Bab 4. Gerbong Terakhir Hanya Muncul Saat Hujan
Stasiun Tugu Yogyakarta kembali diguyur hujan. Hening menyelimuti peron, hanya suara rintik yang memecah malam. Kirana duduk termenung di ruang loket, memegang liontin kecil dari ibunya. Ia tidak tahu mengapa, tapi sejak kejadian dengan Masinis Tanpa Kepala, liontin itu terasa berat… seolah menyimpan sesuatu.
Arga duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.
“Kirana… aku perlu tahu semuanya. Siapa kamu sebenarnya?”
Kirana menatap kaca jendela. Di sana, bayangannya tampak seperti anak kecil… mengenakan baju sekolah dasar. Rambut dikepang. Matanya kosong.
“Aku… bukan gadis biasa, Arga.”
Kilatan petir menyambar.
Dan dari kejauhan, terdengar deru rel tua…
KERETA DATANG PADAHAL BUKAN JADWALNYA.
Mereka berlari ke peron. Lampu redup menyinari kereta hitam legam bertuliskan:
"NGLIPAR 13 - TUJUAN: RAHASIA YANG TERLUPAKAN"
Arga menahan Kirana, tapi gadis itu seolah tertarik ke gerbong… oleh kekuatan tak kasat mata. Pintu gerbong terbuka perlahan. Kabut keluar dari dalam.
Di dalam… hanya ada satu bangku. Dan satu foto tua tergantung di dinding.
Kirana melangkah masuk. Tangannya gemetar saat menyentuh foto itu. Di dalamnya, tampak seorang gadis kecil bersama dua orang tua. Wajah mereka kabur… tapi gadis kecil itu...
“Itu aku… waktu umur lima tahun…”
Matanya membelalak.
“Tapi… aku tidak ingat mereka. Aku… bahkan tidak tahu siapa ayah ibuku.”
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari sudut gerbong.
“Karena kamu bukan anak dunia ini, Kirana…”
Sosok perempuan tua berdiri di pojok gerbong. Mengenakan kebaya putih. Matanya buta. Tapi bibirnya tersenyum.
“Kau… anak dari penjaga waktu sebelumnya. Kau dilahirkan bukan untuk hidup, tapi untuk menjaga jalur antara dunia dan… yang satu lagi.”
Arga masuk, menahan Kirana yang gemetar.
“Apa maksudnya?!”
“Ayah Kirana adalah Masinis terakhir dari Kereta Ghaib Nglipar. Ibunya... menyerahkan Kirana ke dunia manusia setelah malam pembantaian peron tua, 1998. Kirana tidak pernah benar-benar hidup di dunia ini… dia hanya dititipkan waktu.”
Hening.
Kirana menjerit.
“Aku manusia! Aku hidup! Aku cinta Arga!”
Perempuan tua itu tersenyum makin lebar.
“Cinta adalah hal yang membahayakan bagi penjaga waktu, Kirana… karena cinta bisa mengubah jalur kereta. Dan jalurmu mulai menyimpang.”
Gerbong mulai goyah. Waktu melintir. Jam stasiun berdetak mundur.
Tapi Arga memeluk Kirana erat.
“Kalau cinta bisa mengubah jalur… biar aku menyimpang bersamamu!”
Tiba-tiba liontin Kirana pecah.
Dari dalamnya… jatuh tiket lusuh bertulis:
“KIRANA – GERBONG 0 – KEMBALI KE ASAL.”
Tangisan Kirana pecah. Tapi Arga mencium keningnya dan berkata, “Aku ikut kamu, ke mana pun… bahkan ke dunia yang tak punya peron.”
Dan saat gerbong runtuh, mereka jatuh… ke tempat yang tak pernah dilukiskan peta.
Kota Tanpa Waktu Di Bawah Rel Stasiun Tugu.
Saat gerbong terakhir runtuh seperti ditelan kabut, Kirana dan Arga jatuh bukan ke tanah, tapi ke dalam kehampaan. Seolah gravitasi diganti oleh bisikan masa lalu. Mereka melayang… lalu tiba-tiba...
“BRAK!”
Mereka terhempas ke lantai batu tua. Sekitar mereka, deretan bangunan stasiun tua yang rusak, jam-jam besar menggantung terbalik, dan langit di atas… bukan langit malam, tapi lorong panjang dari rel-rel tua yang melingkar seperti ular.
“Tempat apa ini…?” Bisik Arga, matanya bergetar.
Kirana berdiri, menggenggam tiket lusuh di tangannya. Di bawah kakinya, tertulis dalam huruf besi tua.
“SELAMAT DATANG DI KOTA SESAAT”
“Dimana waktu hanya milik mereka yang tersesat.”
Tiba-tiba, kereta api tanpa masinis melintas di samping mereka. Tapi tidak ada suara. Hanya angin.
Mereka menyusuri kota itu. Ada penjaga jam yang tidak punya wajah, ada anak-anak kecil yang tertawa tapi tak pernah tumbuh dan ada penjual roti yang menawarkan kenangan masa kecil sebagai kembalian.
Kirana menahan napas.
“Aku… pernah ke sini. Saat aku kecil. Tapi aku pikir itu mimpi…”
Arga memegang bahunya.
“Berarti kamu memang pernah… tersesat waktu.”
Mereka tiba di sebuah rumah kayu tua dengan tulisan “PULANG”
Kirana gemetar saat melihat halaman rumah itu. Ayunan tua. Sepeda kecil. Boneka berdebu. Semuanya… kenangan yang hilang dari masa kecilnya.
“Ini rumahku… tapi aku tak pernah tahu di mana ini berada…”
Pintu terbuka sendiri.
Dan di dalam seorang wanita muda berdiri. Rambutnya panjang. Matanya penuh air mata.
“Kirana… putriku…”
“Ibu?”
“Maafkan Ibu… karena meninggalkanmu di dunia atas. Tapi hanya dengan begitu kamu bisa bertahan… dan menyimpan waktu.”
Arga hendak mendekat, tapi tiba-tiba jam dinding berdetak keras.
“TING TONG. WAKTU PINJAMAN TELAH HABIS.”
Sosok sang ibu mulai memudar.
“Kirana! Dengarkan Ibu baik-baik. Di Kota Sesaat ini, waktu tak bergerak… tapi jika kau ingin menyelamatkan cinta dan hidupmu, kau harus pergi sebelum kereta terakhir membawa Arga… bukan kembali, tapi ke penghapus kenangan.”
Hening.
“Apa maksudnya, Bu?!”
“Cepat! Lari ke Stasiun Tengah Kota! Naik kereta sebelum jam di lehermu berhenti berdetak!”
Kirana menunduk. Di lehernya liontin yang pecah itu kini menjadi jam kecil, berdetak pelan. Setiap detaknya adalah detik yang tersisa dari hidup Kirana di dunia nyata.
“Kalau jam itu berhenti, kamu akan jadi bagian Kota Sesaat, selamanya…”
Kirana menggenggam tangan Arga.
“Ayo… kita ke stasiun itu… kita pulang.”
Tapi mereka tak tahu… ada yang membuntuti mereka di balik kabut. Makhluk berjubah abu-abu, dengan jam berdarah menggantung di dada, berbisik.
“Tidak semua yang menyimpang boleh pulang…”
Penjaga Kabut Dan Perjalanan Tanpa Akhir.
Kirana dan Arga berlari di antara bangunan tua yang retak. Suara jam berdetak semakin keras. Detak itu bukan dari jam di leher Kirana saja, melainkan dari seluruh kota. Setiap bangunan berdetak. Setiap pohon. Bahkan udara… terasa seperti napas yang menua.
“Itu dia...! Stasiunnya!” Seru Arga menunjuk bangunan berkubah kaca di kejauhan.
Namun kabut turun perlahan. Tebal. Beku. Dan dari dalam kabut itu… muncul Penjaga Kabut.
Tinggi, berjubah compang-camping, wajahnya tersusun dari jam-jam patah dan mata-mata tua yang berputar liar.
“Kembalikan waktu yang kau curi… gadis yang tak seharusnya hidup,” gumamnya. Suaranya seperti suara kereta yang mengerem mendadak.
Kirana menoleh ke Arga.
“Maksudnya… aku?”
“Kirana, jangan percaya dia! Ayo cepat, kita lari!” Arga menarik tangan Kirana. Tapi tanah di bawah mereka merekah.
Kirana tercebur ke dalam lubang memori.
Dia jatuh… tapi tidak menghantam tanah.
Dia melihat melalui mata dirinya kecil.
Kilasan Masa Lalu Kirana.
Stasiun Tugu. Malam. Hujan.
Seorang gadis kecil terdiam di ruang tunggu. Ayahnya seorang masinis yang selalu pulang terlambat, dia duduk sambil menulis surat.
“Untukmu, Kirana. Kalau Ayah tak sempat pulang… surat ini yang akan menemani tidurmu.”
Lalu… ledakan.
Kereta malam tergelincir. Tubuh masinis tidak ditemukan… hanya arlojinya yang utuh. Tak pernah ditemukan jasadnya.
Sejak hari itu, Kirana kecil hilang dari dunia nyata. Nama gadis itu dilaporkan tewas… namun roh anak itu tak pernah pergi. Ia tumbuh di lorong waktu, menjadi penjaga peron, menunggu… menunggu…
“Kamu.” Bisik suara ayahnya.
Kirana terbangun di pelukan Arga.
“Kirana! Kamu gak apa-apa?”
“Aku ingat sekarang… aku tidak benar-benar hidup. Aku… seharusnya sudah tiada sejak kecil.”
Arga menggenggam wajahnya.
“Tapi kamu hidup sekarang! Kamu nyata! Aku menggenggam mu. Aku mencintaimu!”
Jam di leher Kirana berdetak semakin pelan.
Penjaga Kabut mendekat. Dengan jam berdarah di dadanya.
“Satu pilihan, kembalikan waktumu, dan lenyap… atau paksakan tetap hidup, tapi Arga akan terhapus dari waktu.”
Sunyi.
“Jangan dengarkan dia,” bisik Arga. “Kalau harus menghilang, kita hilang bersama.”
“Tidak, Arga.” Kirana menatapnya. “Kamu harus kembali. Kamu masih hidup. Dunia nyata menunggumu. Fotomu… mimpimu… semua yang kamu cintai.”
Ia mencium Arga. Dalam. Lembut. Seperti perpisahan terakhir sebelum senja memudar.
“Aku akan mengembalikan waktuku.”
Kirana melangkah ke Penjaga Kabut, mengulurkan jam di lehernya…
Tapi tiba-tiba, jam itu pecah sendiri.
Dari balik kabut, terdengar suara kereta.
Kereta terakhir.
“Cepat! Arga, naiklah! Itu kesempatanmu!” Jerit Kirana.
Arga memeluknya kuat-kuat.
“Tidak! Aku akan cari jalan kembali padamu. Kalau ini peron kematian… aku akan hidup di antara rel!”
Kirana mendorongnya ke pintu kereta.
Pintu menutup.
Kereta melaju.
Kirana tersungkur. Penjaga Kabut menghilang bersama jam yang berhenti berdetak.
Dan dunia… gelap.
Namun jauh di Stasiun Tugu yang sebenarnya…
Arga terbangun di bangku tunggu. Tangannya menggenggam kamera. Di dalam kameranya… ada foto Kirana. Dan… sepucuk surat tanpa nama.
“Aku akan menunggumu di malam Jumat. Diantara rel dan kenangan yang tak selesai.”
Kirana… masih menjaga peron. Masih menunggu…
*****
