Pustaka
Bahasa Indonesia

Gairah Om Samuel

79.0K · Tamat
Ayu Andita
68
Bab
269
View
9.0
Rating

Ringkasan

“Kau terlalu muda untuk bermain api... tapi terlalu berani untuk kuabaikan.” —Om Samuel Adel, gadis 21 tahun yang haus kasih sayang, tak pernah menyangka bahwa pria yang membuat jantungnya berdegup kencang adalah sahabat ayahnya sendiri. Samuel, duda karismatik berusia 43 tahun, punya segalanya—wibawa, pengalaman, dan tatapan yang bisa membakar siapa pun yang berani mendekat. Pertemuan mereka seharusnya biasa saja. Tapi satu sentuhan, satu lirikan, dan dunia mereka tak lagi sama. Di balik pintu-pintu tertutup, ada rahasia yang tak bisa diceritakan, gairah yang tak bisa dihentikan, dan cinta yang terlalu tabu untuk diumbar. Ketika batas usia, moral, dan keluarga mulai menghantui, akankah mereka memilih menyerah... atau terus tenggelam dalam godaan terlarang?

RomansaBillionaireIstriDewasaOne-night StandPernikahanMemanjakanSweetMengandung Diluar NikahCinta Pertama

bab 1 Ciuman Pertama

Langit masih gelap ketika Adel melangkah keluar dari kamar tamu di lantai dua. Suara dentingan sendok dan piring dari dapur menarik perhatiannya. Dia menyusuri lorong dengan langkah ragu. Rumah ini terlalu rapi untuk ukuran seorang duda. Terlalu wangi juga—aroma kopi hitam dan parfum maskulin yang samar.

Ia menuruni tangga perlahan, lalu mendapati sosok pria itu berdiri membelakanginya di dapur, mengenakan kaus abu tipis dan celana pendek hitam. Bahunya lebar, lengan berototnya bergerak lincah saat menuang kopi ke dalam cangkir.

"Om Samuel..." suara Adel nyaris tenggelam oleh bunyi teko.

Samuel menoleh. Senyum kecil terbentuk di bibirnya. "Pagi. Kamu bangun cepat."

"Aku nggak bisa tidur," sahut Adel pelan, menunduk sedikit. "Rumah Om terlalu sepi."

"Sepi itu tenang, Del. Kamu belum terbiasa."

Ia menarik kursi dan duduk, sementara Samuel menyodorkan cangkir berisi coklat panas.

"Kamu masih suka ini kan?" tanyanya.

Adel mengangguk sambil menerima cangkir itu, jari-jarinya menyentuh jemari pria itu sekilas. Hangat. Tegas.

Samuel duduk di seberangnya, matanya mengamati gadis itu dengan tenang. "Kamu tambah dewasa. Terakhir kali ke rumah ini, kamu masih pakai seragam SMA."

"Om juga nggak banyak berubah... masih suka bangun pagi dan masak sendiri."

"Ada yang berubah. Sekarang aku punya tamu muda di rumah."

Adel menggigit bibir. Pandangan mereka saling bertemu, lalu terpecah dalam jeda yang memanjang.

"Om nggak keberatan aku nginap di sini?" tanya Adel pelan.

"Nggak. Aku justru senang kamu datang. Rumah ini butuh suara anak muda sesekali."

"Tapi aku bukan anak kecil lagi, Om."

Samuel menatapnya lama. Lalu ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menyilangkan tangan. "Kamu benar."

Adel menyeduh coklat panasnya, lalu berkata lebih pelan, "Dulu waktu kecil, aku suka ngintip Om dari balik tirai ruang tamu. Om kayak tokoh drama Korea, tenang, ganteng, misterius."

Samuel tertawa kecil. "Dan sekarang?"

"Masih ganteng. Tapi nggak terasa seperti om-om lagi."

"Adel."

"Ya?"

"Kamu tahu kamu sedang bermain api?"

Gadis itu menatapnya lekat. "Aku nggak takut terbakar... kalau apinya dari Om."

Samuel terdiam. Matanya tak berkedip. Jari-jarinya menggenggam cangkir kopinya lebih erat.

Suara detik jam dinding terdengar lebih nyaring.

"Kamu seharusnya cari cowok seumuran. Yang bisa diajak nongkrong, ketawa-ketiwi, bukan duduk minum coklat panas jam enam pagi sama duda setengah baya."

"Aku bisa aja cari yang muda, tapi aku nggak pengen."

Samuel berdiri. Matanya menatap tajam, dalam. "Jangan bikin aku bingung, Del."

"Aku nggak berniat bikin bingung."

"Kalau begitu, jangan lempar-lempar godaan kayak tadi."

"Aku cuma jujur."

Dia melangkah mendekat. Suara langkahnya lembut di atas lantai marmer.

"Adel."

"Ya?"

"Om ini bukan orang suci. Tapi aku juga bukan pemangsa gadis muda."

"Tapi kalau aku yang datang sendiri?"

Samuel berhenti satu langkah darinya. Napasnya terdengar berat.

"Del, ini bahaya."

Gadis itu mendongak. Matanya besar, polos tapi dalam. "Aku tahu. Tapi yang terasa benar belum tentu aman, kan?"

Seketika, tangan Samuel terangkat—seakan hendak menyentuh pipi Adel, lalu ragu dan menurunkannya lagi.

"Pergi mandi, Del. Kita bicara lagi nanti."

Adel tersenyum kecil, lalu melangkah pergi. Tapi sebelum mencapai tangga, ia menoleh.

"Om?"

"Hm?"

"Kalau memang Om takut terbakar... kenapa nggak padamkan apinya sekarang juga?"

Samuel tak menjawab. Pandangan matanya mengikuti punggung Adel yang menjauh, lalu menutup mata sejenak.

Ia tahu, pagi ini bukan sekadar permulaan hari. Tapi permulaan dari sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Atau justru sesuatu yang selama ini diam-diam ia tunggu.

Air pancuran menyapu tubuh Adel yang mungil dan lembut. Uap tipis memenuhi kamar mandi, memburamkan cermin dan membelai kulitnya dengan kehangatan yang aneh. Tapi bukan suhu air yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat—melainkan bayangan tatapan Samuel yang masih membekas jelas di kepala.

Tangannya berhenti menggosok rambut.

“Dia nggak menolak,” gumamnya pelan.

Ia menggigit bibir, lalu tersenyum. Ada gairah yang mengendap sejak tadi malam, sejak pertama kali melihat pria itu membukakan pintu rumah dengan hanya mengenakan celana kain longgar dan kaus tipis. Rambut Samuel yang beruban di pelipis justru menambah daya tarik yang tidak bisa dijelaskan.

Pintu kamar mandi diketuk.

“Del, kamu masih lama?” suara Samuel terdengar dari balik pintu.

Adel langsung meraih handuk. “Enggak! Lima menit lagi!”

“Baik. Aku keluar dulu beli sesuatu ke minimarket. Kalau sudah selesai, sarapan ada di meja makan.”

Adel melirik pintu. Suara langkah kaki menjauh. Ia menyandarkan punggung ke dinding, napasnya berat.

Setengah jam kemudian, Adel keluar dari kamar dengan rambut masih basah, mengenakan dress rumahan selutut berwarna merah muda yang sedikit membentuk tubuhnya. Ia turun ke dapur dan menemukan sarapan terhidang rapi—roti panggang, telur mata sapi, dan jus jeruk.

Tapi bukan itu yang membuatnya berhenti. Di atas meja, ada kotak kecil berwarna coklat tua. Kotak perhiasan.

Ditatapnya beberapa detik sebelum duduk dan membukanya pelan.

Di dalamnya, ada gelang tipis emas putih. Elegan. Mahal.

Sebuah catatan kecil terselip.

“Bukan hadiah, hanya pengingat: jangan main-main kalau belum siap terbakar. —Samuel”

Adel tersenyum miring.

Suaranya pelan, nyaris berbisik. “Tapi kalau aku justru ingin terbakar, gimana?”

---

Sore hari menjelang, Samuel pulang dengan kemeja kusut dan rambut sedikit basah oleh keringat. Adel sedang duduk di teras belakang, membaca novel sambil mengenakan kaus tipis dan celana pendek. Gelang yang tadi pagi ia temukan, sudah melingkar manis di pergelangan tangannya.

Samuel menghentikan langkah. “Kau pakai itu.”

Adel tidak menoleh. “Tentu. Cantik, kan?”

“Del, aku serius dengan pesan yang kutulis.”

“Aku juga serius dengan jawabanku.”

Samuel mendekat, berdiri di belakang kursi gadis itu. “Jawabanmu apa?”

Adel menutup novel, lalu menengadah. “Aku ingin tahu... seberapa panas sebenarnya api Om.”

“Jangan tantang aku.”

“Kalau aku nggak menantang, Om nggak akan pernah bergerak.”

Samuel menghela napas. Lalu, tiba-tiba saja ia membungkuk, membisik di telinga Adel. “Jangan bikin aku kehilangan kendali, Del. Sekali itu terjadi, aku nggak akan bisa berhenti.”

Adel menoleh, mata mereka bertemu dalam jarak nyaris nol.

“Siapa bilang aku mau Om berhenti?” suaranya bergetar pelan tapi tegas.

Beberapa detik kemudian, udara di antara mereka berubah. Wajah Samuel makin dekat. Tangannya menahan sandaran kursi. Adel menutup mata, dan saat bibir pria itu nyaris menyentuh keningnya—

“Del...”

“Ya?”

“Kamu masih bisa pergi sekarang. Masih ada pintu keluar.”

Adel membuka mata. Matanya basah, tapi penuh keyakinan.

“Aku nggak datang untuk pergi, Om. Aku datang... karena aku ingin tetap di sini.”

Samuel menatapnya lama. Lalu, akhirnya, tangan itu bergerak—menyentuh pipinya dengan pelan. Dan saat bibir mereka bertemu dalam ciuman pertama, semua peringatan di kepala mereka runtuh begitu saja.

Dan malam pun menunggu. Panas. Gelap. Dan tak bisa dihentikan.