Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Pengantin Di Gerbong Kosong

Malam Jumat berikutnya.

Kirana duduk di loket, menatap jam yang kembali berhenti di angka 11:47. Di luar, hujan tak turun, tapi kaca berkabut. Suasana seperti ditarik dari mimpi buruk seseorang yang belum selesai.

Tiba-tiba, terdengar derit rel kereta padahal tidak ada jadwal malam itu. Peron 3 diselimuti kabut pekat. Kirana bangkit. Ia tahu… seseorang datang.

Gerbong kosong melambat, berhenti di depannya. Pintu terbuka perlahan.

Dan dari dalam, muncul seorang gadis mengenakan gaun pengantin merah darah. Gaunnya berenda, kotor, dan tampak seperti telah dikubur bersama tanah selama puluhan tahun. Rambutnya panjang menjuntai. Langkahnya menyeret.

Mata gadis itu kosong… tapi bibirnya tersenyum.

“Apakah ini stasiun Tugu Yogyakarta?” Suaranya bergetar, seperti gema dari masa lalu.

Kirana menahan napas. “Iya. Kau siapa?”

Gadis itu mengangguk pelan. “Aku… Sri Andayani. Aku sedang mencari calon suamiku, Roni. Dia berjanji akan menikahiku setelah naik kereta malam ke Bandung… tapi dia tak pernah kembali.”

Kirana merasa tubuhnya semakin berat. Seolah udara dipenuhi bayangan. Ia menatap ke arah gerbong, dan dalam pantulan kaca jendela… terlihat Sri Andayani naik kereta sendirian, lalu terjun dari jembatan rel.

"Kau... bunuh diri?"

Sri menoleh. Matanya kini berubah merah. "Tidak. Aku didorong."

Suasana membeku. Lampu peron mati.

Dan dari kegelapan… muncul suara lain, berat dan parau:

“Dia belum boleh tahu... Kirana.”

Kirana membalikkan badan. Sosok lelaki berjas hitam berdiri di ujung peron, wajahnya tertutup topi masinis tua. Tapi Kirana tahu itu bukan manusia.

Sosok itu menyodorkan tiket kereta dari api. Tiket yang bertuliskan:

Roni – Tertunda Menuju Takdir

“Bantu dia. Temukan Roni. Atau Sri akan kembali… setiap malam… dan mengambil penumpang baru sebagai pengganti.”

Kirana menggenggam tiket itu. Tangan kirinya bergetar. Tapi ia tahu, ini tugasnya.

Dan sebelum gerbong lenyap, Sri Andayani menatapnya dengan lirih.

“Kalau kau bertemu Roni… tolong katakan… aku belum memaafkannya.”

Malam itu Kirana tak bisa tidur.

Saat membuka kamera Arga, satu foto baru muncul, wajah lelaki muda dengan jas pengantin berdarah, berdiri di depan stasiun Bandung… tahun 1971.

Jejak Berdarah Menuju Bandung.

Kirana duduk di dalam gerbong kereta malam yang kosong. Tiket dari Arga sudah berubah bentuk sekarang menjadi peta kuno berwarna keemasan dengan tetesan merah di ujungnya. Setiap tetes menunjuk satu stasiun… hingga berhenti di Stasiun Bandung tahun 1971.

“Gerbong ini… bukan membawa tubuh,” pikir Kirana. “Tapi kenangan yang belum selesai.”

Cahaya gerbong redup. Setiap kali ia melewati stasiun, bayangan Sri Andayani muncul di jendela. Tangisnya lirih, seolah menunggu jawaban yang tak pernah datang.

Sampai akhirnya...

Stasiun Bandung, dini hari.

Stasiun tampak berbeda bukan seperti sekarang. Lampu-lampu neon tidak ada. Yang menyala hanya lentera minyak. Arsitektur bergaya kolonial masih dominan. Ini... bukan masa kini.

Kirana turun dengan kaki gemetar. Udara menusuk. Aroma kopi dan darah samar tercium dari rel.

Di dinding stasiun tua, tertempel poster lawas.

“Perpisahan Romantis Kereta Malam 1971 – Roni and Sri”

Mereka ternyata pernah difoto untuk promosi sepasang muda-mudi yang akan menikah di Bandung, naik kereta sebagai simbol cinta.

Tapi semuanya berubah setelah Sri hilang.

Kirana mengikuti arah peta di tiket. Ia tiba di sebuah rumah tua tak jauh dari stasiun, berlumut dan terkunci. Tapi ada suara dari dalam musik jazz mengalun, dan tangisan lelaki.

Ia mengetuk pintu.

Pelan-pelan terbuka sendiri.

Di dalam... seorang lelaki tua duduk di kursi goyang, menggenggam foto usang Sri Andayani.

“Siapa kamu?” Tanyanya. Suaranya gemetar dan parau.

“Saya Kirana… saya datang membawa pesan dari Sri.”

Lelaki itu menatap tajam. “Sri? Kau tahu dia…?”

Kirana mengangguk. “Dia belum memaafkan kamu.”

Tiba-tiba jam di rumah berhenti.

11:47.

Pintu menutup sendiri. Angin dingin menyapu ruangan. Foto di dinding jatuh satu per satu, memperlihatkan Roni… dan kenyataan yang tak ia akui.

Ia tak pernah berniat menikahi Sri. Ia sudah dijodohkan dengan orang lain.

Dan pada malam keberangkatan, ia mendorong Sri dari kereta.

Roni tua menangis. “Aku… muda dan bodoh. Tapi dosa itu mengikuti aku sampai sekarang. Aku ingin meminta maaf… tapi aku takut. Karena sejak malam itu… aku tidak bisa naik kereta lagi. Bahkan kereta mimpi pun meninggalkanku.”

Kirana tahu ini saatnya. Ia membuka kamera Arga… dan menyorot wajah Roni.

Klik.

Layar memperlihatkan gerbong kosong… dan Sri berdiri di sana, memunggungi pintu.

“Roni…” suara Sri lirih, muncul dari kamera. “Aku tidak ingin membalas mu. Aku hanya ingin tahu… apakah aku pernah dicintai… walau sekali saja?”

Roni memejamkan mata. “Iya, Sri. Tapi aku terlalu pengecut untuk memilihmu.”

Dan saat itu… tubuhnya mulai bercahaya. Kirana menahan air mata.

Sri perlahan berbalik di layar kamera. Ia tersenyum.

“Terima kasih. Aku bisa pulang sekarang.”

Layar padam.

Dan Kirana… kembali berdiri sendirian di Stasiun Bandung.

Tapi kali ini, dengan beban yang lebih ringan di bahu.

Malam itu di Jogja, kamera Arga tak menyala. Tidak ada foto baru. Tidak ada bayangan.

Hanya diam.

Untuk pertama kalinya…

peron 3 benar-benar sunyi.

Masinis Tanpa Kepala Dan Tiket Menuju Neraka.

Hujan turun deras di Stasiun Tugu malam itu. Kilat menyambar, menciptakan siluet aneh di balik kaca loket. Kirana kembali bertugas, meski tubuhnya masih menyimpan lelah dari perjalanan ke Bandung.

Jam di loket masih macet di angka yang sama.

11:47.

Lalu tiba-tiba…

PLAK!

Sebuah tiket tua jatuh dari ventilasi udara loket. Tiket itu hitam legam, dengan tinta merah menyala yang baru.

“KIRANA – GERBONG 13 – TUJUAN: ALAM SEBELAH”

Jantung Kirana nyaris berhenti. Tangannya gemetar. Tiket itu terasa hangat… dan berdenyut seperti jantung.

“Tiket ini… bukan ajakan. Ini panggilan.”

Malam itu, peron 3 kembali diselimuti kabut. Tapi kali ini… gerbong yang datang tidak punya lampu. Tidak ada nomor. Dan suara relnya... tidak mengeluarkan dentang. Seolah kereta itu tidak menyentuh tanah.

Pintu gerbong terbuka dengan bunyi melengking. Kirana melangkah masuk.

Di dalam penumpang-penumpang berpakaian zaman berbeda. Ada yang mengenakan seragam tentara, kebaya lama, bahkan jas sekolah. Semua menunduk. Tak satu pun yang berbicara. Mereka… adalah roh-roh yang tak pernah pulang.

“Aku… penumpang sekarang?” Gumam Kirana.

Lalu gerbong bergetar. Cahaya padam.

Dan dari ujung gerbong depan, terdengar langkah berat. Suara sepatu bot menyeret besi. Asap hitam melayang dari langit-langit. Sosok tinggi besar muncul…

Masinis Tanpa Kepala.

Topinya masih ada, tapi di bawahnya… hanya asap hitam menggumpal. Di tangan kirinya tergenggam lampu lentera dari neraka, dan tangan kanannya membawa jam saku berdarah.

Masinis itu menatap Kirana… meski tanpa kepala.

“Kirana, penjaga waktu yang menyimpang. Kau mengembalikan jiwa yang seharusnya tetap tersesat.” Suara terdengar gema, “Kau telah mengganggu jalur neraka.”

Kirana menegakkan tubuh. “Aku hanya ingin membantu.”

Masinis mengangkat jam saku.

Waktu terhenti. Semua beku.

“Maka kau harus menggantinya. Satu nyawa… untuk satu nyawa. Pilih.”

Cahaya lentera menyala merah. Di dalam nyalanya muncul tiga wajah:

Arga – Pria yang mulai membuat hatinya bergetar.

Roni – Jiwa bersalah yang sudah tenang.

Dirinya sendiri.

“Salah satu harus turun… dan tinggal selamanya.”

Kirana menatap wajah Arga dalam api. Senyum hangatnya… mendadak terasa begitu jauh.

“Tidak. Aku… aku yang ikut.”

Seketika gerbong berguncang hebat.

Tapi saat Kirana melangkah ke depan, suara familiar meneriakinya dari luar gerbong:

“KIRANA! JANGAN!”

Itu Arga.

Ia berlari, melompati rel, menghentikan kereta dengan tubuhnya sendiri.

Masinis menoleh… lalu menghilang dalam asap. Gerbong lenyap. Tiket terbakar sendiri. Penumpang-penumpang kabur ke kegelapan.

Kirana terjatuh… langsung ke pelukan Arga.

“Gila kamu,” desah Arga. “Aku hampir kehilangan kamu.”

“Aku… sudah kehilangan diriku sejak malam itu,” bisik Kirana. “Tapi kamu menarikku kembali.”

Di belakang mereka, jam stasiun Tugu berdentang…

TENG… TENG… TENG…

Untuk pertama kalinya, jam itu bergerak.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel