Bab 2. Arsip Rahasia Dan Tanggal Yang Terhapus
Dua hari setelah kejadian kereta hantu itu, Arga dan Kirana sepakat bertemu di perpustakaan kota, bagian arsip sejarah. Arga yakin ada sesuatu tentang peron 3 dan nama “K. Dharma” yang bisa ditelusuri.
Kirana membawa album foto misterius yang mereka temukan di koper.
“Kalau ini nyata,” katanya pelan, “berarti aku bukan cuma penjaga loket biasa…”
Petugas arsip tua dengan kaca mata tebal menatap foto-foto itu begitu lama. Saat melihat salah satu gambar Kirana dan Arga versi tahun 1997, ia tampak kaget matanya melebar, lalu menegang.
“Ini… tidak mungkin,” gumamnya. “Aku pernah melihat mereka. Tapi itu sudah lama sekali.”
“Kapan?” Tanya Arga.
“Sekitar 1998. Gadis itu... sering datang ke peron 3. Namanya Kirana Dharma. Dia penjaga loket paling muda di sini. Ramah. Suka menulis puisi di bangku peron. Sampai… kecelakaan itu terjadi.”
Kirana menahan napas. “Kecelakaan apa?”
Petugas itu berdiri pelan, mengambil map lusuh dari lemari besi. Ia menyodorkan surat kabar tua.
“KERETA MALAM ANJLOK DI PERON 3 — SATU KORBAN BELUM DITEMUKAN”
27 Oktober 1997
Foto dalam berita itu membuat Arga nyaris menjatuhkan kameranya.
Itu Kirana.
Tapi… dia mengenakan seragam lama. Dan rambutnya panjang, berbeda dari Kirana yang sekarang.
“Korban itu… tidak pernah ditemukan?” Tanya Kirana, nyaris berbisik.
Petugas menggeleng, “Kami mengira dia tertimbun reruntuhan. Tapi anehnya, sejak kejadian itu, setiap malam Jumat, ada laporan petugas melihat gadis berseragam tua duduk sendirian di bangku peron 3. Dan setiap tanggal 27 Oktober, suara kereta terdengar… meski tak ada jadwal.”
Kirana melangkah mundur. Suara di kepalanya mendengung.
“Satu dari kalian pernah mati… dan kembali.”
Dan kini semua terasa masuk akal tentang mimpi-mimpinya. Surat-surat tak bernama. Perasaan deja vu yang terus menghantuinya.
“Aku bukan Kirana yang hidup di tahun ini,” ucapnya dengan suara hampa. “Aku... sisa dari waktu yang belum selesai.”
Arga menatapnya. “Tapi kamu nyata. Kamu di sini. Aku bisa memegang tanganmu.”
Kirana menoleh padanya. “Mungkin karena kamu bagian dari kisah itu juga, Arga.”
Dia menyodorkan satu foto terakhir dari album.
Foto sepasang kekasih Kirana dan seorang pemuda berwajah mirip Arga, berdiri di peron sambil tersenyum, tangan saling menggenggam.
Di balik foto, tertulis:
“Untuk Arga. Tunggu aku di peron 3, 27 Oktober. Aku pasti datang.”
Arga menggenggam kertas itu. Wajahnya pucat.
"Aku juga… mungkin bukan dari waktu ini."
Malam mulai turun di Yogyakarta. Tapi bayang-bayang masa lalu baru saja bangkit.
Dan mereka tahu, 10 hari lagi, peron 3 akan terbuka kembali. Kereta itu akan datang. Dan salah satu dari mereka harus naik.
Surat Terakhir di Kotak Besi.
Malam itu Kirana sendirian di loket. Jam menunjukkan pukul 22.40. Hujan turun perlahan, mengetuk atap stasiun Tugu seperti detak waktu yang kian mendekati malam tanggal 27 Oktober.
Kirana mendadak tergerak membuka laci bawah loket yang selama ini tak pernah disentuh. Di dalamnya, tertumpuk buku laporan lama dan satu kotak besi tua tanpa kunci.
Anehnya, kotak itu bisa dibuka dengan mudah. Seolah memang menunggunya.
Di dalamnya: sepucuk surat kuno, map merah bertuliskan “DOKUMEN KHUSUS PT.KAI 1997,” dan sebuah kunci kereta tua berkarat.
Kirana membuka surat itu dengan tangan gemetar. Tinta yang sudah pudar membuatnya harus mendekatkan kertas ke lampu loket.
“Untuk Kirana Dharma,
Jika kau membaca ini, berarti kau telah kembali.
Tapi waktumu menipis. Kau bukan bagian dari dunia ini lagi. Dunia tempatmu telah mati bersama peron yang seharusnya dikunci selamanya.
Jangan naik kereta itu lagi. Jangan biarkan kenangan mengikatmu.
Arga P.”
Mata Kirana membelalak. Arga P?
Arga... Pratama?
Arga yang sekarang?
Tidak mungkin. Surat ini ditulis tahun 1997. Lalu siapa Arga sebenarnya?
Kirana meraih map merah dan mulai membaca.
Map itu adalah catatan investigasi internal perusahaan kereta. Sebuah kejadian aneh pada malam 27 Oktober 1997. Kereta terlambat 11 menit, lalu menghilang dari radar, dan kembali muncul dengan satu gerbong kosong… dan tanpa masinis.
Dan yang paling aneh dalam daftar penumpang, ada satu tiket bernama Arga Pratama – Jurnalis Kereta, Kompas, usia 25 tahun. Dinyatakan hilang.
Kirana menutup map dengan wajah pucat.
“Arga... kamu seharusnya sudah mati 28 tahun lalu.”
Di luar, jam stasiun berdentang 11 kali. Dan kereta terdengar mendekat padahal tidak ada jadwal keberangkatan malam itu.
Kirana berlari keluar. Peron 3 berkabut. Dan di sana… berdiri Arga.
Tapi… dia bukan Arga yang dikenal Kirana. Bajunya lusuh, kamera tuanya tergantung di leher. Wajahnya lebih muda, lebih tua, lebih tak tergambarkan.
“Kau ingat semuanya, ya?” Katanya pelan.
Kirana mengangguk. “Kita… pernah naik kereta itu.”
Arga mengangguk perlahan. “Dan aku terjebak dalam lintasan waktu. Setiap malam Jumat, aku kembali. Tapi hanya bisa melihatmu dari kejauhan. Kau tak pernah naik kereta itu sampai malam kecelakaan terjadi. Lalu, kau pun... terjebak bersamaku.”
Kirana menahan air mata. “Lalu mengapa kita di sini sekarang?”
Arga memandangi rel kosong yang mulai diselimuti kabut. “Karena sekarang waktunya… salah satu dari kita harus mengakhiri perjalanan ini.”
Tiba-tiba, suara peluit kereta terdengar nyaring. Lampu-lampu stasiun padam. Segalanya membeku.
Dan perlahan… kereta itu datang.
Gerbong ketiga terbuka. Tidak ada penumpang. Hanya kabut dan suara gaib yang berbisik:
“Satu jiwa kembali, satu jiwa pergi.”
Kirana menggenggam tangan Arga. Tapi ia tahu… salah satu dari mereka harus menghilang agar waktu bisa berjalan normal kembali.
Dan saat dia menatap mata Arga, Kirana tahu… ia telah memilih.
Penumpang Terakhir Peron 3.
Kereta itu berhenti dengan derit logam tua yang seperti suara napas terakhir masa lalu. Kabut menyelimuti gerbong. Angin malam menggigit, membawa aroma besi dan bunga melati busuk.
Arga menatap Kirana untuk terakhir kalinya.
"Aku selalu tahu kau lebih kuat dariku," bisiknya, sambil menyelipkan kamera tuanya ke tangan Kirana. "Kau harus terus hidup… bahkan jika dunia berubah menjadi mimpi buruk."
Kirana menahan tangis. "Kalau kau pergi, aku akan melupakanmu?"
"Tidak," senyum Arga menyiratkan kepastian yang tenang. "Justru setelah ini, kau akan mengingat semuanya."
Kereta bersuara. Pintu terbuka. Cahaya aneh dari dalam menyinari wajah Arga saat ia melangkah masuk.
Lalu… pintu tertutup.
Kereta bergerak mundur. Tapi bukan ke arah barat atau timur. Seolah meluncur ke dalam bayangan itu sendiri, menghilang perlahan bukan hanya dari peron, tapi dari dimensi waktu.
Dan Kirana…Sendiri...Lagi.
Tiga hari kemudian, stasiun Tugu menjadi aneh. Loket tempat Kirana bekerja kini sering basah padahal tak ada hujan. Jam dinding selalu berhenti di pukul 11.47 malam.
Dan kamera tua milik Arga yang ia simpan di bawah bantal… selalu berpindah tempat setiap malam Jumat. Bahkan kadang menyala sendiri dan mengambil foto.
Tapi yang lebih mengerikan foto-foto itu menunjukkan wajah Kirana tidur… dari sudut luar jendela kamar kosnya.
Suatu malam, Kirana melihat sosok berpakaian masinis berdiri di ujung peron 3 lewat pantulan kaca. Saat ia menoleh, tak ada siapa-siapa.
Tapi di bangku kayu, ada surat tertinggal.
“Kirana, Kau pikir perjalanan ini berakhir?
Tidak. Kau hanya memulai babak yang lebih dalam.
Masih ada jiwa-jiwa lain yang belum pulang.
Dan hanya kau yang bisa mengantar mereka.
Kau… penjaga peron waktu sekarang.”
Dari kegelapan peron, samar terdengar bisikan:
“Selamat datang, Kirana Dharma. Penjaga batas antara hidup dan mati.”
Dan malam itu, peron 3 menjadi hidup kembali.
Bukan untuk kereta biasa. Tapi untuk jiwa-jiwa terjebak waktu.
*****
