Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 – Surat Dari Dunia Yang Retak

Langit malam di atas Stasiun Tugu tampak biasa. Tapi Arga tahu… tak ada yang benar-benar “biasa” sejak malam itu.

Ia duduk di bangku tunggu, menggenggam foto Kirana dalam kameranya. Cahaya lampu neon menyorot wajahnya yang tampak letih, matanya kosong tapi hatinya bergolak.

Surat itu masih terselip di sakunya. Ditariknya perlahan. Tangannya bergetar saat membukanya. Ada tiga pesan isi surat dari tulisan tangan Kirana.

“Arga… waktu telah menuliskan takdir kita dalam jeda. Tapi ingat, tak semua yang hilang… benar-benar pergi.”

"Carilah ‘Lorong 7’… tempat kereta yang tak terdaftar pernah singgah. Di sanalah aku akan menunggumu. Tapi jangan bawa siapa pun. Dunia ini hanya bisa dimasuki oleh jiwa yang pernah patah.”

“Jangan takut pada bayangan, tapi takutlah bila cahaya berhenti mengejar mu.”

Arga menutup surat itu.

"Lorong 7?" Gumam Arga dalam hati.

Ia tahu stasiun ini hanya memiliki 6 jalur resmi. Tapi di denah tua yang pernah ia lihat di ruangan arsip… memang ada jalur tersembunyi. Jalur yang “dihapus” karena kecelakaan bertahun-tahun lalu. Tak ada yang berani membicarakannya.

Arga berdiri, menyelinap ke lorong sempit yang dipenuhi jaring laba-laba dan karat. Ia dorong sebuah pintu logam tua yang terkunci dengan rantai.

Braakk!

Pintu terbuka sendiri… seperti ada yang menyambut kedatangan dirinya.

Tangga batu menurun tajam. Lampu temaram. Dinding penuh coretan jam dan nama-nama yang telah terlupakan.

“Kirana…” gumamnya. “Aku datang…”

Sementara itu…

Di tempat lain… Kirana membuka matanya.

Ia bukan di dunia Arga. Tapi juga bukan di alam kematian. Dirinya berada di stasiun yang retak, berdiri di antara rel tak berujung.

Bayangan tubuhnya terbelah dua, satu hitam, satu terang. Dan di depannya, sebuah kereta kosong, diam menunggu.

“Jika dia berhasil melewati Lorong 7, maka waktu akan membuka satu celah terakhir…” bisik suara dari langit yang tidak punya bintang.

“Kalau tidak…”

“Kamu akan menjadi bagian dari rel. Selamanya.”

Arga menuruni tangga terakhir.

Dan tiba di Lorong 7.

Tapi di situ… tak ada rel. Tak ada cahaya.

Hanya dinding cermin yang memantulkan kenangan paling menyakitkan dalam hidupnya.

Ibunya yang wafat. Ayahnya yang pergi. Kirana yang hilang. Ia harus menatap semua itu… dan tidak lari. Karena hanya dengan menatap rasa sakit… ia bisa membuka pintu menuju dunia Kirana.

Di balik dinding cermin…

Kirana menyentuh bayangan Arga.

Dan untuk sesaat… mereka bersentuhan.

Tapi waktunya belum tiba.

Belum, hanya suasana sunyi sepi beraroma misteri yang tersembunyi dibalik lorong remang-remang.

Cermin Tanpa Bayangan.

Lorong 7 kini sunyi. Bahkan langkah Arga tak memantul. Ia berdiri di depan dinding cermin yang membentang, membentuk setengah lingkaran… seperti altar untuk mereka yang tak ingin dikenang.

Wajahnya sendiri memantul, tapi… bayangannya tak bergerak.

“Ini bukan cermin,” bisiknya. “Ini… portal.”

Tiba-tiba, dari balik bayangan, muncullah satu sosok Kirana. Tapi bukan Kirana yang ia kenal. Gadis itu pucat, mata hitamnya menyimpan duka yang tak bisa ditulis. Gaunnya berlumur debu dan bekas terbakar.

Arga melangkah mundur.

“Kirana?” Suaranya serak.

“Aku adalah sisa dari masa lalu,” jawabnya tanpa gerakan bibir. “Yang tersisa di antara waktu dan kereta yang tak pernah sampai.”

CRAAAKK!

Cermin di sampingnya retak. Dari balik retakan itu, muncul kereta tua… melaju pelan tanpa suara, seolah melintasi waktu.

Kirana berjalan masuk. Tapi sebelum ia menghilang, ia berbalik, menatap Arga dalam-dalam.

“Jika kamu ingin aku kembali… kamu harus naik ke gerbong terakhir. Tempat mereka yang tidak diizinkan pulang.”

"Baik, Kiran."

“Tapi Arga…” Ujar Kirana, “Jika kamu salah langkah, kamu tidak akan kembali.”

Arga menggenggam kamera tua yang tergantung di lehernya. Ia memejamkan mata, dan berlari masuk ke kereta itu.

Di dalam gerbong terakhir…

Arga melihat foto-foto tergantung.

Semua wajah yang ada di sana hilang dari sejarah. Nama mereka terhapus. Tapi salah satu fotonya… memperlihatkan Kirana kecil. Dengan nama asli:

“Saraswati Indriyana. Lahir: 1992. Hilang: 2009.”

Padahal Kirana… tak pernah bilang usianya. Ia terlihat seperti gadis dua puluhan. Tapi…

“Ini tidak mungkin… dia hilang sejak remaja?”

Lalu muncul suara dari pengeras suara kereta:

“Gerbong waktu akan segera tiba di stasiun perpisahan. Penumpang yang tidak memiliki bayangan akan diturunkan. Penumpang dengan ingatan kuat… tetap lanjut.”

Arga mulai limbung.

Wajah Kirana muncul di antara asap, kali ini menangis.

“Arga… aku bukan siapa-siapa lagi di dunia kalian. Aku hanya ingin… kau ingat aku. Itu cukup.”

Tapi Arga menggenggam tangannya meski tubuhnya mulai menghilang.

“Aku gak peduli kamu siapa. Aku cuma tahu satu hal, aku mau bersamamu. Di mana pun.”

Dan saat itu… waktu berhenti.

Kereta berhenti.

Cermin runtuh.

Dan cahaya… kembali.

Ketika Arga terbangun, ia ada di stasiun Tugu.

Kamera tergantung di leher. Tapi tak ada seorang pun di sekitar.

Hingga…

Seseorang menyentuh bahunya.

Kirana.

Dia tersenyum. Dengan bayangan utuh.

“Kamu berhasil,” bisiknya. “Sekarang… kita bisa memulai cerita yang baru.”

"Ya Tuhan, Kiran...!" Ucap Arga, "Aku kira kita tidak pernah ketemu lagi."

Kirana hanya tersenyum melihat lelaki yang ada di depannya, terlihat bingung campuran bahagia.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel