Pergi Ke Bank
“Ahhh,” ringis Naldo ketika perunya mendapatkan bogeman mentah Drew.
Naldo tersungkur sambil menahan perutnya. Tangannya menggenggam dengan amat keras menahan emosi yang memuncak. Namun, ia tahu ia tak bisa melakukannya. Kalau tidak, beasiswa yang ia dapatkan bisa dicabut dan pupus sudah harapannya menjadi sarjana demi membahagiakan sang ibu.
“Berani-beraninya lo ganggu cewek gue,” sinis Drew sembari mengusap tangannya dengan wajah songong.
Drew adalah mahasiwa yang sok kaya di kampus itu, ia yang paling dominan meneraktir atau bahkan bersikap paling berlaga.Bahkan tidak segan menindas mahasiwa lain yang tidak nurut padanya saat ia memerintah, gayaknya seperti anak raja yang ingin terus di layani, ia sok layaknya ia adalah pemilik kampus yang bebas melakukan apapun yang ia inginkan, seakan-akan dia berkuasa.
“Gue enggak ganggu,” sangkal Naldo sembari akan berdiri.
Tatapannya tajam menatap Drew. Ia hendak bangun, tapi Drew dengan cepat menginjak dada Naldo sampai Naldo meringis kesakitan. Ia memegang sepatu Drew di dadanya.
Semua orang yang ada di sana juga diam saja, hanya melihat tanpa mau melerai.
“Heh, lo jangan gitu sama Naldo!” Amerta berusaha membantu dengan menarik tangan Drew agar Drew menjauh dari Naldo.
Namun, bukannya Drew yang menjauh, Drew malah mendorong Amerta sampai Amerta jatuh.
"Mer." Naldo segera bangkit ketika kaki Drew lepas dari dadanya. Ia segera menghampiri Amerta dan membantunya berdiri.
"Romantisnya," ejek Fay dengan wajah mencemooh.
Seketika semua yang orang yang ada di ruangan itu tertawa terbahak-bahak. Namun, terasa hambar di telinga Naldo, mungkin tawa mereka terpaksa hanya agar Fay tidak malu telah mengejek Naldo, tapi tidak ada yang menanggapi. Terlebih yang paling utama mereka takut.
"Brengsek." Naldo marah, ia tidak bisa menahan amarahnya lagi.
Naldo hendak memukul Drew, tapi Drew buru-buru menghindar dan menertawakan Naldo, ia menarik kaos bagian dada Naldo. Drew memukul pipi Naldo, Lagi dan lagi sampai Naldo kesakitan.
"Berhenti-berhenti, kalian apa-apaan berantem di kelas," sentak Pak Alsan saat masuk dan mendapati muridnya tengah bertengkar.
Seketika Drew yang akan memukul Naldo kembali menghentikan niatnya dan berdiri dengan tegak karena Naldo sudah terjatuh.
"Drew, kamu lagi yang buat ulah," ujarnya dengan mata membulat.
Meski nada suaranya biasa saja, tapi urat di lehernya yang keluar menjelaskan jika Pak Alsan tengah menahan jengah.
"Dia duluan, Pak," ujar Drew dengan menunjuk Naldo yang tengah bangun sembari mengusap ujung bibirnya yang pecah dan mengeluarkan darah.
"Kamu bukan anak manajemen, 'kan?" Bukannya menanggapi ucapan Drew Pak Alsan malah bertanya hal lain.
"Bukan, Pak," jawab Drew dengan menundukkan kepalanya.
"Keluar!"
Dengan wajah mengeras karena mungkin masih belum puas menghajar Naldo, Drew segera pergi di ikuti teman-temannya.
"Naldo, kamu tidak apa-apa?" tanya Pak Alsan.
"Tidak, Pak."
Pak Alsan menghembuskan napas panjang. Ia tahu anak bernama Drew itu memang pembuat ulah. Pak Alsan kembali ke mejanya dan memulai pelajaran.
"Apa lo liat-liat?" tanya Amerta saat berjalan bersama Naldo dan melihat tatapan sinis mahasiswa yang berada di koridor kepada Naldo membuatnya tidak tahan. Jam kampus sudah selesai, sekarang mereka akan pergi ke toko buku seperti yang Amerta inginkan tadi.
"Udah, Amerta."
Naldo menarik tangan Amerta dan membawa keluar dari gedung kampus. Ia menghampiri motor Amerta.
"Lo yang bawa, ya. Hehe."
"Iya."
Amerta duduk di belakang Naldo. Naldo memang tidak memiliki kendaraan. Ia selalu naik angkot atau berjalan kaki jika perjalanannya dekat. Bahkan, Naldo tidak mampu untuk membeli motor.
"Lo kenapa sih selalu diam di bully sama mereka?" tanya Almera sedikit berteriak karena bising dengan keadaan jalan raya.
"Enggak apa-apa. Lagipula untuk apa aku balas mereka, toh pada kenyataannya sudah tahu kebenarannya. Mereka mungkin hanya gabut atau ikut-ikutan mahasiswa lain yang gemar membully," jawab Naldo.
Amerta jadi speechless, entah terbuat dari apa hati Nando sampai Naldo begitu baik dan pengertian pada mereka yang membully. Itulah yang membuat Amerta betah berteman dengan Naldo, Naldo begitu baik.
Namun, tanpa semua orang tahu. Jauh di lubuk hati Naldo, lalu merasa geram dan ingin membalas mereka, tetapi semuanya ia tahan karena Naldo memang sadar diri jika ia tidak sebanding dengan mereka. Membalas pun malah akan semakin mempermalukan diri sendiri, bahkan menghancurkan masa depannya.
Setelah mendapatkan buku yang Amerta cari, Naldo dan Amerta berjalan keluar dari toko buku itu.
"Kok lo enggak beli buku sih?"
"Lain kali aja."
"Ih gitu."
"Ya sudah. Gue ada urusan sebenarnya. Sekarang lo mau di anterin pulang atau gimana?"
"Yah, tadinya gue mau ajak Lo ke cafe buat ngopi. Emangnya mau kemana?"
"Lain kali aja ya, Mer. Atau besok deh."
"Bener, ya?"
"Iya."
Akhirnya Naldo berpisah dengan Amerta, ia naik angkot untuk pergi ke bank sebelum bank tutup. Amerta sempat menawarkan untuk Naldo ikut bersamanya saja, tetapi Naldo menolak dengan halus. Naldo tidak mungkin memberi tahu Amerta kalau ia akan ke bank untuk mencairkan uang.
Naldo akan masuk, tapi seketika satpam menghentikan Naldo dengan menahan dada Naldo menggunakan tangan.
"Maaf, Mas. Ada keperluan apa, ya?" tanya Satpam itu setelah sedikit mendorong dada Naldo agar menjauh dari pintu.
"Saya mau mencairkan uang, Pak," jawab Naldo.
Satpam itu memindai penampilan Naldo dari atas sampai bawah dengan pandangannya. Sebelah bibirnya terangkat seolah menghina penampilan Naldo dengan raut wajah.
"Kalau mau mencairkan uang bisa di ATM," ujarnya menunjuk ke ATM yang terletak di samping gedung.
"Tidak, Pak. Saya ingin mencairkan uang di loket. Tidak mungkin, 'kan cek bisa cair di ATM?”
"Mas, tolong jangan membuang-buang waktu! Orang berpenampilan seperti anda ini memangnya mau mengambil uang berapa?" kekehnya dengan menunjuk ke ATM.
Naldo membuka tasnya, dengan wajah muram ia mengambil Cek itu sampai ketika satpam itu berbalik, Naldo sudah memegang Cek itu di udara, tepat di wajah satpam itu.
Satpam itu langsung membulatkan matanya, ia menelan saliva melihat nominal yang tertera di sana. "Du-dua ratus juta,” ujar Satpam itu tergagap.
“Anda tahu nominalnya, 'kan? Saya mau mencairkan Ng ini, apa memang bisa di ATM?” tanya Naldo dengan angkuhnya.
“Ti-tidak bisa.”
“Lalu kenapa Anda menghalang-halanginya saya? Apa, Bapak saya laporkan karena telah nmenghina nasabah?”
Satpam itu tersentak, ia dengan gemetar ketakutan menangkupkan kedua tangannya di dada. “Sa-saya minta maaf, Tuan. Tolong jangan laporkan saya,” pintanya dengan bersungguh-sungguh.
"Sekarang boleh masuk?" Ia tidak menghiraukan perkataan satpam itu.
"Si-si-silahkan, Tuan.” Satpam itu mempersilakan. “Tuan, tolong maafkan saya, ya,” sekali lagi ia meminta, tapi Naldo tidak menghiraukannya sampai a berkeringat dingin karena takut kehilangan pekerjaan jika Naldo melapor da atasannya.
Naldo kembali memasukan Cek itu ke dalam Tas. Ia tersenyum miring melihat perubahan pada pada satpam itu. Satpam langsung bergegas mengambil nomor antrean untuk Naldo.
Naldo masuk dan duduk di kursi dekat wanita yang sudah berumur. Wanita itu langsung menjauh dari Naldo dengan menatap Naldo jijik. Hal yang membuat Naldo heran dan bertanya.
"Panggilan untuk nomor urut 2B." Naldo melihat nomor antreannya.
Ia berdiri setelah karena itu nomor yang di panggil memang no-nya. Ia mengambil sesuatu cek dari tasnya dan menyerahkan cek itu.
"Ingin dicairkan semuanya, Pak?"
"Iya."
"Jadi, totalnya 200 juta."
"Iya," jawab Naldo santai.
Seketika orang-orang yang barusan meremehkan Naldo terbelalak!
“I-ini mustahi. 200 juta, ba-bagai mana bisa? Penampilannya saja seperti gembel,” ujar ibu-ibu tadi dengan transisi kata yang terbata-bata.
