bab 4 Keputusan Adel dan nasehat Rina
Malam merayap tenang di langit kota. Kontrakan kecil itu diselimuti keheningan, hanya sesekali terdengar suara motor lewat di kejauhan. Di dalam, Adel dan Rina duduk bersila di atas karpet tipis, sisa makan malam masih terbuka di samping mereka. Lampu temaram membuat suasana terasa hangat, meski hati Adel belum sepenuhnya pulih.
Rina menatap Adel yang sedang memainkan sendok kosong di tangannya, mata gadis itu menerawang entah ke mana. Rina tahu, meski bibir Adel tak mengeluh, isi hatinya masih penuh luka yang belum selesai.
“Del,” panggil Rina pelan.
Adel menoleh.
“Kalau cinta bikin kamu ngerasa rendah, itu bukan cinta yang sehat.”
Adel tidak menjawab. Matanya kembali jatuh ke lantai.
Rina melanjutkan, lembut namun tegas, “Samuel mungkin pernah baik. Pernah bikin kamu nyaman. Tapi kalau dia bisa ninggalin kamu tanpa sepatah kata pun, berarti dia nggak pernah benar-benar siap menerima kamu.”
“Dia bilang dia nggak cinta aku,” bisik Adel lirih.
Rina mengangguk, matanya tajam. “Dan kamu harus percaya itu. Bukan karena kamu kurang cantik, kurang dewasa, atau kurang apapun. Tapi karena dia sendiri yang memilih mundur. Jadi jangan kamu yang malah ngejar.”
Adel menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang berdesakan lagi di dada.
“Kamu tahu, Del… kadang kita terlalu sibuk mempertahankan orang yang jelas-jelas melepas. Padahal yang layak dipertahankan itu, adalah harga diri kita sendiri.”
Adel mengerjap. “Aku cuma… berharap dia sadar.”
“Kalaupun suatu hari dia sadar, biar dia yang datang. Tapi kamu jangan nungguin sambil nyakitin diri sendiri.” Rina menyentuh tangan Adel. “Kamu berhak dicintai tanpa harus mengemis. Tanpa harus merendahkan diri. Dan kamu tahu, cinta yang harus dikejar terus, bukan cinta. Itu luka.”
Adel menunduk, air matanya jatuh pelan. Tapi ia tidak menyangkal, tidak membela Samuel. Ia hanya diam… dan untuk pertama kalinya, ia menerima bahwa mungkin, Rina benar.
“Terima kasih ya,” ucap Adel lirih. “Aku butuh denger itu.”
“Dan kamu juga harus percaya… kamu bisa bahagia tanpa dia.”
Adel mengangguk pelan, dan malam itu mereka duduk berdua, dalam diam yang menyembuhkan. Tak banyak kata. Tapi cukup untuk membuat Adel tahu—ia tak sendiri. Dan ia masih bisa mencintai diri sendiri, lebih dari siapa pun.
Keesokan harinya, cahaya pagi menerobos masuk melalui jendela kontrakan kecil Adel. Suasana terasa lebih ringan, lebih segar, meski bekas luka di hatinya belum sepenuhnya hilang. Di sampingnya, Rina masih terlelap di atas kasur lantai seadanya, dengan selimut setengah menutupi tubuh.
Adel duduk di tepi kasur, memandangi tembok kosong di hadapannya. Lalu perlahan, ia berdiri, berjalan ke dapur dan menyeduh dua gelas teh hangat. Tangannya tak lagi gemetar seperti kemarin.
Beberapa menit kemudian, Rina terbangun karena aroma teh melati yang samar.
“Kamu bangun pagi-pagi gini, tumben,” ucap Rina dengan suara serak, setengah tertawa.
Adel menyodorkan gelas teh. “Bukan bangun… tapi nggak tidur.”
Rina duduk, menyandarkan punggung ke dinding. “Kepikiran?”
Adel mengangguk pelan. “Banyak. Tapi lebih ke mikirin langkah selanjutnya. Aku nggak mau terus-terusan jadi perempuan yang dikasihani.”
Rina tersenyum. “Bagus. Kamu mau ngapain sekarang?”
“Aku mau cari kerjaan baru. Biar bisa bayar kontrakan ini sendiri. Terus mulai hidup pelan-pelan, walau dari nol.”
Rina memandang Adel dengan bangga. “Itu baru Adel yang aku kenal. Yang dulu juga pernah jatuh, tapi bisa bangkit tanpa minta tangan siapa pun.”
Adel mengangguk, lebih mantap. “Aku sadar… aku bisa sembuh, asal aku nggak maksa seseorang buat tinggal.”
Rina menyesap tehnya. “Dan kalau suatu saat Samuel datang nyari kamu?”
Adel tersenyum tipis. “Aku nggak akan lari. Tapi aku juga nggak akan balik. Kalau dia berubah pikiran cuma karena aku pergi, artinya dia nggak pernah benar-benar yakin sejak awal.”
Rina mengangguk. “Kamu belajar cepat.”
“Aku cuma nggak mau buang waktu lagi. Terlalu sayang rasanya kalau hidup ini cuma dihabiskan untuk orang yang bahkan nggak mau melangkah bersamaku.”
Mereka duduk dalam keheningan, menikmati teh dan embusan angin pagi yang menyejukkan. Di luar, suara burung terdengar samar. Hari baru dimulai—dan begitu pula hidup Adel.
Dengan luka yang belum sepenuhnya hilang, tapi dengan semangat yang baru lahir.
Pagi mulai merambat hangat ketika Adel keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, tubuh dibalut kaos putih polos dan celana jeans longgar. Rina sudah menunggunya di ruang depan, sedang menata dua piring berisi nasi dan telur mata sapi yang baru dimasak.
“Cepet juga mandinya. Kukira bakal drama dulu depan cermin,” goda Rina sambil duduk dan menyerahkan sendok.
Adel tersenyum tipis. “Hari ini aku pengin cepat jalan. Nggak mau kelamaan di dalam ruangan. Otak jadi kebanyakan mikir.”
Mereka sarapan dalam diam. Sederhana, tapi mengenyangkan. Selesai makan, keduanya bersiap. Rina mengenakan jaket jeans dan Adel memakai cardigan tipis. Tak lama kemudian, mereka melangkah keluar dari kontrakan, berjalan kaki ke arah halte terdekat.
Udara pagi masih segar. Daun-daun berkilau sisa hujan semalam, dan jalanan mulai ramai oleh aktivitas orang-orang yang berangkat kerja.
“Kamu mau ke mana hari ini?” tanya Rina sambil melirik ke arah Adel.
“Liat-liat lowongan kerja dulu. Siapa tahu ada yang cocok.”
Rina mengangguk, tapi kemudian menatap Adel agak serius. “Del, aku tahu kamu sekarang kelihatan lebih kuat, tapi aku harus bilang sesuatu. Jangan marah ya.”
Adel menoleh, menunggu.
“Kamu itu masih muda, dua puluh dua. Sedangkan Samuel, berapa? Empat puluhan?”
“Empat puluh dua,” jawab Adel lirih.
“Nah, itu dia maksudku.” Rina menghela napas. “Bukan soal angka sih, tapi kamu ngerti kan bedanya cara pandang, cara hidup, bahkan harapan kalian ke depan itu pasti jauh banget. Dia udah di fase hidup yang pengen tenang, sementara kamu baru mulai merangkak.”
Adel diam. Ia tidak membantah.
“Dari awal aku udah curiga hubungan kalian bakal bikin kamu yang lebih banyak berkorban. Dan sekarang terbukti. Dia ninggalin kamu cuma karena beda usia dan takut omongan orang, kan?”
Adel menatap jalanan yang mereka lewati, matanya sayu. “Dia nggak pernah janji apa-apa, Rin.”
“Justru itu. Kamu berharap sama seseorang yang bahkan nggak kasih jaminan, tapi kamu udah kasih semuanya—waktu, perasaan, kepercayaan.” Rina menepuk pundak Adel pelan. “Sudahlah, Del. Lupakan dia. Bukan kamu yang kurang pantas. Tapi dia yang terlalu takut buat jalan sama kamu.”
Langkah Adel melambat sedikit. Hatinya perih, tapi perlahan menerima.
“Aku sedang mencoba. Nggak semudah itu, tapi aku tahu aku harus.”
Rina tersenyum. “Aku bakal jagain kamu sampai kamu bener-bener bisa move on. Tapi jangan buka pintu lagi buat Samuel. Orang yang ninggalin kamu saat kamu butuh, nggak layak dikasih kesempatan kedua.”
Adel mengangguk pelan. “Aku ngerti.”
Dan mereka melanjutkan langkah, menyusuri trotoar yang basah oleh embun pagi, dengan niat baru di hati Adel—untuk tak lagi menoleh ke belakang.
