
Ringkasan
Sinopsis: Di Stasiun Tugu Yogyakarta, setiap malam Jumat, Kirana seorang gadis penjaga loket kereta malam selalu menerima sepucuk surat misterius tanpa nama pengirim. Isinya puitis, penuh kenangan, dan seolah ditulis oleh seseorang yang sangat mengenalnya, meski Kirana merasa tak pernah bertemu orang itu. Surat-surat itu selalu muncul tanpa jejak, meninggalkan pertanyaan dan ketakutan yang tak bisa dijawab. Hingga suatu malam, seorang pria tampan bernama Arga datang. Dia adalah fotografer kereta dari Jakarta yang sedang membuat proyek dokumenter tentang perjalanan malam. Anehnya, saat pertama kali melihat Kirana, Arga merasa sangat familiar. Ia yakin pernah bertemu Kirana sebelumnya di stasiun yang sama, dengan gaun yang sama, bahkan senyum yang sama. Padahal, ini adalah kunjungannya yang pertama ke Yogyakarta. Pertemuan mereka memicu serangkaian peristiwa aneh. Bayangan masa lalu yang samar, foto-foto lama yang tak bisa dijelaskan, dan suara peluit kereta yang terdengar meski peron sedang kosong. Bersama, Kirana dan Arga mencoba mengungkap siapa sebenarnya pengirim surat misterius itu, dan mengapa takdir terus mempertemukan mereka di peron yang sama antara realita dan bayangan masa silam. Namun, semakin dalam mereka mencari, mereka justru menemukan kenyataan yang mengguncang: bahwa cinta sejati tak selalu hadir dalam waktu yang sama, dan ada janji yang tertulis tak hanya di atas kertas… tapi juga di antara dimensi.
Bab 1 – Surat ke-27
Hujan turun pelan malam itu, membasahi rel yang sunyi. Di Stasiun Tugu Yogyakarta, jam dinding tua berdetak lambat menuju pukul sebelas malam. Seperti biasa, hanya satu loket yang masih terbuka: loket malam yang dijaga Kirana, gadis bermata sendu dan berwajah tenang. Seragamnya rapi, wajahnya bersih, tetapi ada kelelahan sunyi yang tak pernah benar-benar padam dari sorot matanya.
Malam itu sepi. Tidak ada penumpang, tidak ada petugas lain. Hanya suara hujan, gemuruh kereta jauh di utara, dan… sebuah amplop cokelat tanpa nama yang tiba-tiba sudah ada di atas meja loket, padahal Kirana tidak melihat siapa pun mendekat.
Amplop ke-27.
Tangannya gemetar saat membukanya. Di dalamnya hanya ada satu lembar kertas—ditulis dengan pena tinta hitam, huruf tegak bersambung.
"Kirana, maafkan aku masih mencarimu di antara bayangan. Jika malam ini hujan, itu karena langit juga mengingat malam kita terakhir bertemu di peron 3. Jangan menoleh ke belakang."
Mata Kirana langsung menatap pantulan kaca loket. Kosong. Tapi jantungnya berdetak kencang.
Peron 3 sudah ditutup sejak dua bulan lalu, setelah insiden kecelakaan yang menewaskan seorang penumpang, seorang pria yang tidak memiliki identitas, dan hingga kini belum diketahui namanya.
Lalu kenapa dia seolah tahu siapa Kirana?
Dan kenapa semua surat itu ditulis oleh orang yang selalu tahu kejadian yang belum terjadi?
Keesokan malamnya, pria itu datang.
Namanya Arga. Tinggi, berkulit bersih, dengan kamera tua tergantung di lehernya. Dia bilang ingin memotret kereta malam, salah satu proyeknya untuk majalah perjalanan. Tapi ketika matanya menangkap Kirana, dia tiba-tiba diam, membeku seperti melihat hantu.
“Aku pernah melihatmu di sini,” katanya pelan. “Tiga tahun lalu. Di malam hujan. Kau berdiri di peron 3. Tapi… peron itu sekarang ditutup, kan?”
Kirana menatapnya, bingung dan merinding. “Tiga tahun lalu aku belum bekerja di sini…”
Arga tertawa kecil, gugup. “Mungkin aku salah orang.”
Tapi malam itu, saat Arga memotret peron yang kosong, hasil fotonya menunjukkan sesuatu yang mustahil.
Di antara kabut dan hujan, ada bayangan seorang gadis berseragam loket, berdiri sendiri… dengan wajah yang persis seperti Kirana.
Tapi bajunya bukan seragam baru.
Itu seragam lama model tahun 1997.
Dan di tangan gadis itu, terlihat selembar surat… dengan tinta yang belum mengering.
Kamera Tua dan Peron yang Hilang.
Arga tidak bisa tidur malam itu.
Foto itu nyata. Tidak ada editan. Tidak ada pantulan kaca. Dia memotret dengan kamera analog tua, rol film Fuji warna 400, hasil cuci cetak di lab lokal, tanpa sentuhan digital. Tapi bagaimana bisa ada bayangan gadis berseragam tua, berdiri di peron 3 yang sudah ditutup? Dan yang paling mengganggu… kenapa wajahnya benar-benar Kirana?
Esoknya, Arga kembali ke stasiun, membawa foto itu.
“Ini kamu, kan?” Tanyanya pelan, sambil menyodorkan lembaran hasil cetak foto.
Kirana mengernyit, lalu terdiam. Matanya terpaku pada gambar itu, seolah melihat bagian dirinya yang bahkan dia sendiri tak kenal. Bajunya memang bukan seragam yang dia kenakan sekarang. Tapi… anehnya, seragam itu terasa familiar.
“Aku... pernah mimpi tentang baju itu,” bisik Kirana. “Dan peron itu. Tapi aku yakin aku belum pernah benar-benar ke sana.”
Arga menatapnya dalam. “Mimpi? Mimpi seperti apa?”
Kirana menelan ludah. “Dalam mimpiku, aku selalu berdiri di peron 3. Ada suara kereta datang, tapi aku tidak pernah melihat siapa yang turun. Yang pasti… selalu ada surat tergeletak di bangku peron. Surat dengan namaku di atasnya.”
Mereka saling diam.
Hari itu, Arga meminta izin untuk memotret bagian dalam stasiun, terutama sekitar peron 3. Petugas setempat keberatan.
“Peron itu ditutup setelah kejadian kecelakaan dua bulan lalu,” kata mereka. “Kalau kamu nekat masuk, itu tanggung jawabmu.”
Dan Arga memang nekat.
Dia menunggu malam datang. Bersama Kirana, mereka menyusup masuk ke jalur belakang stasiun, menyelinap lewat jalur inspeksi rel. Peron 3 sudah gelap, lampu-lampunya padam dan kusam. Tapi ketika mereka tiba, ada kejanggalan yang langsung terasa.
Peron itu tidak terlihat tua dan rusak seperti yang dikatakan orang-orang.
Lampunya menyala redup. Bangkunya bersih. Dan yang paling aneh… di atas salah satu bangku, ada amplop cokelat.
Tanpa nama pengirim. Sama seperti yang Kirana selalu terima.
Dengan tangan gemetar, Kirana membukanya.
"Kirana, kau dan aku pernah menunggu di tempat ini. Tapi kereta yang kita tunggu tak pernah datang. Waktu terulang, tapi kenangan tetap tinggal. Jika kau ingin tahu kebenaran, datanglah ke stasiun ini pada 17 Oktober, pukul 23:00. Sendiri."
Arga memandangnya dengan wajah pucat.
“Apa kamu tahu… hari ini tanggal berapa?”
Kirana menatap jam tangannya.
17 Oktober. Pukul 22:47.
Mereka menoleh ke arah rel.
Dan dari kejauhan… terdengar suara peluit kereta. Padahal tak ada jadwal kereta malam lewat peron itu.
Arga mengangkat kamera. Tapi sebelum sempat memotret, Kirana mencengkeram lengannya.
“Arga… ini suara yang selalu kudengar dalam mimpi.”
Dan saat kereta itu melintas perlahan, jendela-jendelanya kosong. Tak ada penumpang. Tapi di gerbong ketiga, ada seseorang berdiri menatap mereka dari balik kaca.
Seorang gadis… dengan wajah yang sama persis seperti Kirana.
Gadis Dari Gerbong Ketiga.
Kereta itu berhenti tanpa suara rem, tanpa denting roda besi. Hanya hembusan angin dingin yang menerpa wajah Kirana dan Arga, seolah malam itu berubah menjadi ruang hampa waktu.
Gerbong ketiga tepat berhenti di depan mereka.
Di balik jendela buram yang berembun, sosok gadis itu berdiri diam. Wajahnya… wajah Kirana. Tapi matanya kosong, kulitnya pucat kebiruan, dan rambutnya terurai basah seolah baru keluar dari air.
Kirana menggenggam lengan Arga lebih kuat. “Aku takut,” bisiknya. “Itu bukan aku…”
Tiba-tiba, jendela gerbong itu berembun dari dalam, lalu dengan gerakan mengerikan seperti digores kuku, muncul tulisan yang menyayat:
"PULANGLAH, KIRANA."
Arga melangkah mundur, napasnya berat. Tapi Kirana terpaku, tubuhnya seperti ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Dan kemudian… pintu gerbong terbuka sendiri, mengeluarkan suara besi tua yang merengek.
“Jangan masuk!” Arga memegang bahunya. Tapi Kirana berkata lirih, “Aku pernah di dalam kereta ini… aku ingat sekarang.”
Beberapa langkah masuk, dan dunia berubah.
Bau anyir besi, aroma bunga melati layu, dan udara dingin menyelimuti mereka. Gerbong itu kosong, tapi penuh dengan jejak kehidupan, majalah tua tahun 1997, koper kulit sobek, boneka beruang kecil yang kehilangan mata.
Dan di tengah-tengah lantai… ada koper hitam bertuliskan “K. Dharma”.
Kirana berlutut, menyentuh koper itu. Saat dibuka, ia menemukan pakaian perempuan, secarik tiket kereta, dan sebuah album foto kecil.
Isinya menghentak jantungnya, foto-foto seorang gadis yang mirip dirinya, duduk di peron 3, bersama seorang pria muda… yang wajahnya juga mirip Arga.
Mereka tertawa. Berpelukan. Berfoto sambil menunggu kereta.
Tahun pada foto tercatat 1997.
Arga menatap salah satu foto. “Itu kamera lamaku… yang hilang bertahun-tahun lalu waktu aku masih SMA.”
“Dan ini aku,” kata Kirana lirih, “Tapi aku belum lahir di tahun 1997…”
Seketika, lampu kereta mati.
Sunyi.
Kemudian… suara langkah terdengar dari ujung gerbong. Berat. Perlahan. Seperti seseorang atau sesuatu sedang mendekat.
Kirana menggenggam tangan Arga.
Sosok itu muncul. Wajahnya diselimuti kabut, tubuhnya tinggi dengan jas panjang hitam. Ia berhenti di depan mereka, lalu berbicara dengan suara berat yang terdengar dari dalam dada.
“Waktu kalian tidak sinkron. Satu dari kalian pernah mati… dan kembali.”
Kirana bergetar. “Apa maksudmu?”
Sosok itu perlahan menunjuk Kirana.
“Kau penjaga peron waktu itu. Kau yang seharusnya ikut kereta itu… tapi tak pernah sempat naik. Kau masih menunggu… di dunia yang terus berputar mundur.”
Mendadak, semua gerbong gemetar.
Arga menarik Kirana keluar, kereta seperti terbakar cahaya putih menyilaukan. Detik berikutnya, mereka sudah kembali berdiri di peron. Gerbong lenyap. Hanya sisa kabut dan secarik surat di lantai.
Dengan tangan gemetar, Kirana membacanya:
“Terima kasih karena masih mengingatku. Tapi waktumu tak lama lagi di sini. Kereta akan datang menjemputmu, sekali lagi. Dan kali ini, kau harus naik…”
Di balik surat itu, tertulis tanggal. Bukan hari ini. Tapi 27 Oktober 2025 sepuluh hari dari sekarang.
Dan jam keberangkatan: 23:00.
Tertulis:
“Rel Tertutup Tak Menolak Janji.”
*****
