Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 3 kepindahan Adel

Hari-hari berikutnya berubah sunyi.

Adel bangun lebih pagi, berharap bisa melihat Samuel di meja makan. Tapi pria itu sudah pergi. Saat ia begadang di malam hari, berharap Samuel pulang lebih awal, justru suara mesin mobil yang terdengar menjelang tengah malam—dan hanya sebentar, karena pria itu langsung masuk kamar tanpa sepatah sapa.

Pagi ini, Adel duduk di ruang tamu. Rambutnya diikat asal, wajah tanpa riasan, matanya terus menatap ke arah pintu. Detik demi detik terasa seperti jarum menusuk kesabaran. Ketika akhirnya pintu terbuka, dan sosok Samuel masuk dengan kemeja abu dan jas tergantung di lengannya, ia langsung berdiri.

“Om…” suaranya kecil.

Samuel berhenti sejenak. Pandangannya singkat, lalu kembali berjalan ke dalam.

“Kita perlu bicara,” lanjut Adel, menyusul di belakangnya.

“Aku sibuk, Del.” Suara Samuel datar. Ia tak menoleh, hanya melepas jas, menggantungnya, dan membuka kancing atas kemejanya.

“Kamu selalu sibuk sejak malam itu. Kamu berubah.”

Samuel akhirnya menatapnya. Tatapan itu tidak marah, tidak juga hangat. Hanya dingin. Datar.

“Karena memang seharusnya begitu.”

Adel terdiam. Napasnya mulai berat. “Jadi Om benar-benar nggak mau tahu perasaanku?”

“Aku tahu. Tapi itu tidak mengubah apa pun.”

Adel menatapnya tak percaya. “Om nggak bisa terus berpura-pura. Aku tahu kamu juga punya rasa. Tapi kenapa kamu terus menghindar?”

Samuel menarik napas panjang, lalu duduk di sofa. Tangannya meraih laptop dan mulai membuka file kerja, seolah percakapan ini tak layak untuk jadi fokus.

“Karena aku tidak mau melanjutkan ini, Del.”

“Kenapa? Karena aku terlalu muda? Karena takut dinilai orang?”

Samuel menutup laptopnya perlahan. Menatap langsung ke mata Adel.

“Karena aku tidak mencintaimu.”

Kalimat itu seperti pukulan keras di dada.

Adel bergeming, matanya membelalak, seolah mencoba membaca ulang ekspresi Samuel. Tapi pria itu tetap tenang. Dingin. Tidak ada keraguan di sana. Tidak ada harapan.

“Aku… aku nggak percaya,” ucap Adel, hampir berbisik.

“Percaya saja. Itu yang terbaik.”

Samuel berdiri dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Suara langkah sepatunya menggema di rumah yang tiba-tiba terasa asing bagi Adel. Dan saat pintu kamarnya tertutup rapat, Adel tahu… kali ini, penolakan itu nyata.

Bukan karena takut. Bukan karena ragu. Tapi karena pria itu memilih untuk menyingkirkan hatinya. Dan itu yang paling menyakitkan.

Cahaya siang menyusup tajam lewat sela-sela jendela kamar. Udara di dalam ruangan tak lagi sejuk, dan kipas angin yang berputar pelan di langit-langit tak mampu mengusir panas di dada Adel.

Gadis itu berdiri di depan lemari dengan mata kosong. Tak ada air mata. Tak ada marah. Hanya sunyi yang menebal.

Pelan-pelan, ia menarik koper dari kolong ranjang. Debunya tipis, seolah menertawakan dirinya yang sejak awal memang tak pernah benar-benar menetap.

Ia mulai melipat bajunya. Satu per satu, diam-diam, rapi, tanpa suara. Tidak ada isakan. Tidak ada musik pengiring. Hanya denting resleting, dan sesekali suara napasnya yang berat.

Di atas meja kecil di sudut kamar, ada gelang yang pernah diberikan Samuel. Adel menatapnya sejenak, lalu memutuskan untuk tidak membawanya.

Ia hanya berbisik, “Nggak butuh kenangan kalau cuma aku yang ingat.”

Langkah kakinya menyusuri koridor rumah itu untuk terakhir kalinya. Hening. Sepi. Tak ada tanda-tanda keberadaan Samuel.

Ketika sampai di ruang tamu, ia melihat sepatu pria itu di rak—tertata rapi seperti biasa. Tapi tidak ada pria itu di ruang makan, bukan juga di teras belakang. Mungkin keluar. Mungkin memang sengaja menghindar. Seperti biasanya.

Adel membuka pintu perlahan. Deru siang menerpa wajahnya. Matanya menyipit, bukan karena cahaya, tapi karena perasaan yang menyesak diam-diam.

Ia menyeret kopernya melintasi halaman depan, tanpa menoleh ke belakang. Tidak berharap Samuel memanggil. Tidak berharap pintu terbuka dan pria itu berlari menahannya.

Karena kini ia tahu, tak semua cinta bisa dilawan. Tak semua perasaan layak diperjuangkan sendirian.

Saat pagar tertutup di belakangnya, Adel tak menangis. Ia hanya menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah mantap ke depan.

Meninggalkan rumah itu.

Meninggalkan Samuel.

Langit mendung menggantung saat Adel keluar dari mobil online yang membawanya ke rumah kontrakan kecil di pinggiran kota. Tempat itu jauh dari mewah, jauh pula dari kenyamanan rumah Samuel—tapi setidaknya di sini, ia bisa bernapas tanpa dihantui tatapan dingin pria itu.

Ia membuka pintu dengan kunci yang baru didapat pagi tadi. Interiornya sederhana. Satu sofa usang, meja kayu tua, dan dapur mungil di sudut ruangan. Bau debu menyambut, bercampur aroma cat tembok yang belum lama mengering. Tapi tak ada yang mengusik hatinya.

Adel meletakkan kopernya, berdiri sejenak di tengah ruangan, lalu mengembuskan napas panjang. Tangannya menggenggam ponsel, membuka layar berkali-kali, lalu mematikannya lagi. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Bahkan tidak dari Samuel.

Ia lalu berjalan ke jendela, membuka tirai tipis. Hujan rintik mulai turun. Dan untuk pertama kalinya sejak keluar dari rumah Samuel, Adel merasa… benar-benar sendirian.

Ponselnya berdering tiba-tiba. Ia reflek meraihnya—jantungnya sempat melompat. Tapi bukan nama Samuel yang muncul.

Rina (teman kuliah)

Adel mengangkat, suaranya lemah. “Halo…”

“Adel? Kamu di mana? Kok tiba-tiba nggak ngekos lagi?”

“Aku… pindah, Rin.”

“Pindah ke mana? Kamu kenapa? Kamu nggak apa-apa, kan?”

Adel menarik napas panjang. “Aku cuma… pengen sendiri dulu. Capek, Rin. Aku butuh tempat yang nggak ada siapa-siapa.”

Hening sebentar. Lalu Rina menjawab pelan, “Kalau kamu butuh teman cerita, kabarin ya. Aku khawatir.”

“Terima kasih…”

Setelah panggilan berakhir, Adel duduk di lantai beralas karpet tipis. Hujan makin deras di luar. Ia menatap langit abu-abu dari balik jendela, lalu bergumam lirih pada dirinya sendiri:

“Kalau memang harus sembuh tanpa dipeluk, aku akan belajar.”

Lalu ia bersandar pada dinding, memeluk lututnya sendiri, membiarkan hujan menjadi satu-satunya suara yang menemaninya hari itu.

Sore hari, hujan sudah reda, menyisakan aroma tanah basah yang menembus celah-celah jendela kontrakan kecil itu. Adel duduk di lantai, bersandar di dinding, menatap langit yang perlahan cerah. Matanya sembap, tapi tak lagi basah. Ia sudah terlalu lelah untuk menangis.

Ponselnya diam. Tak ada notifikasi. Masih sunyi. Sama seperti hati yang kini tak lagi berharap.

Perutnya mulai lapar. Ia bangkit, membuka koper, mengambil kaos dan celana pendek, lalu menggantinya sebelum melangkah ke dapur. Kompor listrik kecil itu tampak belum pernah dipakai. Ia membersihkannya seadanya, lalu membuka satu-satunya tas belanja berisi mie instan dan telur.

Saat air mulai mendidih, suara ketukan pintu terdengar pelan. Adel terdiam. Keningnya mengerut.

Ia berjalan perlahan ke pintu, ragu. Siapa yang tahu dia tinggal di sini?

“Siapa?” tanyanya, tanpa langsung membuka.

“Adel… ini Rina.”

Ia langsung menarik napas lega, membuka pintu. Di ambang, Rina berdiri membawa tas besar dan dua bungkus makanan padang di tangannya.

“Aku nekat nyusul kamu. Aku tahu kamu butuh teman,” ucap Rina, tersenyum kecil.

Adel terpaku sebentar, lalu memeluk sahabatnya erat. Untuk pertama kalinya sejak hari itu, pelukan hangat menyentuh tubuhnya.

Setelah mereka masuk dan duduk di lantai, Rina membuka nasi padang yang dibawanya.

“Makan yang benar. Wajahmu kayak orang belum ketemu nasi dua hari,” katanya, pura-pura nyolot.

Adel tertawa pelan. “Baru aja mau masak mie…”

“Mie tuh makanan hati patah, bukan solusi.” Rina menyodorkan sendok.

Selama makan, Rina hanya bicara ringan. Tak bertanya banyak soal Samuel, tak memaksa Adel menceritakan apa pun. Tapi justru karena itulah, hati Adel pelan-pelan mencair.

Saat matahari mulai tenggelam, dan sisa cahaya senja menembus jendela, Adel akhirnya berkata pelan, “Aku pikir… dia akan menahan aku.”

Rina diam sebentar. “Tapi dia nggak lakukan itu.”

Adel mengangguk pelan. “Iya. Dan aku juga nggak akan balik, meski dia datang sekarang.”

Rina menatapnya tajam. “Kamu yakin?”

Adel tersenyum miris. “Aku sedang belajar jadi perempuan yang nggak mengemis cinta, Rin.”

Dan kali ini, kalimat itu bukan pelarian.

Tapi janji pada dirinya sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel