Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jangan Munafik Naldo

Naldo terlihat sangat lesu mendengar perkataan tante Chika. Belum apa-apa Tante Chika sudah membahas soal persayaratan yang begitu sulit Naldo penuhi.

"Kenapa, Tante ingin aku menjadi suami, Tante? Usia kita jauh berbeda?"

"Karena aku mencintaimu dan aku ingin kau menjadi suamiku," singkatnya.

"Apakah cinta itu dapat hadir di antara keluarga?"

"Kau bukan keluargaku dan aku harap kau ingat posisimu di keluargaku! Kau hanya anak pungut yang di besarkan keluarga ku. Dan aku harap kau bisa membalas jasa Kakak ku yang telah mengurus mu dengan baik. Kau menikah denganku dan kau akan terus mendapatkan uang untuk biaya pengobatan ibumu," ujar Tante Chika menatap Naldo serius.

Naldo memejamkan matanya, lagi-lagi Tante Chika mengingatkannya.

"Tante Chika, bisakah Tante berikan aku uang 100 juta dulu, aku ingin membayar biaya rumah sakit. Aku akan menggantinya nanti tanpa menikahimu," ujar Naldo berharap Tante Chika mau memberikannya uang.

"Kapan?"

Naldo terdiam.

"Aku tekankan sekali lagi! Aku tidak akan pernah memberikanmu uang sepeserpun jika kau masih kekeh memegang prinsip mu!" ujarnya penuh tekanan.

Tante Chika berdiri dan berjalan ke arah Naldo. Ia duduk di meja depan Naldo dan menyimpan sebelah kakinya di pegangan kursi. Hingga menampilkan kaki jenjang mulusnya.

Naldo terpaku. "A-apa yang, Tante lakukan?" dengan tergagap Naldo bertanya. Ia menguk ludah melihat paha mulus Tante Chika. Lantas, ia buru-buru memalingkan muka.

Tante Chika sekarang bernar-benar jauh berbeda, ia bergitu cantik. Pesona Tante Chika membangunkan sesuatu yang tidur, terlebih tubuh yang seharusna di tutup tersodor di depan mata, Naldo laki-laki mormal, ia memiliki gairah yang bisa saja sewaktu-waktu khilap, untuk itu Naldo berusaha berpaling, menutup atensi dari sosoknya yang membuat dada bertalu lebih cepat.

"Jangan munafik, Naldo. Jangan hanya prinsip kau mengaku tidak tergoda," tangan Tante Chika memegang pipi Naldo dan menekannya agar Naldo berbalik dan melihatnya.

Naldo memejamkan mata saat matanya di suguhkan apem Tante Chika yang di balutu kain merah. Tante Chika hanya menggunakan Rok span mini hingga ketika ia menyimpan sebelah kakinya di pegangan kursi dan sebelnya lagi dengan sengaja di buka langsung terlihat dalaman Tante Chika. Sektika itu darahnya berdesir seiring mata yang terpejam, meneguk saliva beberapa kali, mencoba menetralkan perasaan dan menyangkal pikiran kotornya pada Tantenya sendiri.

Namun, setelah beberapa saat lalu memejamkan mata seketika matanya terbuka lebar ketika ia merasakan sesuatu yang hangat di bibirnya.

"Hem ... Tante, ku mohon jangan seperti ini," ujar Naldo sembari menjauhkan tubuhnya.

"Kenapa kau munafik sekali?" kesal Tante Chika dan kembali berjalan ke arah kursinya lalu duduk.

Naldo dengan perasaan kalut kembali duduk mendekati meja. Seandainya ia tidak butuh uang ia tidak ingin berada di tempat ini.

"Kenapa kau tidak pergi?" sinis Tante Chika.

"Aku belum mendapatkan pinjaman," kekeh Naldo.

Tante Chika semakin kesal di buatnya. "Aku akan memanggil satpam dan menyeret mu keluar jika kau tidak pergi."

"Tante."

"Aku sudah memberikanmu penawaran. Menikah denganku dan kau akan mendapatkan uang atau pergi dari sini tanpa membawa sepeserpun uang."

'Ayolah Naldo demi ibumu,' batin Naldo.

Setidaknya untuk sekarang Naldo bisa mendapatkan uang dulu, tidak peduli dengan nanti.

"Aku masih kuliah, dan aku sudah mendatangani kontrak, jika aku tidak boleh menikah sebelum kuliahku beres," ujar Naldo mencoba untuk bernegoisasi.

Semoga saja setelah kuliahnya beres dia bisa mengganti semua uang yang diberikan oleh tante Chika tanpa menikahinya. Namun, ternyata harapan Naldo sia-sia karena tante Chika malah tersenyum senang dan mengatakan.

"Itu bisa di atur, kita menikah siri saja dulu. Rahasiakan pernikahan ini dari kampus mu."

Jantung Naldo berdegup lebih cepat. Ternyata tantenya sudah tidak sabar menikah dengannya, sampai segitunya.

"Bagaimana?" tanya Tante Chika karena Naldo hanya menatapnya dengan diam.

Naldo berpikir cukup lama hingga kemudian ia menganggukkan kepalanya. Daripada tidak dapat uang sama sekali, pikir Naldo.

"Bagus. Itu sangat menguntungkan bagimu." Tante Chika mengambil sesuatu dari dari tasnya dan memberikan Naldo kertas kecil setelah ia menuliskan sesuatu di sana. “Dua ratus juta cukup?” tanya Tante Chika sembari menyimpan Cek itu di depan Naldo.

Naldo melihat nominal yang tertera di kertas itu hingga ia membulatkan matanya terperangah.

"Du-dua ratus juta," ujarnya dengan tergagap.

Untuk pertama kalinya Naldo melihat nominal sebanyak itu. Ia sampai tak hentinya menganga.

"Cairan cek itu di bank."

"Kenapa banyak sekali? Aku hanya butuh 100juta."

"Aku bahkan bisa memberikanmu lebih jika kau bisa menjaga kepercayaanku."

"Bagaimana kalau aku tidak bisa menjaga kepercayaan mu? Apa kau akan mengambil uang ini kembali?"

"Kau begitu menyayangi ibumu, tentu saja aku sangat mempercayaimu. Dan jika kau tidak bisa menjaga kepercayaanku, Aku tidak akan segan menyeretmu dan menyiksamu, bahkan membunuh ibumu."

Naldo terbelalak. "Hei, dia kakakmu.” Napas Naldo memburu, tatapannya membulat menatap tante Chika.

"Aku tidak peduli,” acuh Tante Chika.

Naldo menatap tajam Tante Chika. Entah ada apa dalam dirinya hingga membuat tante Chika kekeh ingin menikah dengan Naldo. Bukankah dia hanya laki-laki miskin? Lantas mengapa Tante Chika tidak mencari om-om kaya lagi seperti terdahulu?

"Jaga kepercayaan ku jika kau tidak ingin semua itu terjadi," tukas Tante Chika.

Tante Chika kembali melihat laptopnya dan mulai bekerja membiarkan Naldo terdiam dengan pikirannya sendiri. Naldo melihat cek di meja.

'Ibu harus sembuh,' batin Naldo seraya mengulurkan tangannya mengambil Cek itu dengan ragu, tapi seketika Naldo menghentikannya, lagi-lagi ia menghembuskan napas dalam dan kemudian mengambil cek itu dengan tangan gemetar.

Tatapannya tak berpaling dari angka yang tertera di sana. Naldo masih terpaku dengan nominal yang tertera.

“Jika kita menikah nanti, aku berharap Tante mau bekerja sama menjaga penikahan ini agar tidak di ketahui kampus ku,” ucap Naldo dengan berat hati.

“Tentu saja.”

Naldo keluar dari gedung tinggi itu dengan perasaan hancur. Pernikahan bukan suatu hal main-main bagi Naldo. Mimpinya adalah menikah dengan wanita yang ia cintai, bukan dengan tantenya yang ia anggap sebagai keluarga. Namun, demi pengobatan ibunya ia rela mengorbankan masa depannya yang entah bagaimana jadinya.

Padahal Naldo sudah bersusah payah sampai titik ini, Kaira juga mengnginkan Naldo menempuh pendidikannya setinggi mungkin. Namun,Naldo akan mencoba menjalaninya, berusaha untuk mencapai keinginan Kaira.

“Naldo,” panggil Amerta sembari berlari kecil menghampiri Naldo.

Naldo menghentikan langkahnya dan berbalik. Ia melihat Amerta sedang mendekatinya.

Amerta adalah satu-satunya teman Naldo di kampus. Gadis kelahiran batak itu begitu tulus berteman dengan Naldo. Di saat teman-teman yang lainnya menjauhi Naldo karena mereka tidak sudi berteman dengan mahasiswa miskin seperti Naldo. Bahkan Amerta rela tidak main dengan teman-temannya karena hanya ingin berteman dengan Naldo.

“Mer,” Naldo tersenyum menyambut kedatangan Amerta.

“Pulang kampus mau ke mana?”

“Kenapa?”

Naldo dan Amerta berjalan beriringan untuk masuk ke kelas mereka.

“Gue mau minta lo temenin gue ke toko buku, biasa.” Amerta menoleh pada Naldo dan menarik turunkan sebelah alisnya.

Sebenarnya pulang kampus, Naldo ingin pergi ke bank untuk mencairkan uang, tetapi ia tidak mungkin menolak permintaan Amerta. “Boleh. Enggak lama, ‘kan?”

“Enggak lama kok, sebentar saja.”

Lalu, tiba-tiba ada sekelompok siswa lain yang menatap sinis ke arah Naldo dan Amerta. Mata mereka menunjukkan seakan-akan mereka berdua adalah sosok paling menjijikan di kampus ini.

“Wih, pasangan penomenal kampus datang nih,” seru Fay saat Naldo dan Amerta masuk beri-ringan ke kelas.

“Heh, sirik aja lu,” sinis Amerta berniat akan menghampiri mejanya.

“Idih, siapa yang sirik sama pasangan sampah sok kaya kalian.”

Brak

“APA LO BILANG? Coba bilang sekali lagi?” Amerta menghentikan langkahnya di depan meja Fay sembari menggebrak meja gadis itu, tatapannya tajam menatap Fay.

Fay berdiri dan menatap tajam balik Amerta. “Pasangan sampah. Kenapa? Gak terima?”

Amerta sudah mengangkat tangannya akan menampar Fay, tetapi seketika tangannya berhenti di udara karena di tahan seseorang.

“Sudah, Mer. Orang seperti mereka tidak usah di ladeni, tidak baik buat kesehatan,” ujar Naldo, seseorang yang menahan tangan Amerta.

Amerta ingin sekali membalas perlakuan Fay. Namun, karena Naldo menahannya, jadi Amerta hanya bisa mendengus kesal.

Namun, setelah Naldo melepaskan tangan Amerta seketika ada seseorang dari belakang Naldo memegang pundak Naldo, memebalik tubuh Naldo dan buuug. Bogeman mentah langsung menghantam pipi Naldo.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel