Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Menemui Tante Chika

Naldo terhenyak, ia menatap Tante Chika dengan nanar. Bagaimana bisa Tante Chika memanfaatkannya yang sedang kesulitan hanya demi hasrat terpendam Tante Chika yang telah dikuburnya lama.

"Daripada kau menjadi gigolo yang artinya uang itu tidak halal. Bagaimana ibumu bisa sembuh jika uang yang Kau dapatkan saja hasil dari kau menjual diri?"

"Ta-tapi dia kakakmu."

Tante Chika tersenyum miring, seakan ia mencemooh prinsip yang selama ini di pegang Naldo.

Naldo selalu menolaknya dengan alasan Naldo tidak akan pernah menikah dengan tantenya sendiri karena tantenya adalah keluarga bagi Naldo. Meski Naldo hanya anak pungut dari keluarga itu.

Tante Chika menikah dengan lelaki tua kaya raya karena di jual oleh Taksa. Padahal saat itu tante Chika sudah memohon pada Naldo agar Naldo menikahinya supaya lelaki tua kaya raya itu tidak Sudi menikah dengan seorang wanita yang sudah bersuami.

Namun, Naldo tetap menolak dengan alasan yang sama. Tidak akan pernah mau menikah dengan Tante Chika karena Naldo sudah menganggap Tante Chika keluarganya sendiri.

Meski sakit melihat Tantenya dinikahi oleh pria tua itu, tetapi Naldo tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya membiarkan pernikahan itu terjadi, terlebih ia yang masih duduk di bangku SMA memikirkan bagaimana ia bisa melanjutkan pendidikan jika ia menikah, ketidak setujuan keluarga dan kemarahan Taksa paling ia takuti.

"Berapa uang yang kau butuhkan? 100 juta, 200 juta atau 500 juta. Bahkan 1M pun bisa aku berikan as-"

"Cukup! Sampai kapanpun aku tetap pada pendirianku. Aku tidak akan pernah menikah dengan tanteku!"

"Ya ... itu terserah mu. Aku juga tidak memaksamu. Untuk itu aku menyuruhmu untuk memikirkannya terlebih dahulu. Jika kau berubah pikiran, kau bisa datang ke alamat yang tertera di kartu namaku."

Tante Chika mengangkat bahunya seolah tidak peduli dengan prinsip Naldo. Lantas, ia pergi begitu saja setelah dengan pelan mengusap bahu Naldo.

Naldo menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. “Aku tidak mungkin menikahi Tante ku sendiri,” ucapnya dengan perasaan sesak yang seketika menghampiri dadanya.

Naldo kembali ke rumah sakit, di depat meja rsepsionis rumah sakit, Naldo menerima tagihan.

“Ini untuk tagihan rumah sakitnya, Pak," ujar suster dengan menyerahkan tagihan biaya rumah sakit Kaira pada Naldo.

Naldo terdiam melihat nominal 100 juta yang tertera di sana. Benar-benar membuat Naldo terdiam, tidak tahu harus bicara apa. Apa ia memang harus menerima tawaran tante Chika? Bagaimana? Ia tidak tahu lagi harus mendapatkan uang dari mana sebanyak ini dan secepat ini.

Esok harinya, di tempat kerja Naldo.

“Kenapa akhir-akhir ini lo sering melamun, Naldo? Pekerjaan lo jadi tidak beres. Bagaimana kalau bos tahu Lo memecahkan piring sebanyak ini?” ujar Mokai, teman kerja Naldo. Pria yang menyarankan Naldo jadi gigolo tempo hari.

Naldo tidak sengaja menjatuhkan piring saat akan mencucinya. Tangannya yang licin dan pikiran yang ke mana-mana membuat Naldo tidak fokus. Naldo memungut satu-persatu pecahan piring itu. Mokai membantu Naldo.

“Lo jelas tahu alasannya, Mo.” Naldo selalu menceritakan semuanya pada Mokai, jadi pria dengan tubuh gendut berisi itu tahu kalau Naldo saat ini memang sedang banyak pikiran.

“Mokai, Naldo, kalian ini apa-apaan?”

Seketika, jantung Naldo dan Mokai bergemuruh hebat mendengar terikan bos mereka, kedua pria itu langsung menoleh dan mendapati Bos mereka berdiri di ambang pintu dapur.

“Astaga, siapa ini yang pecahkan piring.”

Naldo dan Mokai segera berdiri. “Aaah!” jari Naldo tergores .

Mokai melihatnya dan ia terlihat khawatir. Namun, Naldo buru-buru menutup lukanya di jarinya dengan telapak tangan satunya agar darahnya tidak mengalir deras, beriringan dengan ia berdiri tegak . Naldo melihat Mokai dan tersenyum tipis, seolah mengatakan jika ia tidak apa-apa.

“Kenapa kalian malah diam saja? Siapa yang sudah pecahkan piring ini?” tanya bos wanita, tapi galak itu.

“Saya, Bos,” dengan serentak Mokai dan Naldo menjawab.

Naldo dan Mokai saling pandang. Bos Kinan yang saat ini sedang menatap mereka tajam dibuat kesal dengan kedua karyawannya itu.

"Siapa yang udah mecahin piring ini? Jangan saling membela jika tidak ingin dipecat!"

"Saya, Bos. Saya tidak sengaja tadi, tangan saya licin," ujan Naldo dengan cepat karena tidak ingin Mokai terkena masalah hanya karena membela dirinya.

"Kamu lagi? Minggu lalu kamu nggak masuk kerja karena alasan menjaga orang tua kamu yang sedang sakit, sekarang alasan karena tangan licin. Seharusnya masalah keluarga jangan dibawa-bawa ke pekerjaan, itu sangat merugikan saya."

"Saya minta maaf, Bos."

"Maaf-maaf. Emangnya Maaf bisa menggantikan piring yang pecah?"

Naldo menunduk. Ia menyadari kesalahannya dan Ia memang sangat ceroboh.

"Gaji kamu bulan depan saya potong."

"Lah, Bos. Jangan, Bos."

"Dan kalau kamu mengulangi hal yang sama saya tidak akan segan-segan buat mecat kamu!" Tanpa menghiraukan rengekan Naldo, Ibu Kinan tetap pada keputusannya. Ia malah mengancam Naldo jika seandainya kesempatan terakhir yang ia berikan Naldo sia-siakan. Maka Naldo akan di pecat.

"Bu bos," belum sempat Naldo bicara Bu Kinan sudah meninggalkan dapur.

Naldo menghela napas gusar, ia menggaruk pelipisnya dan bersandar pada kitchen set.

"Gue cuma punya harapan dari gaji kerja gue, tapi sekarang malah dipotong," ujar Naldo dengan lesu.

Sementara Mokai membersihkan pecahan piring di lantai dan membuangnya ke tong sampah.

"Seandainya gue orang kaya gue pasti bantu lo, Do."

"Iya, kita cuma bisa berandai-andai. Pada kenyataannya kita harus bekerja keras agar bisa mendapatkan apa yang kita mau."

Setelah selesai kerja, jam dua pagi Naldo segera kembali ke rumah sakit. Akhir-akhir ini, ia memang lebih sering menginap di rumah sakit daripada di rumahnya.

"Bu, kok belum tidur?" tanya Naldo saat melihat ibunya masih membuka mata.

"Nunggu kamu."

"Kenapa harus nunggu aku, Bu? Ibu lebih baik istirahat aja."

"Ibu belum ngantuk."

Naldo duduk di samping Kaira. Ia mengambil tangan Kaira dan mengecupnya.

"Ya sudah, sekarang ibu tidurlah. Aku sudah datang."

"Naldo, ibu ingin pulang," rilihnya.

Ia menatap Naldo dengan sendu. Pikirannya terbayang bagaimana Naldo bisa mendapatkan uang banyak untuk biaya pengobatannya.

"Eh, kenapa mau pulang, Bu?"

"Ibu sudah sehat, ibu mau pulang aja."

"Sehat bagaimana, Bu? Ibu harus berada di sini sampai Ibu benar-benar pulih!" Naldo menatap netra ibunya dengan mata berembun. Nyatanya, Naldo tidak sanggup melihat Kaira seperti ini, ia begitu menyayangi Kaira.

Naldo tidak akan membiarkan ibunya pulang dulu, sebelum Kaira benar-benar pulih.

"Tapi bagaimana dengan biaya rumah sakit jika ibu terus di sini?"

"Naldo akan usahakan."

"Tapi-"

"Naldo ingin ibu sembuh kembali. Ibu jangan pikirkan biaya, itu urusan Naldo. Tolong jangan biarkan usaha Naldo sia-sia, Bu."

Naldo sampai meneteskan air matanya. Ia tidak ingin kehilangan seseorang yang telah berjasa dalam hidupnya. Satu-satunya orang yang begitu tulus menyayangi Naldo. Meski tidak ada ikatan darah di antara mereka. Naldo ingin ibunya sembuh.

Naldo berdiri di depan gedung tinggi yang bertulisan PT Vincent Crop. Ia menghela napas panjang, tidak ada pilihan lain, akhirnya ia datang juga ke tepat ini untuk menemui Tante Chika. Dengan langkah berat Naldo masuk ke gedung itu.

"Permisi, saya keponakannya, Tante Chika. CEO perusahaan ini, beliau mengundang saya untuk datang. Jika berkenan, Mbak memberitahukannya kedatangan saya," ucap Naldo pada resepsionis bernama tag Eveline.

"Dengan nama siapa?"

"Naldo."

Resepsionis itu menelpon seseorang, yang di yakini adalah Tante Chika. Setelah bicara dan memberi tahukan kedatangan Naldo, resepsionis itu menyuruh temannya untuk menggantinya sebentar dan ia mengantarkan Naldo.

Jantung Naldo berdegup kencang seiring langkah yang mengiringinya masuk Lift dan lift membawanya naik. Naldo begitu takut jika Tante Chika masih menginginkan syarat yang tidak bisa Naldo penuhi.

Batinnya bergejolak. Sebagai lelaki normal, siapa yang tak tergoda menikahi wanita cantik dan seksi di depannya ini. Namun, Naldo masih berpegang teguh pada pendiriannya, jika tante Chika adalah bibinya dan itu berarti keluarganya sendiri.

"Rupanya kau begitu menyayangi Kakak sampai kau rela menemuiku," ujar Tante Chika setelah Naldo duduk di depannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel