bab 2 Tangisan Adel
Udara malam di halaman belakang rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Angin semilir menggerakkan tirai tipis yang tergantung di pintu kaca. Lampu taman menyala redup, memantulkan siluet dua bayangan yang duduk di kursi rotan. Tapi kehangatan di antara mereka terasa meredup.
Samuel duduk dengan tubuh condong ke depan, kedua tangannya saling menggenggam. Matanya memandang lurus ke taman gelap, tak berani menoleh pada gadis muda di sampingnya. Sementara Adel duduk dengan kaki dilipat ke kursi, mengenakan hoodie tipis, matanya menyipit menatap pria itu.
“Kenapa diam?” tanya Adel pelan.
Samuel menelan ludah. “Del, kita harus berhenti.”
Jantung Adel mencelos. Ia langsung menoleh, mencari wajah pria itu. “Apa maksudnya?”
“Kita terlalu jauh, Del. Bukan cuma jarak umur. Tapi semuanya. Dunia kita beda.”
“Om baru nyadar sekarang? Setelah semua ini?” Nada suaranya meninggi, tapi masih ditahan.
Samuel menoleh perlahan. Matanya lelah. “Aku terlalu terbawa. Aku seharusnya lebih kuat, lebih sadar.”
“Om takut sama omongan orang?” tantangnya.
“Bukan cuma itu.” Samuel menarik napas panjang. “Aku takut ngelukai kamu. Kamu masih 21 tahun. Kamu belum tahu apa yang kamu butuhin. Kamu pikir ini cinta, padahal bisa aja cuma rasa penasaran. Gairah. Fantasi.”
Adel berdiri dari kursinya. “Jadi menurut Om, perasaanku cuma angin lalu?”
“Bukan begitu.” Samuel ikut berdiri, tapi tetap menjaga jarak. “Tapi aku udah ngelewatin semua fase yang kamu baru mau masukin. Aku bukan cowok ideal untuk kamu, Del. Aku... udah terlalu usang untuk harapanmu.”
“Om salah. Justru karena Om dewasa, tenang, dan tahu apa yang Om lakukan... aku jatuh cinta.”
Samuel menunduk. “Kamu bilang cinta. Tapi beberapa tahun dari sekarang, kamu mungkin akan membenciku karena pernah ngambil masa mudamu.”
Adel memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali dengan suara serak. “Jadi ini keputusan final?”
Samuel hanya mengangguk. “Aku nggak mau jadi cerita pahit dalam hidupmu.”
“Dan aku nggak mau jadi kenangan penyesalan dalam hidup Om.”
Mereka saling pandang. Sunyi. Lalu Adel melangkah mundur perlahan.
“Baik. Kalau itu yang Om mau...” suaranya gemetar. “Tapi jangan pernah bilang aku nggak serius. Karena aku datang ke sini bukan buat main-main.”
Samuel menahan napas, matanya bergetar, tapi tak mengucap sepatah kata pun.
Adel menoleh, melangkah masuk ke rumah. Setiap langkah terasa seperti meninggalkan separuh dari dirinya.
Di luar, Samuel masih berdiri diam. Menatap langit malam yang sunyi.
Dan dalam diamnya, ia tahu—ia baru saja menyelamatkan gadis itu dari dirinya sendiri. Tapi ia juga baru saja kehilangan sesuatu... yang belum pernah ia miliki sepenuhnya.
Adel mengunci pintu kamar pelan. Punggungnya bersandar pada daun pintu yang dingin, dan butiran air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Ia bukan tipe gadis cengeng, tapi luka malam ini terasa nyata. Bukan karena ditolak—tapi karena ia merasa tidak cukup dewasa untuk diperjuangkan.
Ia berjalan pelan ke ranjang, duduk, dan menatap gelang di pergelangan tangannya. Gelang itu kini terasa seperti simbol keegoisan Samuel. Menginginkannya… lalu melepasnya dengan alasan ‘demi kebaikan’.
“Om pengecut,” gumamnya.
Ia meraih ponsel. Jari-jarinya gemetar saat membuka galeri. Foto mereka pagi tadi—saat ia diam-diam mengambil gambar Samuel dari balik meja makan—masih tersimpan. Senyumnya di foto itu hangat… tapi sekarang terasa asing. Jauh.
Lalu, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Samuel.
“Maafkan aku, Del.”
Tidak ada kata lain. Tidak ada penjelasan panjang.
Adel menatap layar ponsel beberapa detik, lalu meletakkannya di meja. Ia bangkit, membuka jendela lebar-lebar, membiarkan angin malam masuk dan menyapu wajahnya. Tapi udara dingin tak mampu mengusir panas di dadanya. Bukan gairah lagi. Tapi kecewa.
---
Sementara itu, Samuel berdiri sendirian di dapur. Segelas kopi yang ia buat tetap utuh. Tak disentuh.
Ia menyandarkan tubuh di meja, memijat pelipisnya dengan kasar.
“Bodoh…” desisnya lirih. “Terlalu dekat…”
Ia tahu, sejak pertama Adel datang, dirinya mulai goyah. Tapi ia juga tahu: membiarkan seorang gadis semuda Adel jatuh cinta padanya adalah kesalahan. Dunia tidak akan pernah ramah pada hubungan seperti itu. Ia sudah cukup kenyang dengan luka—ia tak akan menambah luka di hidup gadis itu.
Suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Samuel menoleh. Tapi hanya sejenak—karena langkah itu berakhir di dapur.
Adel berdiri di sana. Wajahnya tanpa riasan, matanya sembab, tapi sorotnya masih tajam. Teguh.
“Om masih ingin aku pergi besok pagi?” tanyanya, tenang tapi menggigit.
Samuel menatapnya lama. “Itu keputusanmu.”
“Kalau aku nggak pergi?”
Samuel menghela napas. “Kamu tetap tinggal. Tapi kita kembali seperti semula. Kamu tamu. Aku tuan rumah. Tidak lebih.”
Adel melipat tangan di dada. “Berarti Om akan terus berpura-pura tidak punya rasa?”
Samuel mendekat, suaranya nyaris berbisik. “Justru karena aku punya rasa… aku menahan semuanya.”
Adel nyaris menangis lagi, tapi ia menegakkan kepala. “Baik. Kita lihat siapa yang paling kuat menahan perasaan.”
Lalu ia berbalik dan melangkah pergi, menyisakan aroma tipis sabun dan ketegangan yang tak pernah benar-benar padam.
Samuel menatap punggung gadis itu. Di dadanya, ada benturan hebat antara logika dan rasa. Dan malam itu, keduanya sama-sama tahu… ini belum berakhir. Belum sama sekali.
Pagi datang tanpa sapaan.
Adel membuka matanya dengan perasaan menggantung. Sinar matahari menyelinap masuk lewat tirai kamar yang setengah terbuka. Tapi tidak ada hangat yang terasa. Yang ada hanya hampa. Kosong. Dingin.
Ia duduk di tepi ranjang, diam beberapa detik, sebelum akhirnya melangkah keluar kamar. Langkahnya ringan, tanpa suara, menuju dapur. Samuel biasanya sudah ada di sana, entah sedang menyeduh kopi atau membaca koran di meja makan.
Tapi pagi ini, dapur kosong.
Cangkir kopi pun tak ada yang disentuh. Kompor mati. Meja bersih. Hanya secarik kertas tertinggal di meja, terlipat rapi.
Adel mendekat, mengambilnya. Matanya langsung membaca tulisan tangan Samuel yang tegas tapi tergesa:
“Ada urusan kerja mendadak. Jangan tunggu. Makanan ada di kulkas. —S.”
Adel menghela napas panjang. “Lari lagi, Om…”
Tapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Ia tahu Samuel bukan sedang benar-benar kerja. Ia tahu itu cara pria itu menjaga jarak. Dan Adel sudah muak menjadi pihak yang ditinggal tanpa dijelaskan.
---
Sore harinya, Adel masih belum berbicara sepatah kata pun. Ia hanya duduk di halaman belakang, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek, matanya kosong menatap kolam kecil.
Ia mendengar mobil masuk ke garasi.
Langkah kaki Samuel terdengar mendekat. Tapi Adel tak menoleh. Tak bergerak. Hanya diam, menyandarkan kepala di sandaran kursi.
“Del,” panggil Samuel pelan.
Adel tetap diam.
Samuel berdiri di sampingnya. “Kamu marah?”
Adel akhirnya bicara, tanpa menoleh. “Aku kecewa.”
Samuel menunduk. “Aku minta maaf.”
“Kamu selalu minta maaf… tapi kamu nggak pernah benar-benar jelaskan apa yang kamu rasakan.”
Samuel menarik kursi, duduk di sampingnya. “Aku rasa… aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut kehilanganmu… dan takut punya kamu.”
Adel akhirnya menatapnya. “Kenapa? Karena aku terlalu muda?”
Samuel mengangguk pelan. “Kamu punya banyak jalan. Banyak pilihan. Dan aku nggak mau jadi jalan yang buntu buat kamu.”
Adel menahan emosi. “Om selalu anggap hubungan ini cuma salah arah. Tapi gimana kalau justru Om-lah arah yang selama ini aku cari?”
Samuel menatap matanya dalam. Ada keheningan yang panjang. Lalu ia berdiri, berjalan pelan ke pagar taman. Ia memunggungi Adel, dan berkata pelan:
“Aku pernah jatuh cinta terlalu dalam, dan ditinggal saat semua sudah kuberikan. Aku bangun sendiri. Bertahun-tahun. Dan baru kali ini aku goyah lagi… karena kamu.”
Adel berdiri. Melangkah mendekat. “Kalau aku juga jatuh, kenapa kita nggak bangun bareng?”
Samuel berbalik. Wajahnya lelah, tapi matanya jujur.
“Karena aku belum yakin bisa mencintai kamu tanpa menyakiti kamu di masa depan.”
Adel menggeleng pelan. “Kalau begitu… biarkan aku yang ambil risiko itu.”
Samuel diam. Lalu, untuk pertama kalinya sejak malam mereka hampir tak bisa menahan diri, pria itu tersenyum kecil.
“Jangan terlalu yakin padaku, Del.”
Adel mendekat. “Aku yakin pada hatiku.”
Dan untuk pertama kalinya, tak ada yang lari. Tak ada yang pura-pura kuat. Mereka hanya berdiri, berdampingan, memandang matahari sore yang perlahan tenggelam, sambil tahu... bahwa mungkin cinta mereka tidak biasa, tapi bukan berarti tidak layak diperjuangkan.
