naldo. Ketika gadis itu SMA Naldo baru SD, Naldo selalu mengecup tangan Tante Chika ketika ia akan berangkat sekolah. Dan sekarang ....
"Kenapa, Tante tidak mengatakan sebelumnya jika kita akan menikah hari ini?" tanya Naldo setelah semua orang pergi.
"Penting?"
"Tentu saja, yang menikah itu aku dan Tante. Yang itu artinya kita. Bukankah seharusnya kita sama-sama memutuskan kapan akan menikah? Bukan hanya keputusan sepihak?"
"Keputusan itu jika seandainya tidak ada perjanjian di antara kita. Aku sudah membayarmu jadi terserah aku memutuskan kapan. "
Naldo langsung terdiam dan menunduk. Seharusnya ya memang sadar dari awal.
"Bi, Tolong ambilkan map warna biru di kamar saya."
"Baik, Nya."
Tante Chika bersandar di sandaran sofa sembari memainkan ponselnya. Sementara Naldo di buat canggung dengan keadaan ini, mereka begitu cuek tidak seperti pengantin baru pada umumnya.
Naldo hanya diam dengan menggosok-gosokan telapak tangannya ke paha. Tatapannya melihat setiap penjuru ruangan itu.
Naldo tidak pernah masuk ke rumah semewah ini sebelumnya. Hingga ia tidak menyia-nyiakan kesempatan menikmati kemewahan sesaat ini.
"Sudah berapa lama kau berteman dengan wanita itu?" tanya Tante Chika seketika.
Naldo langsung menoleh dan menelan salivanya. Takut salah bicara Naldo tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak untuk merangkai kata.
"Satu tahun ini," jawab Naldo.
Mereka memang dekat baru-baru ini. Dulunya Naldo dan Amerta tidak sedekat itu karena Amerta masih suka main bersama teman-temannya, tapi lambat laun Amerta selalu memperhatikan Naldo dan mendekati Naldo hingga mereka berkenalan dan berteman.
"Apa kau menyukainya?"
Naldo di buat kalut. Di jawab takut seperti tadi, tidak di jawab sikap Tante Chika sama saja, wanita memang sangat aneh.
'Tante Chika kenapa sih tanya-tanya Amerta terus?' batin Naldo.
"Iya, aku tidak akan berteman dengannya jika aku tidak menyukainya, Emm sebagai teman. Karena dia sangat berbeda dengan teman-teman yang lain, dia baik," ralat Naldo cepat-cepat.
Setengah melirik tante Chika yang masih fokus panda ponselnya. Lantas, Naldo kembali memalingkan muka. Ternyata Tante Chika bertanya dengan keadaan fokus pada gawai.
"Memangnya teman-teman yang lain kenapa?"
Sebelum Naldo menjawab bibi datang dengan map di tangannya. Ia menghampiri Tante Chika dan menyerahkan map itu.
"Ini, Nyonya."
Tante Chika menyimpan gawainya dan mengambil map dari tangan bibi. "Terima kasih, ya, Bi."
"Iya, Non."
Bibi pergi dan Tante Chika membuka map biru itu. Naldo berpikir jika map itu adalah bahan pekerjaan Tante Chika.
"Apa aku boleh pergi bekerja sekarang?" tanya Naldo.
Sebentar lagi jam masuk kerjanya. Meski ia baru saja menikah, tetapi karena pernikahan ini mendadak membuat Naldo tidak izin dulu pada bosnya. Gaji Naldo sudah di potong, Naldo tidak ingin melakukan kesalahan lagi hingga membuatnya kehilangan pekerjaan.
"Seharusnya kau tahu ini hari pengantin kita," seru Tante Chika.
"Em, aku tidak izin untuk tidak masuk kerja tadi, jadi aku pikir aku akan masuk dulu hari ini," rilihnya berharap Tante Chika mengijinkannya.
"Baiklah, tapi kau harus tanda tangani dulu surat ini, setuju tidak setuju dengan isi di dalam kau tetap harus menandatanganinya!"
Tante Chika menyerahkan map itu pada Naldo. Naldo menatapnya. Entah apa lagi isi surat itu sampai Naldo harus terpaksa menandatanganinya.
"Kenapa?" tanya Tante Chika karena memperhatikan Naldo masih terpaku menatap map yang ia sodarkan tanpa menerimanya.
"Ini map apa, Tante."
"Utamakan membaca sebelum bertanya."
"Ba-baik, Tante."
Naldo akhirnya dengan ragu mengambil map itu dan membukanya.
Tante Chika tersenyum manis tanpa sepengetahuan Naldo, ia begitu menyukai sipat Naldo. Andai orang-orang yang menghina Naldo di kampus mengenal Naldo lebih dalam, mungkin mereka akan menemukan sesuatu yang membuat mereka nyaman berteman dengan Naldo. Seperti halnya yang terjadi pada Amerta dan Tante Chika. Namun, itu hanya seandainya.
Naldo memindai satu persatu tinta hitam di atas putih itu dengan seksama. "I-ini, ke-ke-kenapa?" seketika suara Naldo tergagap membaca surat itu.
